27 September 2008. Menerima keluhan setiap saat selalu datang kepada August Ferry Raturandangyang sudah merupakan santapan rutin. Apalagi selama ataupun setelah selesai berlangsungnya turnamen nasional yunior. Masalah ini bisa dikatakan masalah klasik sehingga disetiap cabang olahraga sering terjadi hal ini. Dan dari tahu ketahun selalu terjadi.
Memang untuk membina seorang atlet tenis bukanlah hal yang bisa dilakukan secara pintas atau instan. Karena banyak faktor yang harus diperhitungkan seperti bakat diikuti pula dengan disiplin ( petenis maupun pelatih) didukung pula dengan memiliki program yang jelas dengan pembimbing atau pelatih berkualitas. Tetapi jangan lupa pula factor terakhir yang cukup berat adalah DANA.
Akibat dari keinginan ataupun semangat mengebu gebu datangnya dari PELATIH dan ORANGTUA, bukan dari atlet sendiri sehingga keinginan jalan pintas yang digunakan karena faktor faktor diatas tersebut sulit dihadapinya. Apalagi melihat faktor DANA pegang peranan penting sehingga memanfaatkan kesalahan dilakukan oleh pelaksana turnamen yang kuatir kurangnya peminat, memberikan hadiah UANG yang seharusnya TABU. Memanfaatkannya sehingga dipakai sebagai lahan cari DANA menutupi kekurang mampuannya.
Memang kalau dilihat pencurian umur sering terjadi di kelompok usia lebih muda, seperti di kelompok umur 10 tahun, 12 tahun dan 14 tahun. Tetapi bukan berarti tidak ada di kelompok diatasnya.
Dari pengamatan selama ini, oleh induk organisasi dibuatlah regulasi terhadap ketentuan persyaratan peserta yaitu Akte Kelahiran dan Buku Rapor. Kenyataannya kedua persyaratan ini tidak selamanya utuh didalam mengikuti regulasi tersebut. Ada saja alasan yang dikemukakan baik oleh Pelatih maupun orangtua. Memang banyak pihak ngotot katakan yang sulit dipalsukan adalah rapor kelas 1 Sekolah Dasar. Apa betul ?
Maka tidaklah heran banyak petenis yang tidak bisa menunjukkan copy rapor kelas 1 SD-nya dengan alasan yang seragam yaitu TERBAKAR. Bisakah dibayangkan 1-4 petenis dibawah naungan satu pelatih tersebut buku rapornya terbakar. Entah dimana terbakarnya tidak ditanyakan karena tentunya diberikan jawaban jawaban lain yang sudah disiapkan. Karena pelaksana Turnamen bukan seorang investigator, sehingga semua alasan tersebut ditelan mentah mentah dan tidak mau repot dan tidak mau cari musuh. Bisa dibayangkan ada pelatih yang sampai saat ini beberapa atletnya diragukan usia petenisnya. Sudah merupakan rahasia umum baik di Jakarta maupun Kudus, siapa pelatih yang dimaksud.
Coba diperhatikan prestasi dari atlet tenis yang dicurigai usianya. Mayoritas akte kelahirannya akte pemutihan istilahnya artinya dibuat setelah lebih dari 2 (dua) bulan tanggal lahir. Kalau hanya lebih 1-2 tahun bukan masalah tetapi banyak sekali diatas 5 tahun sampai 10 tahun. Ibaratnya sudah bermain tenis baru dibuatkan akte kelahiran “baru”.
Kejutan juga bagi August Ferry Raturandang yang mendengar langsung dari salah satu orangtua petenis dari Jawa Tengah yang terlibat catut umur saat bertemu untuk minta maaf ke August Ferry Raturandang, kalau ada orangtua yang memiliki 2 buku rapor. Alasannya dibuat 2 buah karena kuatir hilang. Apakah Betul ? Tentunya data yang dibuatnya bisa diatur pula sehingga yang dibawa bawa adalah duplikat yang sudah disesuaikan.
Pengamatan selama ini petenis yunior yang terlibat kasus curi umur dengan membuat 2 atau 3 akte kelahiran, prestasinya tidak ada yang menonjol.
Coba dilihat, seperti Cahyadi Arifin dari Cimahi. Oleh pelatihnya di Bandung katakan kalau petenis ini korban dari pelatih Kudus yang membujuknya. Petenis ini harus dikasihani karena latar belakang keluarga yang jatuh miskin. Kasihan sebagai alat pembenaran akan perbuatannya . Prestasinya di Peringkat Nasional Pelti kelompok yunior, dari 93 atlet putra tidak tercantum namanya. Di kelompok umumpun ternyata tidak ada prestasinya alias tidak tercantum namanya. Kemana ? .
Hal yang sama terjadi bagi petenis yang terlibat catut umur selama ikuti turnamen di tahun 1997 dan prestasinya berdasarkan PNP yang dikeluarkan 15 September 2008. Aditya Gusma Alfarizi ( 2 akte tahun 1995 dan 1996). Andrea Guntara (1994-1995) di PNP KU 14 th peringkat 30, Akad Subekti (1990-1991) di PNP KU 18 tahun hanya di peringkat 60. Alfonso Rianta Bangun (1992-1993) di PNP KU 16 th, peringkat 70. Alim Bagus Prakosa (1996-1997). Dwi Arief Alfianto (1997-1998) . Fernando Julianta Bangun (1994-1995) PNP 14 tahun, peringkat 91, Habib Angga Perdana (1992-1993) di PNP 16 th peringkat 69. Randi Purnomo (1989-1991) tidak ada peringkatnya. Rizal Ansharandaru (1996-1997) tidak ada peringkatnya Begitu pula dengan Setyawan Teger Laksono (1994-1995) tidak ada peringkatnya. Ini sekedar gambaran prestasi yang dicapai oleh atlet2 putra yang jelas jelas terlibat catut umur alias tidak jujur.
Tanpa disadari oleh pelatih maupun orangtua, secara psikologis atlet tersebut sudah terbebani sehingga seharusnya atlet bertanding dengan “enjoy” bukan sebaliknya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah prestasi mereka bisa meningkat ke tingkat nasional ataupun internasional ? ( Bersambung )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar