Jakarta, 13 Desember 2008. Teringat sewaktu sedang selenggarakan turnamen Piala FR-59 di Balikpapan , August Ferry Raturandang terima telpon dari rekan Johannes Susanto. Ternyata apa yang disampaikan sebenarnya sudah tidak asing lagi. Karena Susanto menanyakan atau masih belum puas atas email yang dikirimkan oleh salah satu orangtua petenis yunior yaitu Indriatno S. "Mau tanya Fer, dia itu maunya apa ya. Mengatas namakan orangtua petenis sedangkan dia juga anggota (Humas) dari FORKOPI (Forum Komunikasi Orangtua Petenis). Apakah ini suara FORKOPI atau gimana karena mengatas namakan orangtua petenis (yang ada wadahnya sedang hangat2nya). Lain ceritanya kalau menggunakan nama sendiri bukan atas nama orangtua. "
Pertanyaan ini ditanggapi oleh August Ferry Raturandang dengan enteng. "Itu aja diributin, Biar aja mau apa dia. Kok gitu aja repot. Memang orangnya kritis. " Jawaban ini seadanya karena sedang sibuk mengatur jalannya turnamen di Balikpapan. "Boleh kritis tapi jangan ngawur dong !" ujar Susanto yang juga suka meledak ledak.
Diakuinya selama 5 tahun lebih paling sering terima email dari para orangtua petenis baik itu sebagai masukan maupun yang mau menggurui. Tetapi tidak semua ditanggapi karena menurutnya banyak masukan atau ingin menggurui institusi karena berdasarkan pengalaman mereka selama ini. Tetapi yang disayangkan selalu ditonjolkan masalah tidak transparan. Sedangkan rekan rekan diinduk organisasi tidak ada conflict of interest.
Dalih sudah berkorban untuk tenis, padahal sebenarnya kewajiban orangtua berkorban untuk anaknya. Karena yang dimaksud sudah berkorban adalah untuk anaknya sendiri. "Apakah pantas orangtua mengharapkan orang lain berkorban untuk anaknya ? " Dalih semacam ini sering mencuat kepermukaan . Sering lupa membedakan kewajiban orangtua dalam membina anaknya dilemparkan kepada orang lain.
Boleh saja ambisi yang kadang kadang ambisius terbawa dalam kehidupan anaknya dalam pertenisan. August Ferry Raturandang sering mengkritisi para orangtua. Karena kadang kadang tanpa disadari ambisi orangtua menjadi penghambat pembinaan anak anak. Saat ini dalam menyebarkan turnamen Piala Ferry Raturandang slogan " Win or Loose I Don't Care, Just Play TENNIS " selalu disosialisasikan agar tahu betul bagaimana cara membina atlet tenis yunior.
Dikatakan tidak transparan itu maksudnya belum jelas. Mungkin bisa saja August Ferry Raturandang tidak mengerti maksudnya tidak transparan. Maklum KATROK . Coba melayani setiap keinginan orangtua, tetapi tidak semuanya bisa diterima dengan baik. Telpon masuk tidak pernah ditolak (kecuali sedang rapat), bahkan sedang istrahatpun masih mau diterima. Minta tolong daftarkan putra dan putri keluar negeri tetap dilayani. Walaupun menggunakan email pribadi (raturandang@yahoo.com). Setiap bertanya selalu dijawab sesuai dengan kapasitasnya. Memang ada jawaban jawaban yang memuaskan dan ada yang tidak memuaskan. Tentunya ada alasan alasan tertentu sehingga keluar jawaban jawaban yang tidak memuaskan. Sebagai contoh pernah orangtua petenis kena sentak (kasarnya begitulah) dari salah satu ketua bidang. Karena waktu menelpon tidak tepat. Disaat sedang bermain golf bersama rekan bisnisnya, masuklah telpon tersebut. Ini akhirnya bemasalah. Sakit hati. Sulit mengatakan siapa salah. Dan itu yang terjadi sebenarnya.
Masalah selalu muncul jika menjelang atau setelah selesainya kegiatan. Terutama masalah seleksi nasional khususnya yunior.
Ada suatu kejadian tahun 2008, salah putrinya ikut dan diundi ketemu petenis Indonesia juga dan kalah. Ini masalah muncul, mau ngajarin seharusnya tidak boleh terjadi tetapi tidak mau tahu kenapa bisa terjadi demikian. Anaknya bisa muncul karena jatah peserta asing ada yang tidak datang. Agar komposisi undian tidak kacau maka ditawarkanlah tuan rumah. Dan sewaktu draw dikeluarkan nama anak itu tidak disebutkan dari Indonesia sebagai negara asalnya, tetapi kosong. Karena kalah itulah timbul macam macam argumentasi kekesalan dengan dilimpahkannya ke induk organisasi yang dianggap tidak membela putra sendiri. Inilah dia terlalu banyak permintaan yang memanjakan anak anak sendiri tanpa disadari telah mendidik salah. Kasus seperti ini sering terjadi dengan mengatakan induk organisasi tidak membela atletnya sendiri. Semua ini terjadi didepan mata August Ferry Raturandang. Lebih sedih lagi pembelaan ini diketahui oleh anaknya juga.
Tetapi pada dasarnya semua inisiatip muncul berdasarkan kepentingan sendiri maksudnya kepentingan putra atau putrinya. Apakah ada orangtua yang tidak punya putra atau putrinya menyampaikan usulan atas kebijakan induk organisasi yang dianggap tidak berkenan dihatinya? Jawabanya so pasti tidak ada.
Belum lama ini ada masalah penggunaan email Pelti dikirimkan ke salah satu orangtua petenis tanpa menyebutkan sipengirimnya. Jadilah masalah besar sekali. BIG NEWS. Karena didistribusikan keseluruh Indonesia tetapi tidak ditembuskan kepada August Ferry Raturandang. Biasanya selalu kecipratan tembusan email. Kali ini tidak. Entah maksud dan tujuannya mau menjelek jelekan induk organisasi. Seperti ada kepuasan tersendiri bisa menceritakan kebobrokan pihak lainnya. Adanya email tersebut justru dari sipengirim email yang juga kenal baik dengan August Ferry Raturandang. Hebatnya tanggapan dari August Ferry Raturandang terhadap munculnya email tersebut tidak disebar luaskan. Padahal sudah ada pengakuan darinya sebagai sipengirim email yang sebenarnya pendapat pribadi bukan institusi. Ternyata email itu dibuat sewaktu membuka website indonesiatennis.com, mau kirim komentar langsung di indonesiatennis.com (bukan dgn email info@pelti.or.id), dengan gunakan komputer di Pelti. Komentar itu tidak jadi dikirim sehingga tidak dicantumkan nama sipengirim. Ini bukan suatu kesengajaan dan sudah diakui langsung kepada siorangtua tersebut. Jawaban dari orangtua tersebut sudah ada dan bisa menerima pengakuannya. Isi email tersebut tidak disanggah oleh sipengirim August Ferry Raturandang karena berdasarkan pengalaman selama ini di tenis Indonesia sehingga bisa mengeluarkan pendapat seperti itu. Dan pendapat pribadi itu bisa dipertanggung jawabkan olehnya sebagai pendapat pribadi yang juga pengamat tenis selama ini..
Memang menyebarkan kesalahan lebih cepat dari pada menyebarkan kebaikan. Bukanlah masalah kalau belum atau tidak saling kenal. Tetapi disini bisa dilihat tidak ada artinya pertemanan dalam olahraga tenis yang sudah dihimpun bukan baru satu dua tahun. Sudah bertahun tahun. Kadang kadang suka juga timbul emosi seperti yang dikemukakan oleh Susanto. Lebih baik menghujat dari pada berbuat sesuatu untuk tenis Indonesia. Lebih sial lagi jika ada orangtua yang juga sebagai pengurus Pelti baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten menghujat PP Pelti. Ya, apa mau dikata, semua terpulang dari itikad masing masing pihak. Karena kebaikan selalu dibalas dengan macam macam ..................................
Beginilah resiko duduk sebagai salah satu pengurus induk organisasi olahraga di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar