Senin, 15 September 2008

Kunjungan ke Singaraja

14 September 2008. Udara cerah tetapi panas , hari ini August Ferry Raturandang menyetir kendaraan kearah Singaraja, Bali untuk bertemu dan melihat keadan kota tempat pertama kali mengenal olahraga tenis.
Dari Kuta kearah Nusa Dua singgah sebentar untuk mengantar tiket Commonwealth Bank Tennis Classics diberikan kepada rekan lainnya karena kuatir hari ini tidak sempat kembali tepat waktu dari Singaraja.
Mengambil jalan by pass ke arah Sanur menuju Gianyar, sempat bingung setelah mencari jalan kearah Gianjar karena untuk pertama kali dijalan baru ini. Sehingga terpaksa bertanya kepada seseorang dipinggir jalan. "Malu bertanya sesat dijalan."
Ternyata salah berikan arah jalan dan baru sadar kalau mendengar dialeknya berasal dari Madura. Ini pendatang juga tapi kerja di Denpasar. Setelah itu bertanya ke seorang lainnya maka didapatkan jawaban yang benar. Ini jalan cukup mulus kearah Bali Timur sangat menggiurkan melarikan mobil dengan kecepatan tinggi yang merupakan kesenangan tersendiri dibandigkan dengan naik pesawat terbang.
Pemandangan cukup elok dipandang mata apalagi sudah menggunakan kacamata plus. Jalan jalan cukup mulus sehingga memungkinkan menenangkan pikiran dengan melarikan mobil . Walaupun sedikit ngantuk, membawa kendaraan harus kencang agar mata tetap terbuka atau melek.

Sepanjang jalan, suasana Bali sangat terasa tidak seperti daerah daerah lainnya yang hampir sama, karena hampir sepanjang jalan melihat orang Bali dengan pakaian adatnya menuju ketempat upacara di Pura tempat sembahyang umat Hindhu Bali. Sepanjang jalan ada Pura yang jumlahnya cukup banyak. Ini ciri khas Bali.

Dari Denpasar masuk ke Sukowati dan Ubud yang termasuk dalam kabupaten Gianyar, yang sangat terkenal dengan tempat seni di Bali. Terlihat papan Museum BLANCO, salah seorang pelukis asal Italia yang akhirnya menikah dengan putri Bali. Telah meninggalkan seorang putri yang cantik (lupa namanya) dan seorang putra yang ganteng(lupa namanya).
Berbagai macam kerajinan (wood craft) terlihat disepanjang jalan. Masuk ke Desa Seni, Peliatan tetap terlihat janur kuning tetapi kali ini sudah kelihatan lunturnya warna kuning karena sudah lama dijalan jalan tersebut. Nama Desa Seni rupanya tempat seni juga. Setelah itu masuk ke Desa Sanding dan Tampaksiring. Sepanjang jalan tampak hijau dengan sawah disela sela bangunan rumah . Kehijauan ini cukup menyejukkan mata memandang.

Siapapun mengenal Tampaksiring karena disinilah terdapat Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Memasuki Tampaksiring masih terlihat sawah sawah yang hijau membentang. Akhirnya bertemu perempatan jalan , yang lurus ke Istana Presiden Tampaksiring dan dipilihlah kekanan kearah Kintamani. Tidak berapa jauh dari tikungan didapatkan tempat wisata yaitu Tirta Empul yang hari ini banyak kelihatan mobil2 parkir. Tempat pemandian ini terletak dibawah dari Istana Tampaksiring. Konon kabarnya Presiden Indonesia kala itu , Soekarno membangun istana ini agar bisa melihat kebawah kekolam renang Tirta Empul.

Setelah itu didapatkannya Goa Gajah, tempat wisata yang letaknya dikanan jalan, masih sepi dari pengunjung. Dulu sewaktu kecil sudah pernah melihat GOA GAJAH yang isinya banyak patung2. Perjalanan terus dengan melaju kearah Kayabongkah dan akhirnya memasuki Kintamani. Pagi ini udara cukup terik, jam menunjukkan pukul 09.00 sehingga udara dingin Kintamani tidak terasa kecuali diembus oleh angin. Berhenti turun melihat lihat indahnya pemandangan Gunung batur dengan Danaunya, dan istrahat mencari toilet umum . Masuk harus bayar Rp. 2.000,- Dibandingkan tempat lain biasanya hanya Rp. 1.000. Tetapi sepanjang jalan besar ini masih belum terlihat pengunjung, yang banyak justru penjaja sovenir.

Karena mendengar ada desa dibawah jalan Kintamani, dan jalan turun kebawah terdapat desa yang terkenal dengan mayatnya tidak dibalsem dan tetap tidak berbau. Lupa nama tempat ini . Akhirnya penasaran belum pernah turun kebawah, maka kendaraan disetirnya kebawah yang ternyata makan waktu 30 menit perjalanan sampai ke Pura Hulundanu Batur. Sepanjang jalan kebawah ini banyak truk truk membawa pasir atau batu batuan dari Gunung Batur. Kalau dari atas terlihat warna hitam dilereng Gunung batur, bekas lahar dari Gunung Batur yang saat ini sudah lama tidak aktip. Truk berjalan agak perlahan karena jalan cukup banyak tanjakan. Mobil yang lewat bisa dihitung tidak lebih dari kedua belah tangan ini. tetapi kendaraan truk ini bisa melebih 15 buah. Yang menjadi pertanyaan , karena ini tanah atau pasir dan batu batuan milik negara, apakah sudah mendapatkan ijin atau telah membayar kepada kas negara. Pasirnya warna hitam bukan seperti pasir pantai yang saat ini sedang heboh di Bali karena digali dan disedot pakai mesin , sehingga pasir laut bisa dikeruk. Hal ini terjadi di Pantai Geger, Badung dan juga wilayah Pantai Jumpai dan di Nusa Penida yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Walaupun sebagaimana sudah diatur dalam Undang Undang Lingkungan Hidup Bomor 23 tahun 2003 yang melarang pengambilan pasir laut. " Yah EGP aja lah."

Melihat kiri kanan penuh dengan batu batuan, cukup indah juga karena belum ada daerah lain seperti ini dan tidak ada perumahan sekitar batu batuan tersebut, hanya didapatkan beberapa rumah dipinggir danau dan tambak ikannya. Dipinggir batu batuan ada yang sedang menanam bawang, tomat ditengah pasir atau batu batuan tersebut. "Kok bisa tumbuh tanaman dengan tanah pasir ini". Mereka lebih ahli masalah ini karena terlihat juga hasilnya sudah banyak yang berbuah seperti tomat.

Tidak turun di Pura Hulundanu Batur karena sudah buntu jalannya, tetapi hanya berputar kendaraan kearah balik keatas. Sepanjang jalan bertemu truk truk tersebut sehingga harus berhenti dulu agar bisa lewat.

Setiba diatas memakan waktu keseluruhan 1 jam , perjalanan dilanjutkan kearah Singaraja dengan pemandangan cukup menarik dikanan jalan karena terlihat betapa eloknya pemandangan Gunung Batur dengan Danau Baturnya. Pemandangan seperti ini jarang bisa dilihat didaerah lainnya. Tidak mau melewatkan keindahan pemandangan, berhentilah sejenak untuk mengabadikan pemandangan tersebut. Setelah perjalanan dilanjutkan meninggalkan Kintamani yang juga dikenal dengan anjing khas Kintamani, tidak lama kemudian memasuki Obyek Wisata Desa Penulisan. Ditikungan terlihat ada Pura yang sedang dikunjungi umat Hindhu Bali untuk bersembahyang. Perjalanan terus memasuki desa Pantang, yang jalannya mulai menanjak dan berliku liku. Setelah itu masuk ke Desa Dausa, Desa Satera. Ada pemandangan lain yaitu terlihat banyaknya pohon cengkeh dengan aromanya yang khas seperti di Minahasa Sulawesi Utara. Dijalan jalan dijemur cengkeh diterik matahari. Memang untuk mengeringkan cengkeh cukup digelar dipinggir jalan supaya cepat kering. Sejauh jauhnya mata memandang terlihat pohon pohon cengkeh warna hijau. Teringat akan Minahasa didaerah Leilem - Sonder, jalan jalan ini mirip karena sepanjang jalan rakyat menjemur cengkeh dipinggir jalan.
Selama perjalanan jarang menemui kendaraan roda empat, tetapi lebih banyak kendaraan roda dua.
Banyak desa yang dilewati sehingga lupa mengingatkannya. Setelah itu jalan mulai menurun dan sudah mendekati kota Singaraja. Terlihat mulai pohon pohon kelapa berarti sudah dekat Kota Kubutambahan. Tetapi perjalanan masih sekitar 15 km lagi. Melewati desa Sangsit dan akhirnya masuk ke Kampung Tinggi Singaraja tepat pukul 12.30. Menuju lapangan tenis KONI Kab.Buleleng melalui depan Sekolah Dasar No. 12 yang dulu tempat sekolah August Ferry Raturandang di Singaraja. Hanya dulu namanya Sekolah Rakyat. Berhenti sejenak untuk mengabadikan berfoto didepannya. Kalau dulu kalau ( terakhir th 1959), pagarnya tidak demikian. Saat ini dipugar dengan arsitektur Bali yang khas ini. Ini mengingatkan teman teman lama semasa disekolah tersebut seperti dr. Pandu Setiawan DSJ (mantan petinggi Depkes RI), Kol (L)Purn. Robert Senduk, Hendriek Pangemanan (ada di Jakarta).

Dalam perjalanan dari Denpasar ke Singaraja ini berpapasan mobil lebih sedikit dibandingkan kendaraan roda dua. Yang mengalir seperti air saja. Sebelum memasuki Kintamani banyak ditemui pengendara motor tanpa menggunakan helm, berbeda dengan kota Denpasar selama ini sangat taat akan penggunaan helm. Tidak ada satupun pengendara motor di Denpasar tanpa helm.

Dari perjalanan ini hampir sama dengan di Minahasa Sulawesi Utara bangunan didesa desa menggunakan atap seng. Perbedaannya kalau di Bali dinding rumah dari batu bata, sedangkan di Minahasa mayoritas dengan papan alias rumah panggung.

Menuju ke lapangan tenis KONI Kab.Buleleng, ketemu dengan Chandra Widhiarta. Dilapangan sedang latihan petenis yunior Elvi ( 14 tahun) dengan pelatihnya Gede. "Siapa nama pelatihnya itu?" tanya August Ferry Raturandang kepada Chandra Widhiarta. Dijawabnya kalau itu pelatih kampung , untuk merendah.
Memang banyak pelatih seperti ini dimana saja. Ternyata Jotje Albert Raturandang(alm) juga pelatih kampung karena tidak ada sertifikat nasional maupun internasional. Tetapi bisa juga menghasilkan petenis sesuai dengan kelasnya.
Dan setelah itu sambil ngobrol bersama sama rekan rekan dari Pelti Buleleng, Lanang Parwata (wakil Ketua), Dharmawan yang juga wakil ketua dan anggota pengurus lainnya Danu Budiartha. Tampak pula salah satu pelatih Singaraja yang terkenal sangat sosial Akun yang senang bercerita banyak. Dan banyak masukan yang didapatnya.

Tidak lama kemudian datanglah salah satu rekan dari Jotje Albert Raturandang (ayah dari August Ferry Raturandang), Bapak I Wayan Wenten. Langsung August Ferry Raturandang menyambutnya karena ini salah satu teman ayah sendiri yang juga masih mempunyai daya ingatan cukup kuat walaupun usia sudah 82 tahun. Sambil memeluk, pertanyaan pertama adalah " Bagaimana kabar papi dan mami."
Langsung dijawab kalau sudah dipanggil Tuhan. "Papi usia 72 tahun dan Mami usia 86 tahun sewaktu meninggal." ujar AF Raturandang.

Setelah puas berbincang bincang , akhirnya tiba waktu menjelang sore pukul 15.30. Dan August Ferry Raturandang kembali ke Denpasar dengan route yang sama melalui Kintamani. Tiba di Denpasar pukul 19.00 setelah istrahat makan sate kambing dan gulenya di Sukowati. Selama perjalanan, masih ada keyakinan kalau bisa laksanakan turnamen tenis ataupun kegiatan tenis lainnya di Singaraja. Sehingga direncanakan minimal setahun sekali berkunjung ke Singaraja.

Puas dengan kunjungan ke Singaraja, tetapi masih belum puas jika belum ada kegiatan khususnya turnamen tenis di Singaraja. "Ini obsesi saya di Singaraja. Saya akan kembali dengan turnamen."

Tidak ada komentar: