Rabu, 20 Maret 2019

Kelemahan Atlet Tenis Indonesia adalah Disiplin

Jakarta, 20 Maret 2019. Mempelajari perjalanan pertenisan nasional sejak tahun 1986 sampai 2012, AFR mendapatkan kesan terbenturnya arus lajunya pembinaan itu datang dari atlet maupun pelatihnya disamping mind-set orangtua yang berdampak pula ke atletnya sendiri adalah lebih kepada DISIPLIN. Kedengarannya seperti itu bukan masalah tetapi dalam pelaksanaannya jelas terlihat dilapangan terungkap kelemahan datang dari disiplin tersebut.

AFR alami sendiri betapi mirisnya disiplin atlet akibat diberi contoh oleh pelatihnya sendiri. Tetapi ada juga atlet yang jelas cukup tinggi disiplinnya, dimana diawali dari diri sendiri. Seperti contohnya jika ikut turnamen maka segala peralatan dalam tas sudah tersedia. Ada yang disediakan oleh orangtuanya dan ada yang disediakan oleh atletnya. Jika oleh orangtua maka ini sebagai hambatan kemandirian dari atlet tersebut.

Kejadian didalam lapangan disaat berada diluar negeri, AFR sendiri merasakan betapa disiplin itu muncul contoh tidak baik datang dari pelatihnya. Disaat atlet sedang ikut turnamen maka pelatihnya tidak ikut melihatnya Karena ingin keluar lapangan tenis mencari makanan diluar, setelah beberapa hari membosankan hidup antara hotel dan lapangan tenis setiap harinya. Ketika ditegur ternyata mendapatkan jawaban yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi ada pelatih yang disaat atletnya bertanding tidak berani melihat langsung, atau sedang sibuk diluar.


Jadi andaikan pengiriman atlet keluar negeri tanpa didampingi pelatih maka tidak ada yang bisa kontrol selama ikut turnamen. Seharusnya selama dilapangan tenis sambil menunggu jadwal pertandingan maka waktunya digunakan latihan pemanasan dengan atlet2 peserta asing lainnya. Biasanya kendala komunikasi dengan atlet asing karena minim bahasa Inggris bisa mempercepat kejenuhannya dikota tersebut. Berbeda dengan atlet yang fasih berkominikasi dengan atlet asing maka terlihat jelas kenaikan prestasinya. Hal ini bisa dilihat kemajuan atlet yang fasih berkomunikasi dengan atlet asing dibandingkan yang lemah berkomunikasi.
Yang jadi masalah bagi atlet ataupun pelatih yang belum pernah berkunjung disuatu kota di LN, maka kadangkala ada keinginan shopping dan lain lain sebagainya.

Begitu pula pernah beberapa tahun silam, AFR sempat menegur salah satu pelatih nasional yang sedang latihan dilapangan. Karena ada nomor tilponnya maka langsung ditegor, Karena saat itu terlihat pelatihnya sibuk dengan Hand Phone sedangkan atletnya sedang latihan drill. Jawabnya adalah sangat tidak professional. " Lagi terima telpon dari Pelti." Ini namanya jawaban konyol.
Kelihatannya kecil tetapi dampaknya terlihat disaat atlet tersebut selesai jadwal drill nya maka apa yang dilakukannya. Bukan melihat bagaimana rekannya latihan tetapi langsung mengambil HP dalam tasnya untuk bertelpon ria

Nah, bagaimana mengatasinya masalah sangat penting. Jika ada sponsor atau dana maka lebih baik dana tersebut digunakan masuk training camp di Luar Negeri. Lebih cenderung ke Eropa atau Australia. Karena ditangani pelatih bule lebih ketat dalam disiplin tersebut. Selama disiplin ini tidak ditangani dengan baik, maka lamban perkembangan prestasi atlet Indonesia.

Coba kita perhatikan dalam 2 tahun ini, begitu gencarnya atlet nasional putri Indonesia (Aldila Sutjiadi, Jessy Rompies dan Beatrice Gumulya) yang pernah sekolah di Luar Negeri dibandingkan atlet yang tidak pernah berlatih ataupun sekolah di luar negeri. Mereka yang pernah mengeyam latihan di LN tetapi eksis disetiap turnamen i nternasional. Atlet lainnya tidak terdengar kegiatannya. Kecuali Christopher Rungkat merupakan satu satunya atlet putra Indonesia yang punya disiplin tinggi. Maka dari itu masih eksis dipercaturan internasional. "Lainnya kemana ?? "

Tidak ada komentar: