Sabtu, 22 Agustus 2009

Jangan hanya cari sertifikat saja


Jakarta, 22 Agustus 2009. Pagi ini meluncurlah saya keluar kota, tujuannya adalah Ciloto. Memenuhi undangan penutupan acara Pengprov Pelti DKI Jakarta yaitu workshop dengan pelatih dari Belanda.
Setelah acara selesai sempat pula berbincang bincang dengan pelatih Deddy Prasetyo dan Johannes Susanto. Sayapun bertanya kepada Deddy Prasetyo tentang pesertanya yang cukup banyak berasal dari berbagai daerah bahkan dari Singapore dan Malaysia. Terlihat sekali betapa anthusiasnya pelatih pelatih dari luar Jakarta ikuti workshop ini yang berlangsung sejak 17 Agustus 2009 dan berakhir hari ini. Ini menunjukkan bahwa merekapun sangat haus dengan ilmu pengetahuan. Memang masih banyak pelatih lainnya tidak mengikutinya. Hal ini memang disayangkan tetapi saya sendiri tidak banyak komentar karena mungkin setiap pelatih punya alasan tersendiri sehingga tidak ikuti acara ini.

Saya sendiri mengatakan kalau dalam pemantauan saya pelatih tenis berjumlah sudah diatas angka 1.000 pelatih. Tetapi apakah dari nama nama tersebut berapa prosen yang aktip sebagai pelatih. Artinya punya murid petenis yunior. Saya sendiri perkirakan sekitar 10 prosen sudah bagus ,pelatih yang masih aktip dan punya murid petenis yunior. Kenapa sampai terjadi demikian. Pengamatan saya adalah, mayoritas pelatih tersebut hanya mengejar IJAZAH pelatih saja sebagai alat yang membantu untuk kenaikan pangkat di kantornya. INILAH MASALAHNYA.
Bahkan ada yang sudah puas dengan piagam ikut serta sebagai pengganti ijazah (kalau lulus) pelatih.
Saya teringat dengan teman sekerja dibidang bisnis beberapa puluh tahun silam, yang sangat rajin ikuti seminar seminar kedokteran atauun marketing hanya untuk mengumpulkan sertifikat sebagai referensinya jika ingin pindah kerja lain perusahaan.
Nah, hal yang sama terjadi juga di kepelatihan tenis. Hasil untuk pertenisan praktis sangat minim, tanpa menghasilkan petenis potenisal.

Begitu juga beberapa tahun silam sewaktu adik saya Alfred Henry Raturandang sebagai Tutor kepelatihan pelatih National ITF Level-1 diluar Jakarta. Pertanyaan saya adalah berapa prosen yang lulus. Dan jawabannya sangat memprihatinkan sekali , yaitu hanya 10-20 prosen saja. Kenapa bisa begitu. Ternyata ujian dilakukan dengan penilaian 75 % praktek dan 25 % teori. Berarti disini calon pelatih sudah harus bisa main tenis dengan benar. Sedangkan pesertanya lebih banyak baru belajar tenis. Ini kesulitannya. Bisa berarti mereka hanya mengejar sertifikat. Terlihat sekali jika tidak lulus maka tidak ikut lagi kepelatihan berikutnya.
Sekarang menurut saya yang lebih penting adalah setiap pelatih atau calon pelatih disaat ikuti kepelatihan persyaratannya harus sudah punya siswa atau murid.
Pelatih adalah profesi yang mulia sekali, sehingga bisa digunakan sebagai sumber nafkah kehidupan sehari hari.
Saya sendiri ingin usulkan juga ke induk organisasi yang menangani kepelatihan ini, agar setiap pelatih juga harus ada promosi dan degradasi. Khususnya bagi pelatih yang lulus kepelatihan dan mendapatkan brevet pelatih atau COACH dalam waktu setahun sudah harus ada laporan aktivitasnya. Jika tidak ada sebaiknya dicabut. Cara ini sudah diberlakukan di perwasitan internasional. Ada ketentuan dalam setahun minimal sudah harus memimpin pertandingan minimal 25.Jika kurang maka akan diperingati dan bahkan diturunkan. Ini sudah dialami oleh 3 wasit white badge Indonesia, dicabut kembali jadi wasit nasional karena tidak memenuhi kriteria ITF.
Saya sendiri scara pribadi pernah selenggarakan National ITF Level-1 coaches course di Jakarta. Dengan peserta seperti yang sduah lulus adalah Bunge Nahor, Albert Polohndang, Erni (Karawang), Paulinawati , Martin Setiawan (Bandung), Jemmy Manempo (Papua Barat), Abdul Radjab (Palu). Ada keinginan lagi selenggarakan hal yang sama diluar Jakarta, karena rekan rekan Pelti didaerah kurang bersemangat selenggarakan kepelatihan ini. Entah apa sebabnya, karena dalam setahun ini kurang sekali kepelatihannya

Tidak ada komentar: