Jumat, 07 Agustus 2009

Berani Berbuat Berani Bertanggung jawab

Jakarta, 7 Agustus 2009. Tenis mengenal tentang istilah sportif, karena merupakan bagian dari salah satu cabang olahraga. Bagi masyarakat yang berkecimpung dipertenisan juga diminta ikut mengenal istilah sportif tersebut. Bukan hanya mengenal tapi dituntut dalam perbuatannya juga. Saya sendiri sebagai mantan atlet tenis yunior sudah harus menjalankan sportivitas tersebut baik dalam kehidupan sehari hari. Apalagi jika berkecimpung dimasalah tenis. Jikalau melakukan kesalahan tentunya dengan lapang dada harus berani mengakuinya dan juga meminta maaf. Tentunya dalam perjalanan kehidupan di tenis Indonesia, setiap insan pernah lakukan kesalahan kesalahan dan lebih pentinh menyadari atas kesalahan tersebut. Pernahkah saya lakukan kesalahan. So pasti pernah dan tidak perlu malu mengungkapkan.

Kesalahan yang pernah saya lakukan dalam 2-3 tahun terakhir adalah kesalahan terhadap salah satu orangtua petenis. Kesalahan karena kurang fasih menggunakan internet ataupun komputer. Disaat itu ada tulisan dari salah satu orangtua yang mempunyai putra petenis yunior , saat itu masih masuk KU 14 tahun. Kebetulan rekan tersebut juga berasal dari Sulawesi Utara, sehingga saya tertarik juga berikan tanggapan. Saya waktu membacanya sedikit emosi (maklum satu daerah) karena sebenarnya ingin menyampaikan sebagai orangtua janganlah terlalu "cengeng" istilah saya karena seharusnya tunjukkan prestasinya dulu baru berbicara minta perhatian terhadap institusi. Karena selama ini banyak sekali keluhan yang saya terima dilapangan dari para orangtua yang sealu mengatakan tidak ada perhatian dari Pelti baik setempat maupun Pusat. Selama belum ada prestasi janganlah dulu minta minta, begitulah kiranya pendapat saya pribadi yang selama ini saya kumandangkan kepada orangtua petenis dimana saja berada, dengan tujuan agar tetap tegar dalam menunjang prestasi atletnya. Dalam kolom komentar situs tersebut saya kemukakan pendapat saya. Tapi karena setelah menulisnya saya berubah pikiran sehingga timbul rencana tidak jadi dikirim atau didelete saja. Saat itu saya belum mencantumkan nama sipengirim. Ternyata salah klik dikomputer, sehingga sudah terkirim. Nah, repotnya waktu itu saya gunakan komputer Pelti sehingga tercatatlah nomer email Pelti.
Begitu beredar, hebohlah disitus tersebut dimana orangtua petenis darah Sulawesi Utara itu marah karena tidak ada nama sipengirim.
Sayapun kaget awalnya, setelah lihat tulisan tersebut maka sayapun sadar dan segera kirimkan email ke orangtua tersebut dengan tembusan begitu banyak alamat untuk minta maaf. Begitulah yang saya alami, sehingga tidak ragu ragu jika berbuat salah langsung memohon maaf. Yang jadi tanda tanya bagi yang tidak sadar alias merasa benar , kecuali kemungkinan minta maaf sangat kecil.

Sama juga dalam pertandingan kita kalau kalah harus bersalaman untuk mengakui kemenangan lawan, bukan sebaliknya. Bahkan ada hukumannya jika tidak bersalaman. Nah memang tidak bisa kita menginginkan semua pelaku tenis bisa berbuat seperti itu tergantung dari latar belakang masing masing. Begitu juga karakter masing masing individu tentunya berbeda bahkan attitudenya.
Kemarin saya mencari tahu isi salah satu situs yang sering menyerang saya selaku Wakil Sekjen PP Pelti, untuk ditunjukkan kepada rekan rekan Pelti (yang ternyata tidak pernah membaca situs tersebut). Hasilnya sudah tidak ada alias sudah dihapus semuanya. Ini salah satu bukti ketidak mampuannya berbicara dipertenisan kita yang juga merupakan gentlemen sport. Penghapusan sebagai tindak preventipnya jika suatu saat bisa ketemu dengan petinggi Pelti maka bisa bersih diri. Sehingga tidak bisa dibuktikan.

Masih ada orang yang lempar batu sembunyi tangan, yang seharusnya berani berbuat berani bertanggung jawab. Ini merupakan kado untuk saya terima yang hari ini tepat berusia 63 tahun. Ha ha ha ha

Tidak ada komentar: