22 September 2008. Dengan merebaknya kasus curi umur atau catut umur, harus diketahui pula asal muasalnya sehingga pelaku pelaku tenis Indonesia berbuat yang sangat bertentangnan dengan azas olahraga yaitu sportivitas.
Menelusuri segala permasalahan selama ini di pertenisan Indonesia yang sangat kompleks, jika dibandingkan semasa masih aktif sebagai petenis yunior kemudian diikuti era putra putri sendiri mengikuti turnamen nasional (TDP) yang ada di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Malang dan Surabaya.
Tanpa sepengetahuan induk organisasi tenis ditingkat Pusat, pelaksana turnamen nasional yunior telah melakukan kekeliruan didalam pemberian penghargaan kepada pemenang. Awalnya untuk membantu finansial orangtua, karena tenis di Indonesia mulai berkembang dengan pesat sesuai kemajuan zaman. Sehingga melupakan peraturan peraturan yang sudah mendunia, dimana tidak diperkenankannya setiap turnamen yunior diberikan hadiah dalam bentuk uang. Bahkan menawarkan hadiah uang juga diharamkan sekali oleh induk organisasi tenis dunia (ITF).
Dari tidak memberikan hadiah uang, kemudian diperlunak dengan memberikan hadiah dalam bentuk TABANAS (tabungan) dengan dalih agar belajar MENABUNG sudah ditanamkan kepada anak anak Indonesia. Kelihatannya sangat manis dan mendidik, karena setelah mendapatkan hadiah Tabanas, pemenang tidak bisa langsung mengambil uangnya karena harus mengendap dulu di Bank tersebut selama kurang lebih 2 bulan. Idea ini tidak tahu darimana datangnya.
Kemudian entah kapan munculnya hadiah uang secara sembunyi sembunyi, dengan berikan voucher pembelain barang di toko toko olahraga. Tapi orangtua banyak tidak puas, bahkan ada yang menuduh ada kongkalikong antara panpel dengan toko olahraga. Indikasi negatip dicuatkan. Setelah itu dibuatlah pemberian voucher dan dibagikan uangnya langsung dilapangan.
Dengan adanya hadiah uang memberikan dampak negatip terhadap pembinaan tenis yunior. Ada beberapa kemungkinan yang diamati selama ini sehingga bisa muncul inisiatip pemalsuan umur, terutama terjadi untuk kelompok umur 10 tahun dan 12 tahun. Bukan berarti dikelompok umur 14 tahun dan 16 tahun tidak ada, hanya prosentasenya masih kecil dibandingkan dikelompok umur 10 tahun dan 12 tahun.
Kemungkinan pertama adalah muncul inisiatip datangnya dari pelatih, yang ingin memanfaatkan promosi dirinya dari hasil suatu turnamen. Kemungkinan juga berasal dari orangtua yang juga jadi pelatih. Ingin mendapatkan uang sebagai pengganti beaya dan juga ingin mendapatkan nama.
Setelah itu ada juga beberapa pelatih dan orangtua memanfaatkan fasilitas dari Pemerintah Daerah yang harus diimbangi oleh prestasi sehingga pulang membawa nama baik daerah. Kecendrungan seperti ini bisa dilihat dari petenis yunior dari salah satu provinsi di Kalimantan yang mayoritas atlet tenis yuniornya memiliki akte kelahiran pemutihan. Ini bisa dipakai sebagai indikasi saja. Tetapi ada juga alasan yang diberikan orangtua adalah agar putranya tidak langsung kalah dibabak pertama. Ini alasan yang tidak bisa dipakai untuk membina petenis. Lebih baik menaikkan usia disuatu turnamen dibandungkan menurunkan usia untuk mengejar hadiah.
"Jadi agar tidak terulang kembali, setiap TDP tidak perlu menjanjikan hadiah uang."
Suatu kebanggaan bagi August Ferry Raturandang yang diminta sebagai advisor TDP ITF Oneject Indonesia Junior Champs 2008 di Bandung, panpel bisa mensukseskan turnamen tanpa diiming iming hadiah uang, dan berhasil. Bisa dijamin turnamen ini yang sudah menjadikan sebagai kebutuhan petenis yunior akan berlangsung setiap tahun. Tidak ada alasan untuk kuatir kalau tanpa hadiah uang maka turnamen tidak ada peminatnya. Ini yang paling penting, agar kasus pemalsuan umur bisa dihentikan sehingga prestasi tenis Indonesia bisa melambung kembali.
Kembali kepada pelaku pelaku tenis di Indonesia, maukah kita merubah semua ini menjadi lebih baik ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar