Minggu, 20 April 2008

Marah, Kesal atas berita Majalah Tennis

20 April 2008. Membaca Tabloid Tennis yang telah berubah jubah menjadi Majalah Tennis, edisiNo. 118 tanggal 18 April 2008 timbul perasaan marah, kesal dan sedih sekali. Kenapa sampai begitu ? Membaca cerita tentang prize money di turnamen tenis nasional. Pro kontra terhadap aturan yang diterapkan atau dibuat oleh International tennis Federation (ITF). Dibukanya mata induk organisasi tenis di Indonesia yaitu Pelti terhadap main kucing kucingan pelaksana TDP Yunior selama ini dilakukan oleh pelaksana TDP baik itu oleh Pengurus Kota/Kab (dulu Pengcab) maupun PengProv(pengda).
Kenapa harus marah, karena begitu rendahnya kelakuan pelaku pelaku tenis terhadap pelanggaran aturan yang sudah baku selama ini dari ITF tidak diperkenankan memberikan hadiah uang. Yang diperkenankan adalah berupa barang yang nilainya tidak lebih dari US$ 500. Dengan dalih butuh uang sehingga menghalalkan cara cara yang jelas jelas melanggar aturan yang sudah baku . Aturan adalah Aturan tidak bisa ditawar tawar. Ini tenis bukan lainnya dan tidak bisa ditawar tawar lagi. Apapun dalihnya tidak bisa ditoilerir. Kalau bola OUT ya tetap OUT bukan IN. Untungnya sampai saat ini Pengurus Pusat Pelti jika selenggarakan turnamen nasional ataupun internasional yunior tidak pernah melanggar aturan ITF . Jika sampai PP Pelti ikut ikutan seperti pelaku pelaku turnamen didaerah maka hancurlah sudah tenis Indonesia. Bahkan jika sampai ketahuan ITF maka sangsinya akan sangat berat.
Selama ini tidak ada laporan resmi dari petugas dilapangan yang diutus oleh Pelti yaitu Referee. Sepertinya petugas ini sengaja menutup mata padahal mengetahuinya sehingga tidak mau dibuatkan laporan. Sebenarnya mengatasi hal ini sangat mudah. Apalagi sekarang Ketua Umum PP Pelti Martina Widjaja sudah menyampaikan dalam rapat Pelti kalau ada yang melanggar langsung dicabut dari TDP nasional. Begitu juga petugas Referee jika menutup mata akan kena hukuman. Gampangkan, sudah disetujui oleh Ketua Umum PP Pelti. asalkan semua menyadarinya. Yang rugi siapa , tentunya atletnya. Boleh dapat uang tapi tidak dapat PNP atau Peringkat Nasional Pelti.
Memang ada juga anggota pengurus Pelti yang tidak sepaham, dengan dalih ini Indonesia berbeda dengan luar negeri. Ini lebih konyol lagi pandangan pandangan ini. Bagaimana mau maju tenis Indonesia jika berpandangan seperti ini.
Pernah sewaktu Ketua Umum PP Pelti menghadiri pembukaan TDP Nasional Piala new Armada, mendapatkan poster dari turnamen Bakrie Pemalang Open. Yang jelas jelas diumumkan berhadiah Rp. 60 juta. Poster ini membuat marah Ketua Umum PP Pelti. Saat itu AFR dipanggil dengan bidang pertandingan kekantornya. Ditanyakan ke AFR siapa yang harus dihubungi, langsung AFR berikan salah satu nomer HP dari pengurus cabang Pelti Pemalang. Martina menghubungi langsung dan berbicara dengan Pengkot Pemalang masalah ini. Pengcab langsung minta maaf dengan surat dikirinkan ke PP Pelti.
Tetapi kasus ini diulangi lagi di Cialacap dengan sponsor Bakrie, yan kelihatannya ada unsur kesengajaan oleh sponsornya.
Dengan dibukanya berita di Majalah Tennis, dimasa mendatang PP Pelti harus segera bertindak tegas. Memang pernah ada TDP Nasional yang dihukum dengan tidak dimasukkan dalam PNP hasil pertandingannya. Ini baru disadari setelah setahun kemudian disampaikan oleh pengurus didaerah ke AFR.

Padahal nilai yang didapat hanya sejumlah Rp 100 ribu yang dianggap bisa memotivasi atlet atletnya. Selama ini dalam percakapan dengan orangtua disetiap turnamen Piala Ferry Raturandang , AFR selalu tekankan kepada Orangtua kalau sudah merupakan kewajiban Orangtua membeayai putra putrinya dalam meningkatkan prestasinya. Bukan pelaksana turnamen yang harus membeayai atletnya. Ini harus disadari betul.
Suatu saat AFR menerima SMS dari salah satu pelatih yaitu Iskandar , orangtua dari petenis yunior Karyn Emeralda. Disampaikan kalau banyak petenis potensi didaerah butuh uang, jika tidak ada uang, tenis itu milik anak anak orang kaya yang tidak mau jadi petenis nasional ditutup kata kata bercanda ha ha ha. Karena bercanda AFR langsung menjawab dengan ha ha ha udah miskin main tenis ha ha ha. Ya ini puncak kekesalan juga.
Tanpa disadari oleh masyarakat tenis akibat akibatnya. Dengan mengharapkan banyaknya peserta dengan rtayuan rayuan tidak benar. Akibatnya, orangtua atau pelatih pelatih selalu berusaha berbagai cara ikuti TDP Yunior yang beri prize money terbesar, dengan cara catut umur. Dari penyusuran AFR didapat lebih dari 15 atlet catut umur dari Jawa Tengah. Ini contoh jelas.

Tidak ada komentar: