Sabtu, 06 September 2008

"Malu Cari Makan di Tenis "

6 September 2008. Membaca komentar komentar di website www.pelti.or.id yang dikeluarkan oleh masyarakat tenis, cukup menarik diungkapkan disini. Yang menarik bukannya masalah hujatan atau tudingan tudingan negatip yang menjurus kepada fitnah belaka baik ke induk organisasi ataupun perorangan. Tetapi adalah diungkapkannya Bukan Cari Makan di Tenis, suatu ungkapan yang sepertinya sangat membanggakan sekali kedengarannya. Kesannya malu mengatakan cari makan di tenis. Bertentangan dengan Sport is Business atau lebih spesifik lagi Tennis is Business.
" Jangan mencari makan di tenis kecuali bener2 PRO." Disini masih diselipkan istilah PRO atau profesional. Berarti masih mengenal Tennis is Business.

Sebagai informasi yang perlu diketahui, sewaktu terakhir kali August Ferry Raturandang mengikuti ITF(International Tennis Federation) Annual General Meeting tahun 2002 di Maroko (Afrika), hanya President ITF yang saat itu voluntir, sedangkan mulai dari Vice President sampai ke Director dan Manager disetiap bidang adalah full time job. Itu tahun terakhir, berarti saat ini semua adalah full time job atau profesional karena mendapatkan makan dari profesi yang dipegangnya.
Bagaimana dengan National Association negara lainnya. Di Asia, President Tennis Association itu masih voluntir, sedangkan Hongkong, Korea dan Jepang sudah mengenal
Managing Director (full time job)yang bertugas menjalankan organisasi sehari harinya.
Di Indonesia, Pengurus Pusat PELTI adalah voluntir, sedangkan kantor sekretariat PP Pelti memiliki karyawan dibawah komando Sekretaris Eksekutif dan administrator yang full time job.
Jikalau PP Pelti lakukan perjalanan ke daerah maupun luar negeri, maka ditanggung oleh masing masing anggota Pengurus sendiri kecuali yang kekuatan finansialnya lebih rendah. Harus dimaklumi karena anggota PP Pelti itu terdiri dari berbagai kalangan dengan berbeda kemampuan finansialnya. Ada yang pensiunan dan ada yang masih aktip. Disinilah perbedaannya, dalam menjalankan tugasnya sama yaitu tanpa mendapatkan imbalan. Kenapa mau ya ! Ini tentunya muncul pertanyaan serius. Tentunya jawabannya bisa berbagai macam yang intinya hanya satu yaitu KOMITMEN.
Mayoritas anggota PP Pelti sudah berusia diatas 50 tahun , bahkan diatas 60 tahun, berarti disaat usia yang sudah matang. Matang dalam segala hal, bisa matang cara berpikir, matang dalam finansial , matang dalam mengatur kehidupannya.
Bagaimana dengan mengatasi kehidupannya masing masing, karena dalam kehidupannya butuh "materi" yang menunjangnya. Tentunya sebagai orang yang sudah matang karena usia sudah lanjut, tentunya tidak terlalu dipikirkan keadaan finansialnya.

Teringat pula masalah profesi Pelatih. Ada pelatih yang benar benar hidupnya dari TENIS. Tetapi banyak pula pelatih yang hidupnya dari pekerjaan diluar tenis. Melatih tenis hanyalah salah satu sambilannya, karena kehidupannya berasal dari lain profesi yang non tenis. Jadi wajar saja kalau pelatih yang sambilan ini mengkalim dirinya "tidak hidup dari tenis". Tetapi bisa juga dikatakan " tidak hidup dari tenis 100 %" . Entah mana yang lebih tepat, tergantung masing masing pendapat.

Pernah tergugah sewaktu salah pengertian dengan adik sendiri Alfred Henry Raturandang yang sampai saat ini berprofesi sebagai pelatih. Disekitar tahun 1972-80, ikut dalam klub tenis Sparta Maesa di Jakarta Timur. Sebagai pengurus klub dibuat program latihan yang menggunakan pelatih agar kualitas anggota bisa meningkat. Yang menjadi pelatih waktu itu August Ferry Raturadang (pelatih sambilan) bersama Alfred Henry Raturandang. Sempat August Ferry Raturandang mengeluh mengenai adiknya. " Dia terlalu komersil". Tudingan ini dibantah langsung oleh seniornya, Boelli Londa (alm). "Justru dia itu profesional. Karena profesi dia adalah pelatih. " ujar Boelli Londa yang membuat August Ferry Raturandang sadar.

Saat ini PP Pelti sedang mengarahkan agar masyarakat menggeluti olahraga TENIS. Karena dengan TENIS adalah Profesi, bisa sebagai lahan baru untuk mencari makan. Caranya, dengan tenis , bisa menjadi PELATIH, WASIT, Komentator TV/Radio, Penulis tenis, Petenis Profesional ( melalui turnamen ataupun dikantor/instansi), bahkan apes apesnya menjadi komentator website Pelti akhirnya ( ha ha ha ). Begitu juga sebenarnya dengan tenis bisa menjadi event organizer. Kalau masih yunior, bisa mendapatkan keuntungan yaitu mendapatkan bea siswa sekolah diluar negeri. Bukan cari uang diturnamen yunior, so pasti tidak terjamin kualitasnya, Ini faktanya di Indonesia.

Penyelenggara Turnamen juga bisa jadi suatu profesi. Keliru sekali kalau mengatakan jangan cari keuntungan di turnamen tenis. Karena kehidupan organisasi sebenarnya bisa didapat dari turnamen. Sebagai pengalaman August Ferry Raturandang sewaktu menjabat Manager Program Pertandingan PB PELTI ( ini full time job di tahun 1989-1991), keberhasilan PB PELTI selenggarakan turnamen Green Sands Satellite Circuit ( 4 minggu) mendapatkan KEUNTUNGAN setelah dipotong dari pengeluaran adalah Rp. 20 juta.

Ada juga pertanyaan kepada August Ferry Raturandang selaku penyelenggara turnamen tenis Persami Piala Ferry Raturandang yang sudah memasuki ke 55 kalinya ( Agustus 2008) . "Apakah Untung atau rugi?" Jawabannya adalah "UNTUNG" , tetapi pernah "rugi", artinya rugi adalah pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Tetapi sepengetahuan selama ini baru terjadi 2 kali rugi yang nilainya dibawah Rp. 500 ribu. Kalau sebagai pedagang, untungnya dibawah Rp. 1 juta bisa dimasukkan sebagai RUGI juga, karena tidak sesuai dengan waktu dan pikiran yang dikeluarkan.

Yang menjadi pertanyaan " Apakah harus malu mencari makan di Tenis ?

1 komentar:

tavare mengatakan...

Setuju dengan OPA..hehehe...kita harus memakai prinsip Bisnis Olahraga..KENAPA TIDAK..?

Bahkan untuk pelaksanaan turnamen pun bisa dibisniskan...halal kok..? tidak perlu gengsi dengan cibiran orang bahwa kita mencari duit dari situ. Memang iya..lantas kenapa..? Ada yang salah..??

Kalau dibilang..tidak melakukan pembinaan...wah, salah besar..dengan "berbisnis" turnamen, kita justru amat sangat membantu program PP PELTI dalam pembinaan melalui turnamen. Justru orang yang berorientasi bisnis melalui turnamen ini yang harus di dukung oleh PP PELTI...jangan dimatikan karena dianggap pesaing...

Semakin marak turnamen..meski ada unsur bisnis...semakin baik pula mental bertanding anak-anak...Saya justru mengkampanyekan daerah-daerah untuk saling berebut gengsi melalui turnamen. Hanya pelaksana yang benar2 bonafit dengan konsep manajemen yang baik tentu akan diminati peserta.

Seperti saya kemukakan dulu, kalau TDP saya anggap turnamen negeri (resmi) ada juga turnamen SWASTA..yang dikelola pribadi untuk unsur bisnis..(hadiah uang diperkenankan) dengan kompensasi tentu saja para juara tidak akan mendapatkan PNP...tapi itu tidak dilarang bukan?...toh pada prinsipnya adalah pelaksanaan turnamen itu sendiri..bukan masalah TDP atau tidak...

Misal, saya bikin turnamen dengan hadiah uang jutaan rupiah..tentu saja akan membantu biaya pelatihan dan turnamen para juara untuk mencari PNP di turnamen resmi. Tidak salah kan?

Masa iya, saya bikin turnamen dengan hadiah uang dilarang PELTI..hehehe....mereka tidak punya untuk itu kecuali TDP...

So, mari kita berbisnis di tenis...baik melalui klub ataupun turnamen...bahkan tidak menutup kemungkinan..seperti tulisan saya di tabloid tennis...ada profesi manajer petenis...kenapa tidak...

Jangan menutup perkembangan tenis itu sendiri dengan segala macam eyel2 yang justru akan mematikan pertenisan kita...makin marak, tentu akan makin baik buat menghasilkan bibit petenis nasional...

Kenapa takut bersaing..?? hehehe..