Jakarta, 10 Desember 2008. Di dunia olahraga kita mengenal dua jalur, amatir dan profesional. Ketika jalur amatir lebih menitikberatkan pada pembinaan si atlet dan cabang olahraga itu sendiri, dunia profesional lebih mengarah pada bisnis yang bisa menjadi pegangan hidup si atlet. Tidak mengherankan jika jalur profesional selalu menjadi tujuan akhir para atlet dimanapun di planet bumi ini.
Jalur profesional memang begitu menjanjikan. Sederet contoh untuk itu terpampang cukup nyata. Para pemain profesional baik itu di tenis, basket, sepak bola, tinju maupun cabang olahraga lainnya bisa hidup layak dari uang yang dihasilkannya. Bahkan , tak sedikit para olahragawan yang hidup bak jutawan. Dengan kepopuleran da kekayaan yang dimiliki, mereka bisa berdiri sejajar dengan para pesohor dari dunia lainnya.
Sentuhan profesionalisme didunia olahraga memang telah menjadikan ajang ini sebagai bisnis hiburan yang melibatkan uang yang sukar dibayangkan. Bagaimana seorang Andre Agassi bisa mondar mandir dengan pesawat jet pribadinya. David Beckham bisa membanggakan istana bernilai jutaan poundsterling dan sederet bintang olahraga lainnya yang bisa hidup di tengh kemewahan bagaikan keluarga Oasis.
Seperti halnya di negeri lainnya, sentuhan profesionalisme juga menambah dunia olahraga di Indonesia. Meski belum membuat para atletnya menjadi jutawan tingkat dunia namun setidaknya mereka bisa hidup layak dengan segala kemewahan yang dimilikinya.
Mungkin ada tahun '70 hingga akhir 80-an, sukar membayangkan ada atlet yang bisa hidup dengan gemilang kemewahan, jangankan untuk membeli barang-barang mewah, untuk mncukupi kebutuhan hidup saja mereka masih harus berpikir keras.
Tapi saat ini, bisa dilihat bagaimana Taufik Hidayat bisa berganti=ganti mobil sport mewahnya kapan dia suka. Juga pemain sepak bola Kurniawan Dwi Julianto yang bisa menghasilkan uang ratusan juta dalam setahun hanya dari kepiawiaannya mengolah si kulit bundar. Saat ini, atlet-atlet yang bisa menikmati hidup seperti Taufik dan Kurniawan di Indonesia sudah tidak bisa lagi dihitung dengan jari. Semua itu karena ajang profesional, olahraga semata-mata merupakana bisnis murni.
Seperti dunia bisnis lainnya, selalu ada aturan mai untuk menjaga hubungan agar tetap saling menguntungkan. Segalanya diatur dengan perjanjian kontrak tertulis yang berkekuatan hukum dan benar benar ditata secara profesional.
Kasus kasus ketidak profesonalan di ajang olahraga profesional Indonesia bukan hanya masalah Chrisjohn. Diajang sepak bola Liga Indonesia yang mulai ditata dengan profesional sejak tahun 1994 banyak sekali terjadi hal-hal yang kurang profesional,
Masalah teranyar terjadi ketika PSSI sebagai penyelenggara Liga yang disponsori produsen roko ternama harus kelimpungan ketika tiga klub di antaranya telah mengikat kontrak dengan sponsor lainnya dengan produk serupa.
Tentu saja PSSI sudah seharusnya bisa mengantisipasi hal-hal seperti ini sebelumnya. Andai saja induk organisasi sepak bola itu bisa bekerja lebih profesional dengan mampu menggaet sponsor jauh sebelum musim kompetisi Liga digelar, tentu klub-klub tidak berani melakukan negosiasi dengan sponsor yang memiliki produk serupa.
Yang terjadi adalah, ketika klub-klub sudah mampu mendapat sponsornya sendiri jauh-jauh hari, PSSI baru belakangan menggaet sponsor hanya satu minggu sebelum kompetisi digelar. Belajar dari dua kasus di atas, bisa jadi inilah yang dinamakan profesionalisme amatiran.(*) ist Dikutip dari Majalah PRO Buletin Olahraga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar