Selasa, 25 Maret 2008

Buat Prestasi Bukan Siksa Atlet

Agustus 2005. Ada warna lain kalau melihat pertenisan kita ditahun 2005 ini. Padat dan semarak. Itu yang terlihat dari kegiatan turnamen seperti dalam Kalender Turnamen Diakui PELTI (TDP) 2005.
Turnamen merambak ke daerah daerah. Bahkan daerah yang baru kena bencana tsunami dan gempa ternyata mampu selenggarakan TDP kelompok umum dengan hadiah masing masing Rp 50 juta. Sumatra Utara bangkit dengan Medan Open setelah absen 15 tahun, digelar oleh pecinta tenis. Propinsi Banten muncul pertamakali dengan Krakatau Open di Cilegon. Sehingga adanya turnamen maka prestasi meningkat sangat diharapkan. Karena turnamen sebagai evaluasi pembinaan atlet.

Tetapi yang menarik untuk diangkat adalah pelaksanaan TDP Yunior. Banyak menerima keluhan dari orangtua pemain. Sudah biasa selama beberapa tahun ini sering menerima keluhan2 dari para orangtua terhadap pelaksanaan TDP khususnya yunior. Ini menujukkan kepedulian orangtua terhadap pertenisan kita. AFR terpanggil ikut berbicara selaku pribadi pecinta tenis, demi kemajuan prestasi atlet melalui turnamen.

“ Bayangkan anak saya dimainkan 3 – 4 kali dalam sehari.” Salah satu keluhan yang muncul. Ini jelas jelas sudah salahi aturan TDP Yunior yang dibuat oleh PB PELTI sejak 1989 dan sudah diterapkan di Turnamen Diakui PELTI. Kesalahan besar dilakukan oleh direkur turnamen selaku penanggung jawab turnamen dari panpel, bersama sama Referee, kalau tetap membuat program yang menyalahi aturan TDP.
Akibat waktu sangat pendek sehingga bisa terjadi demikian.. Belum lagi ada keluhan pertandingan sampai pkl 02.00 dini hari. Mau dikemanakan prestasi atlet hanya mengejar kuantitas peserta tidak diimbangi dengan sarana yang tersedia.
Tapi yang perlu ditanyakan , fungsi dari Referee yang merupakan penanggung jawab peraturan2 pertandingan sesuai dengan peraturan tenis (Rules of Tennis), TDP maupun Tournament Regulationnya. Nah persoalan berikutnya adalah siapa yang control kerja Referee TDP. Tentunya PB PELTI. Dan akhirnya Bidang Pertandingan menyadari perlunya control kerja Referee, bahkan kalau perlu ada Referee yang tidak becus kerjanya mendapatkan peringatan sampai dapat sangsi.

Referee sebagai manusia biasa bisa lakukan human error, tetapi hanya dalam beberapa hal kecil saja seperti undian. Tetapi kalau menyalahi aturan TDP tidak boleh terjadi. Prinsipnya kalau menyimpang aturan TDP seharusnya konsultasi dulu ke PB PELTI Ketua Bidang Pertandingan, baru lakukan, bukan sebaliknya, seperti yang baru baru ini terjadi di Malang Open 2005.
Begitu ada laporan diatas, AFR coba bertanya ke Referee yang bertugas di Solo Open 2005. Masalahnya bisa terjadi, karena jadwal turnamen main Rabu dengan draw 64 dipaksakan selesai Sabtu, karena ingin agar peserta bisa lanjutkan ke Malang.
Akibatnya bukan menolong atlet tapi menyiksa atlet. Dan Referee diamkan saja tanpa melaporkan ke PB PELTI saat itu, Kecendrungan takut dengan direktur turnamennya sangat besar. Harus diketahui dalam buat jadwal jika draw 32 butuh waktu minimal 5 hari, draw 64 butuh waktu minimal 6 hari dan seterusnya. Ingat perencanaan ini demi kepentingan atletnya.
Ada lagi kasus terbalik, karena Referee ingin cepat-2 selesai agar bisa bertugas diturnamen internasional dihari Minggunya, maka system the best of 3 sebagai persyaratan system pertandingan TDP diubah menjadi pro set tanpa konsultasi ke PB PELTI. Kalau ini jelas2 kesalahan Referee.

Menanggapi keluhan keluhan tersebut, yang disampaikan orangtua, AFR selaku pribadi berikan tanggapan dengan enteng karena disampaikan secara guyon supaya tidak ikut-ikutan stress. Jawabannya adalah siapa suruh ikut. Enteng kan. Maksudnya , agar dalam mengikuti TDP tinggal pilih saja yang tingkat kesulitannya terendah sehingga tidak ada keluhan. Bayangkan sekarang sudah ada 27 TDP yunior diseluruh Indonesia. Bahkan ada yang waktunya bersamaan TDP Yunior didua tempat. Tinggal pilih kan !

Bahkan usul saya pribadi ke PB PELTI , agar TDP tersebut dicabut statusnya tidak diberikan pengakuan TDP. Karena pelaksanannya bandel tetap tidak mengikuti aturan TDP. Begitu juga tindakan kepada Refereenya sekalian. Yang dicari adalah prestasi atlet bukan untuk menyiksa atlet. Ini kan pendapat pribadi saya, boleh kaan.

Tidak ada komentar: