Jakarta, 16 Maret 2019. Suasana di kejurnas RemajaTenis Jakarta-79 kali ini cukup ramai membicarakan masalah kebijakkan PP Pelti tentang KTA. Pro kontra selalu ada. Yang memunculkan masalah adalah kebijakan PP Pelti yang mewajibkan mulai 1 April 2019 setiap peserta TDP Nasional memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Pelti. Yang lebih spesifik masalah waktu mendaftar wajib bayar Rp 250.000 untuk mendapatkan KTA Pelti tersebut.
Masalah ini akan terus diperbincangkan, karena kesan yang muncul adalah PP Pelti tidak mau membuka hati terhadap keluhan dari masyarakat tenis khususnya yang memiliki petenis yunior. Bahkan reaksi juga muncul dari salah satu Ketua Pengcab Pelti di Jawa Timur yang dikenal juga sebelumnya petinggi Pengda Pelti Jawa Timur.
Disamping tidak akan habis habsnya muncul pembicaraan masalah KTA Pelti jika setelah kumpul dalam satu kegiatan dimana kesempatan menyampaikan uneg unegnya kepada AFR.
Hari ini ada yang lebih sedikit tidak mau kompromi karena putranya sudah berhasil mengurus KTA Pelti melalui online. Saking kesalnya sehingga menyampaikan jika anaknya ikut TDP di bulan April 2019 dimana sudah diterapkannya ketentuan wajib punya KTA Pelti, lawannya akan ditanya KTA Pelti juga. Jika ternyata lawannya belum memiliki KTA maka dia akan minta agar kalah WO saja. Ini sebagai konsekuensinya aturan PP Pelti diterapkan. " Pelti harus tegas juga jika terjadi pelanggaran." ujarnya yang tidak mau tahu alasan apapun diberikan panpel ataupun Referee.
Tetapi ada satu cerita lebih menarik sebenarnya, ketika ditunjukkan hasil berita di Tribunnews disaat Musyawarah Nasional Pelti di Banjarmasin bulan Nopember 2017, pernyataan salah satu pelatih yang saat ini pegang kunci dalam pembinaan PP Pelti yaitu menjamin kalau sosok ketua umum PP Pelti sekarang lebih cocok karena mau membangun tenis kedepan lebih baik. Katanya tenis sudah ketinggalan dalam 4 tahun terakhir.
AFR diminta agar mencoba buat statistik populasi petenis yunior saat ini yang sudah memasuki tahun kedua masa kerja PP Pelti ( 2017-2022). Mereka katakan menunggu hasil nyata. Selama ini dibangga banggakan kalau medali emas di Asian Games 2018 merupakan hasil kerja PP Pelti 2017-2022, hal ini dibantah langsung dalam pembicaraan tersebut karena Christo dan Aldila bukan hasil pembinaan PP Pelti saat ini. " Salah satu cabor yang berhasil meraih medali emas Asian Games 2018 bukan hasil pembinaannya sendiri adalah Tenis." Begitulah pernyataan dari salah satu orangtua atlet tenis yunior peserta RemajaTenis Jakarta-79
" Berapa banyak petenis yang sudah dihasilkan oleh Pelti periode sekarang.? " Begitulah bentuk kekecewaannya sehingga begitu penuh perhatian terhadap pembinaan tenis saat ini yang kesannya tidak memiliki program jelas.
Coba perhatikan kebijakan PP Pelti untuk seleksi tim putri 14 tahun, sedangkan tim putra tidak diseleksi. Nasib yang sama akan muncul jika pemilihan tim KU 12 tahun untuk mewakili tim Indonesia diajang kejuaraan dunia beregu Junior Tennis Competition. Adanya perbedaan kebijakan ini dianggapnya aneh sekali dan diprediksi penyebabnya itupun dibicarakan. " So pasti karena ada si A yang merupakan anak kesayangannya." ujar salah satu pelaku tenis di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar