Mataram, 3 Januari 2010. Berada di kota Mataram dalam rangka menggalakan tenis Nusa Tenggara Barat, saya merasakan ada manfaatnya juga, karena bisa berjumpa dan melihatlangsung perkembangan tenis di Nusa Tenggara Barat maupun Bali dimana kedua pulau ini saya sempat mengenal dan belajar tenis dalam masa lalu saya.
Bali, karena saya belajar tenis di Singaraja yang waktu itu masih Ibukota Provinsi Sunda Kecil dan menjadi Provinsi Nusa Tenggara. Sejak tahun 1949 orangtua pindah dari Makasaar ke Singaraja sampai 1959 dimana saya menyelesaikan sekolah Rakyat di Singaraja. Kemudian tahun 1959 masuk ke Lombok. Mengenal tenis karena kedua orangtua saya pemain tenis dan juga karena belajar tenis otodidak ayah saya (Jo Albert Raturandang alm) bersama ibunda Stien Marie Montolalu alm) di Singaraja. Saat itu belajar tenis setelah para orangtua selesai latihan, jadi situasi saat itu sangat berbeda sekali dengan sejkarang dimana anak anak bisa latihan terpisah dengan orangtua, tetapi tetap saja bisa berlatih tenis.
Selama latihan di Mataram dan Ampenan, kemudian berhasil sebagai wakil NTB di PON V 1961 Bandung di usia 15 tahun, maka saya melihat sekarang populasi tenis di NTB sudah melebar bukan hanya di Lombok Barat tetapi sduah sampai ke Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa , Sumbawa Barat dan Bima. Saya belum melihat yang berasal dari Dompu salah satu Kabupaten diujung timur pulau Sumbawa. Peserta turnamen Remaja NTB Bersaing dari daerah daerah tersebut ditambah dari Singaraja, Denpasar, Riau dan Sukoharjo Jawa Tengah cukup mengagetkan saya. Betapa hausnya mereka dengan turnamen apalagi skala nasional yang untuk pertama kali diadakan di Mataram Lombok.
Karena tempat tempat bertanding di 4 lokasi dimana saya berada di lapangan Handayani untuk KU 14 tahun maka saya belum sempat memperhatikan bibit bibit lainnya. Begitu juga Dino yang menangania KU 12 tahun dilain lapangan (UNRAM).
Ada kesimpulan yang saya dapatkan dari finalis yang berlaga dihari terakhir yang dikonsentrasikan di lapangan DPRD Provinsi NTB jalan Udayana yang dekat dengan Bandara Selaparang, Rembiga. Ada yang dari Praya (Lombok Tengah), Lombok Timur, Lombok Barata/Mataram, Sumbawa dan Bima. Waktu final KU 18 tahun turun petenis dari Lombok Timur dan Sukoharjo (Jawa Tengah). Petenis Lombok Timur M. Rauqi gagal tidak bisa melanjutkan pertandingan karena ketidak siapannya dan kram melanda otot kakinya. Hal yang sama andalan tuan rumah di semifinal Dito gagal dihadang petenis Sukoharjo Brian Purbojati karena kram juga. Hal ini saya sampaikan juga kepada Ketua Pengprov Pelti NTB Andi Hadianto SH, fisik kedua petenis tersebut tidak menunjang. Sebaiknya segera konsultasikan ke pelatih fisik dan juga psikolog olahraga. Karena saya dapat laporan kalau Dito ini sering alami kejang kejang kakinya disetiap pertandingan. Ada kemungkinan dia stress atas pressure didapat dipertandingan. "Ini calon calon yang layak masuk pemusatan latihan Pelti NTB."
Penonton datang kelapangan cukup antusias mendukung petenisnya (seperti rombongan dari Lombok Timur bersama Pelti Lombok Timur hadir).
Manfat lainnya saya sempat bertemu rekan Pelti Sumbawa yang saya sudah kenal di Jakarta dan juga Pelti Lombok Timur. Setelah saya berbincang bncang dan menyampaikan inisiatip agar dikedua tempat ini diadakan turnamen nasional seperti Remaja NTB Bersaing ini. Langsung oleh Effendi Winarto dari Sumbawa Besar menyanggupinya bekerja sama selenggarakan di Sumbawa Besar beberapa bulan mendatang. Kesulitan kesulitan mereka dilapangan telah disampaikan dan sayapun memberikan solusinya seperti keberadaan lapangan yang terpisah pisah (yang sebenarnya bukan masalah) maupun tenaga wasit. Kesimpulan saya mereka tidak menyangka kalau tidak sulit selenggarakan turnamen nasional. Hanya bagaimana caranya meinimalkan tingkat kesulitan disetiap turnamen. "Yang penting sudah punya NIAT maka masalah DANA bisa diselesaikan."
Disamping itu pula kualitas pelatih daerah perlu mendapatkan perhatian. Saya melihat pelatih maupun ateltnya disini karena minim ikut serta maupu pengetahuan pertandingan sehingga banyak ketidak tahuannya. Sebagai contoh final tunggal putraKU 18 tahun, sewaktu atlet Lombok Timur ketemu Brian Purbojati (Jateng) kram untuk kedua kalinya, langsung pelatihnya maupun ofisial pertandingan memberikan pertolongan dilapangan. Langsung Brian karena tahu peraturannya protes dan sampaikan tidak boleh ditolong. Refereepun datang melarang pelatih tersebut beri pertolongannya.
Dalam kesempatan berbincang bincang dengan rekan rekan dari Lombok Timur saya sampaikan kalau Pelti itu fungsinya lebih kepada fasilitator, regulator bukan eksekutor. Masalah pembinaan diserahkan kepada klub , pelatih dan orangtua sendiri. "Bukan satu kewajiban Pelti membeayai anak anak di turnamen turnamen individu seperti ini. Tapi kalau team event seperti PORDA, PON dll maka Pelti wajib menyiapkannya. Kalau setiap anak minta dana ke Pelti, berapa ribu anak yang harus ditanggung. Bisa bangkrut Peltinya"
Tidak disangka selama turnamen muncul juga teman teman lama setelah mendengar kehadiran say di Lombok. Karena sudah lama tidak jumpa sehingga sayapun sudah lupa. "saya bisa bertemu dengan Ferry ? " begitulah pertanyaan datang dari seorang wanita dengan kerudungnya ke lapangan Handayani. "Saya Nani, masih ingat ?" ujarnya mengejutkan ketika saya katakan sayalah Ferry itu. Begitulah akhirnya saya menyadari kalau Nani ini dulu tinggal di Kampung Jawa Mataram. Begitu juga muncul lagi yang lainnya seperti Lakshmi putri Pak Ngurah bersama suaminya Zaini. Keakrabanpun muncul dilapangan sambil tertawa tawa mengenang masa lalu dan saling tukar informasi rekan rekan yang diingatnya. Pertukaran informasi terjadi dimana banyak teman teman yang ditanya ternyata sudah mendahului kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar