Senin, 25 Agustus 2008

Komentar2 di website Pelti

21 Agustus 2008. Membaca komentar masyarakat didalam website Pelti ( www.pelti.or.id), sangat mengiris hati sebagai pecinta tenis. Karena dengan berbagai cara kadang kadang mengabaikan etika sehingga lupa kalau tenis adalah gentlemen sport. Ya, mau diapain lagi setiap orang punya kemauan masing masing.

Penilaian August Ferry Raturandang terhadap komentar komentar tersebut, merupakan akibat dari ketidak puasan terhadap pertenisan nasional. Satu sisi Pelti selaku induk organisasi berupaya memuaskan semua pihak, satu sisi masyarakat menuntut agar hasilnya segera terwujudkan. Dan tidak mau tahu atas kendala kendala yang ada dihadapi induk organisasi.

Selama ikuti pertenisan nasional, mulai dari sebagai pemain aktif sejak berusia 13 tahun ikuti turnamen nasional sampai menjadi pengurus klub kemudian berkembang pengurus Pelti dari tingkat daerah (provinsi) sampai Pusat, tiap dekade selalu tenis Indonesia diramaikan dengan pemaksaan kehendak dari masing masing pihak dan egois pelaku pelaku sebagai ciri khas olahraga individual dan tidak akan menemui titik temu. Era Yonosewoyo sudah ada ribut2 antara pemain dan pengurus (ingatan saya Yustedjo Tarik ribut dengan KU PB Pelti), masuk era Moerdiono, era Cosmas Batubara, era Sarwono Kusumaatmadja, era Tanri Abeng dan masuk Era Martina Widjaja ( 2 periode).

Ada keributan antara Pelti dengan pemain, ada lagi ribut antara pengurus Pelti sendiri bisa mencuat keluar alias ke media massa. Sangat empuk jadi sasaran tembak berita dari media massa. Bahkan pernah mendengar langsung reporter salah satu media televisi ketemu petinggi Pelti minta komentar yang miring karena TV nya naik rating akibat rajin memberikan berita2 miring tersebut. Aneh kan, tapi nyata.

Ada yang mengangap tidak transparan Pelti terhadap masyarakat tenis, terutama pemilihan tim nasional menjadi prioritasnya, belum lagi sekarang muncul KKN dan sebagainya. Kriteria dipermasalahkan, padahal sepengetahuan August Ferry Raturandang, kriteria tim nasional sudah dibuat sejak era Moerdiono. Dan saat Martina Widjaja ( 2004) kriteria tersebut sudah dipajang diruang tamu kantor sekretariat Pelti, dengan tujuan agar mudah diketahui seluruh masyarakat tenis jika bertandang ke kantor Pelti.

Masalahnya, tidak ada keinginan bertamu ke kantor Pelti yang sebenarnya tidak rugi kalau mau bertamu ke kantor Pelti. Bisa dapatkan informasi langsung kekaryawan Pelti yang menangani bidangnya.

Selama ini ukuran keberhasilan dari mata masyarakat adalah tim nasional, dari tahun ketahun sehingga jika tim nasional anjlog maka dianggap prestasi tenis menurun. Ini sih sah sah saja, karena tuntutan masyarakat hanya dengan kacamata tim nasional. Sehingga menyepelekan grass root development yang selama ini sudah dibuat dan digalakkan sesuai dengan VISI dan MISI.

Masalah KKN , tergantung dari kacamata masing masing pihak. Harus diakui kalau dalam kepengurusan PP Pelti sekarang, yang duduk didalamnya ada yang kakak adik ( Sekjen Soebronto Laras dan Ketua Bid.Pembinaan Senior Diko Moerdono, Wakil Sekjen AFR dan Komite Kepelatihan Alfred H Raturandang ). Yang menjadi pertanyaan, apakah hubungan kakak adik ini ada dan bisa pengaruhi pembinaan atlet nasional ?
Tenis di Indonesia banyak berasal dari keluarga tidak bisa dipungkiri lagi, biasanya orangtua bermain tenis maka anak anaknya main tenis. Ini juga terjadi di keluarga Moerdono dan Raturandang, sehingga putra putranya main tenis.

Arus informasi diperhatikan sehingga ada website Pelti yang sangat dan amat sederhana, agar bisa mendapatkan informasi secepatnya. Begitu juga dilengkapi dengan email. Tetapi tanggapan yang muncul menghendaki agar website Pelti ini harus canggih tanpa memikirkan SDM yang menanganinya. Kesulitan SDM diera saat ini tidak bisa dijadikan alasan, tetapi kenyataannya demikian. Karena pendanaan saat ini berdasarkan prioritas.

August Ferry Raturandang sendiri mencoba memberikan semua informasi sedini mungkin ke masyarakat tenis yang memiliki email sesuai dengan kemampuan penguasaan TI nya. Karena pengetahuan tentang TI sangat minim ibarat tahu nyetir mobil tapi tidak bisa perbaiki apalagi membuat macam variasi. Contohnya saja blogger ini sangat polos sekali.

Ketidak puasan selama ini dilimpahkan kepada August Ferry Raturandang dengan berbagai cara. Ada yang kurang puas yang lebih ekstrim dengan mengajak berantem melalui pesan singkat (SMS) , hanya saja tidak mau dilayani. Karena semua masalah kalau ditangani dengan kepala panas maka tidak akan memecahkannya. Inilah resiko duduk sebagai pengurus induk organisasi tenis di Indonesia. Itu disadari sekali sehingga sudah harus membiasakan diri untuk bersabar. Cukup dihadapi dengan hati yang gembira ( walaupun hati hancur), adalah obatnya yang manjur. Begitu jua hati yang lembut bisa mendatangkan sahabat. Tetapi jika kita hadapi dengan hati yang licik, maka mendatangkan musuh.

Tetapi sebenarnya ada cara yang bisa untuk menghadapi permasalahan ini. Seperti yang dikatakan orang bijak , kalau masing masing pihak mau meningkatkan TOLERANSI maka semua perbedaan perbedaan masih bisa mencapai titik temu. Dalam agama juga disebutkan kalau adanya perbedaan perbedaan itu adalah hikmah.

Masalahnya sekarang, apakah setiap insan tenis mau meningkatkan Toleransi tersebut, kalau tidak, ya Kun Fayakun

Tidak ada komentar: