Jumat, 28 November 2008

Kebutuhan Referee di Indonesia

28 Nopember 2008. Turnamen tenis nasional maupun internasional di Indonesia cukup semarak, sehingga banyak tenaga trampil sangat dibutuhkan dalam menjalankan kegiatan turnamen. Sehingga ada peningkatan kebutuhan atas tenaga tenaga ofisial pertandingan. Seperti tenaga wasit , Referee, pelaksana turnamen dll. Jika tenaga wasit sudah beberapa tahun dilaksanakan baik diluar Jawa maupun Jawa sesuai dengan kebutuhan Turnamen tersebut. Tetapi yang sangat dibutuhkan segera adalah tenaga REFEREE.
Sempat bertemu dengan rekan pelaksana turnamen , yang menganggap tenaga Referee itu sangat mudah . Dan mengklaim dirinya bisa jadi Referee TDP. Tetapi August Ferry Raturandang masih menganggap tenaga Referee itu tidak semudah yang dipikirkannya . Bukan berarti belajar otodidak sekalipun belum bisa dipakai sebagai Referee. Setiap Referee sudah pasti dari Wasit.
Selama ini dalam 4 tahun terahir, oleh induk organisasi tenis (Pelti) telah diprogramkan setiap wasit internasional yang dimiliki Pelti diprogramkan menjadi Referee. Ada 15 tenaga Wasit internasional (White Badge) tetapi tidak semua bisa dan mampu menjadi Referee. Sedangkan tahun 2009 diperkirakan ada 80 turnamen nasional di Indonesia . Berarti dibutuhkan sekitar 80 tenaga Referee. Nah, yang menjadi persyaratan seorang Referee itu apa ?
Sepengetahuan August Ferry Raturandang, tugas seorang Referee sebagai penanggung jawab jalannya turnamen sudah harus fasih menguasai masalah Rules of Tennis. Dan juga peraturan peraturan ITF ataupun TDP (Turnamen Diakui Pelti). Kelihatannya gampang, setiap orang sudah bisa belajar sendiri. Pendapat ini bisa juga benar . Tetapi banyak kasus kasus yang sering terjadi didalam lapangan yang tidak tercantum dalam peraturan peraturan tersebut. Seringkali August Ferry Raturandang mendampingi ITF Referee asing selama bertugas di Indonesia, banyak diskusi terjadi dengan wasit wasit membicarakan kasus per kasus yang sering terjadi di lapangan tenis disuatu turnamen. Menyelesaikan masalah masalah setiap individu beda beda cara penanganannya. Ini butuh suatu komunikasi antara rekan rekan sesama Referee.
Contoh kasus yang terjadi di tahun 2008. Saat itu di Kemayoran (Women's Circuit) dan Balikpapan (Men's Futures). Ada kasus dalam penerimaan peserta di Balikpapan. Saat itu August Ferry Raturandang bertanya kepada Referee (Bronze badge) di Men's Futures, jawabannya adalah tidak boleh. Besoknya bertanya kepada Referee Women's Circuit di Kemayoran, jawabannya boleh. Saat itu terlihat ada komunikasi antara kedua Referee dimana Referee yang di Balikpapan bertanya kepada rekannya di Jakarta. Akhirnya Referee yang di Balikpapan membolehkan pertanyaan August Ferry Raturandang.
Intinya komunikasi dan saling membantu sesama rekan.
an
Bagaimana dengan perwasitan di Indonesia.
Suatu saat August Ferry Raturandang bertanya kepada salah satu rekan wasit white badge di Indonesia masalah keinginan agar ada peningkatan tenaga Referee yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Biasa menatar Wasit bukan berarti ada keinginan lakukan penataran referee.
"Kami juga dulu belajar sendiri masalah menjadi Referee." ini jawabannya bukan solusinya.
Beberapa tahun lalu pernah menerima email dari salah seorang wasit white badge Indonesia. "Kenapa Pelti tidak mau menghargai dengan baik tenaga Referee Indonesia." Menerima pertanyaan yang bagus sekali waktu itu. Dan juga harus dihormati adalah keberanian bertanya karena selama ini ada kecendrungan takut takut bertanya seolah olah takut dimusuhi. Kecendrungan takut tidak diberikan tugas oleh PP Pelti juga ada.
Langsung dijawab email tersebut dengan mengatakan Pelti berani bayar honor Referee sesuai keinginannya asalkan benar benar kerjanya seperti yang dilakukan Referee asing. Ada sedikit kekaguman terhadap dirinya tersebut tetapi begitu mengetahui cara kerjanya maka luntur sudah atas kekaguman tersebut.
Perlu juga diketahui selama ini August Ferry Raturandang melayani Referee asing bertugas di Indonesia, bisa menceritakan apa saja yang dilakukan mereka. Begitu tiba di Airport ke hotel, ada yang langsung ke hotel untuk check-in bukan untuk istrahat tetapi meneruskan perjalanannya ke lapangan.Tetapi banyak juga yang langsung ke lapangan tenis untuk men cek persiapan fasilitas fasilita lapangan tersebut. Tidak ada yang langsung masuk check-in dan istrahat walaupun alami perjalanan cukup panjang ke Jakarta. Di cek perlengkapan lapangannya, mulai dari net, single's pool, kursi wasit, ukuran lapangan bagi yang untuk pertama kali datang. Sebagai persiapan acara undian, Referee tersebut selalu memeriksa ke website ITF karena pendaftaran melalui ITF, juga peringkat dunia ke situs ATP-Tour/WTA Tour. Ini berarti setiap Referee sangat familiar dengan IT dan punya laptop sebagai bagian dalam kehidupan bekerjanya. Ketelitian merupakan prioritas utama. Tetapi banyak juga Referee asing yang kurang teliti hanya prosendtasenya sedikit karena sudah terlatih. Tapi human error pasti ada juga. Melihat bobot kerja cukup besar mayoritas kedatangan Referee sehari sebelum acara sign-in (Sabtu) yaitu Jumat, kecuali jadwal kedatangannya tergantung penerbangan ke Indonesia.
Nah, berapa honor didapat mereka. Tidak terlalu besar yaitu sekitar US$ 800,00 - 1,000,00 untuk kerja selama 7-10 hari.
Pengamatan selama ini, mayoritas yang dilakukan oleh Referee Nasional tidak seperti yang dilakukan diatas. Bahkan pernah suatu saat August Ferry Raturandang di Bandung melihat suatu turnamen nasional. Jadwal sign-in adalah Sabtu mulai pkl 16.00-18.00. Tiba dilokasi sign-in tidak menemukan Referee yang bertugas saat itu. Ketika ditanyakan kemana perginya didapat jawaban adalah sedang ke keluarganya karena Referee tersebut berasal dari luar kota. Tetapi ada kecurigaan jawaban tersebut tidak jujur karena ada kemungkinannya belum hadir. Akibatnya acara undian berakhir pukul 23.00, dan order of play baru selesai larut malam.
Jadi setiap Referee sudah harus memiliki atau mahir menggunakan laptop dan printernya. Disini tidak semua Referee yang bertugas memilikinya. Tetapi mau jadi Referee. Dengan adanya laptop sangat membantu kerja Referee didalam suatu turnamen. Tetapi banyak yang telah memilikinya. Ada yang kerjanya bisa dikatakan malas dalam membuat laporan. Dalam melaksanakan tugas, Referee setelah lakukan undian kualifikasi diwajibkan mengirimkan hasil undian tersebut ke PP Pelti atau ITF untuk internasional. Begitu juga hasil hariannya. Dan setelah berakhirnya turnamen diwajibkan maksimal setelah 3 hari turnamen selesai sudah harus diterima laporan keseluruhannya di PP Pelti. Sedangkan turnamen internasional diwajibkan saat selesainya turnamen langsung kirimkan laporan ke ITF dengan email atau FAX
Indonesia beberapa kali ditegur akibat terlambatnya laporan hasil turnamen dikirimkan ke ITF oleh Referee Nasional dalam menangania turnamen internasional yunior. Hal hal seperti ini sudah seharusnya diperhatikan oleh Referee tersebut. Sudah lama August Ferry Raturandnag sampaikan kepada Bidang Pertandingan, siapa yang mengontrol kerja dari Referee , karena banyak kerja Referee dilapangan belum memenuhi syarat. Contoh kecil, adakah dari laporan laporan Referee mengenai pelanggaran pelanggaran code of conduct untuk TDP Nasional. Jawabannya adalah TIDAK. Kenapaaaaa?

Tidak ada komentar: