Selasa, 12 Februari 2008

Sportivitas Hanya Slogan Saja

Sportivitas sudah lama dikenal dalam dunia olahraga umumnya. Seharusnya sportivitas sudah harus dijalankan. Kalau didalam sepakbola menjelang pertandingan selalu diawali dengan barisan anak anak dengan membawa spanduk FAIR PLAY.Begitu juga pengakuan pemegang 5 medali emas Olimpiade Sydney 2000 Mation Jones asal USA berani memberikan pernyataan resmi masalh penggunaan doping di Olimpiadetersebut. Bagaimana dengan tenis. Baru bari ini dunia tenis internasional dikejutkan dengan mundurnya Martina Hingis karena dugaan menggunakan kokain, dan akhirnya menyatakan mundur. Punya rasa salah karena mengejar prestasi dengan cara tidak spotif. Bagaimana dunia tenis di Tanah Air ?

Sejak saya mengenal tenis mulai usia12 tahun selalu diajarkan oleh orangtua agar bertanding dengan sportif. Begitu juga diarena turnamen resmi atau sekarang dikenal dengan Turnamen Diakui Pelti(TDP) Tetapi kenyataannya dalam pelaksanaannya sampai sekarang masih sering terlihat perilaku yang tidak terpuji dilakukan oleh pelaku pelaku tenis dilapangan. Tapi akhir akhir ini dunia tenis yunior terlihat makin menggila. Tidak lupa saat saya masih sebagai Manager Program Pertandingan di Pengurus Besar PELTI (Persatuan tenis seluruh Indonesia) tahun 1989-1993, saya pernah menemukan satu atlet tenis asal Surabaya mempunyai 2 akte kelahiran dengan tahun yang berbeda. Apakah Akte tersebut bisa dikategorikan PALSU. Tidak jawabannya, karena instansi yang mengeluarkannya sama. Jadi ASLI. Tidak kurang akal saya saat itu untuk mendatangi Kantor Catatan Sipil kota Surabaya. Memang benar ada 2 akte kelahiran dengan nama , orangtua yang sama. Bedanya hanya tahun kelahiran , nomer akte dan tanggal dikeluarkannya akte tersebut yang beda. Cukup bahan didapat langsung saya laporkan ke Referee yang bertugas Sdr Rory Anggoro. Tindakannya yaitu dengan petenis tersebut di larang bertanding.

Tahun 2006 keluhan bertubi tubi datang dari orangtua petenis yang selalu rutin ikuti turnamen tenis yunior Persami Piala Ferry Raturandang, mengatakan kalau masalah pokok disetiap TDP Yunior ada saja masalah atelt dicurigai catut umur, tetapi saya hanya minta bukti dalam bentuk akte kelahiran. Kemudian saking kesalnya merasa keinginan mereka tidak diikuti maka muncullah kata kalimat kalimat yang tidak enak yaitu kalau ini dilaporkan ke PB Pelti sama saja disimpan ditong sampah. Ini yang membuat hati saya sedikit panas, dan ingin membuktikan kalau masalah ini hanyalah masalah kecil bagi saya yang pernah menemukan atlet tenis Surabaya yang punya 2 akte kelahiran tsb di turnamen Widjojo Soejono Cup . Tapi saya tidak berada di posisi bidang pertandingan PB Pelti karena hanya Wakil Sekretaris Jenderal PB Pelti (2002-2007). Karena punya rasa tanggung jawab ingin ikut memperbaiki pertenisan Indonesia, saya berinisiatip untu minta dukungan Ketua Bidang Pertandingan PB Pelti Enggal Karjono. Disambutlah dengan baik, ini membuat saya sedikit lebih leluasa.

Yang menjadi pertanyaannya, kenapa ditahun 2007 ini sejak awal tahun sampai Oktober 2007 sudah ada 17 petenis yunior yang terlibat tidak Sportif. 2 atlet aktenya dipalsukan. Dan 15 atlet memiliki 2 akte kelahiran dgn tahun berbeda. Asal mereka dari 1 Jawa Barat, 1 Sulawesi Utara dan 15 dari Jawa Tengah. Begitu juga yang diragukan. Sebenarnya bisa didapatkan jika diminta langsung Akte Kelahiran ASLI karena dalam database diberikan hanyalah copy Akte Kelahiran.
Bahkan ada yang lebih gawat yaitu atlet tenis dari Tegal mempunyai 2 akte berbeda tahun , beda instansi Kantor Catatan Sipil dan beda nama kedua orangtuanya, tapiorangnya sama. Heibat sekali niat tidak sportif ini.
Apakah mereka berpikir kalau mencatutkan umur untuk mencapai keinginan besar menjadi JUARA merupakan tindakan terpuji. Saya yakin mereka baik Orangtua maupun Pelatihnya so pasti tahu kalau tindakan ini tidak terpuji. Keyakinan ini muncul karena ada orangtuanya pendidikan Sarjana Pendidikan (S.Pd). Menurut pendapat saya mereka berprinsip kalau PB Pelti itu tidur dan tidak akan memperhatikan. Masalahnya kenapa mereka tidak sportif sebagai jalan pintas mengejarJUARA. Ternyata menurut pendapat saya ini akibat tidak konsistennya pelaku Panitia Pertandigan khususnya dengan aturan aturan yang dibuat oleh International Tennis Federation (ITF) maupunPB Pelti dengan Ketentuan TDP Kelompok Yumior. Aturan apa yang dilanggar.? Yaitu masalah PRIZE MONEY yang tidak diperkenankan dalam pemberian hadiah disetiap TDP Kelompok yumior. Jelas dilarang tetapi banyak kamuflase dilakukan oleh Panpel sehingga banyak orangtua petenis berusaha mencari hadiah uang tersebut di TDP yunior.
Bukan hanya petenis yunior masalah ini muncul. Hebatnuya di kelompom veteranpun demikian. Coba lihat setiap ada kejuaraan veteran masalah umur juga mencuat. Dulu yunior dimudakan usianya begitu veteran dituakan umurnya juga.
Saya pernah didatangi oleh ayah dari salah satu orangtua petenis Andrea Guntara dari Kudus. Dia minta kepastian status anaknya apakah dihukum berapa lama tapi lebih mementingkan nasib anaknya. Satu sisi berani mengakui kesalahannya juga patut dipuji, tetapi pengakuannya bahwa baru sekali turnamen dilakukannya itu yang perlu dipertanyakan. Karena menurut saya mana ada maling mau ngaku lakukan dua kali.
Kelihatannya faktor ekonomi yang menuntut agar anaknya bisa hidup di tenis. Bahkan seperti setengah mengemis kepada saya tanpa memikirkan perasaan dari anak anak lainnya yang pernah dikalahkan putranya dengan tidak sportif itu. Ketika itu saya katakan sebagai pendapat pribadi saya yang terang terang tidak setuju atau anti masalah pencurian umur. "Janganlah Anak itu dikorbankan." demikianlah salah satu permintaannya. Saya sangat setuju kalau anak jangan dikorbankan. Yang harus dikorbankan adalah Ayahnya, karena menyangkut pemalsuan Akte Kelahiran atau memberikan informasi salah ke kantor Catatan Sipil sehingga dikeluarkannya Akte Kelahiran Pemutihan, itu namanya PIDANA. Konsukuensinya adalah masuk PENJARA.

Masalah lain adalah tidak sportifnya pelaku pelaku tenis ini. Sebagai contoh, Pekan Olahraga Nasional XVII maupun sebelumnya. Banyak daerah terutama tuan rumah menggunakan atlet bukan hasil pembinaannya. Semuanya so pasti sah sah saja. Apa sih yang dicari Palupi ?
Yang dicari sebenarnya adalah prestise bukannya prestasi. Memang diakui kalau pembinaan itu makan waktu dan beaya yang besar. Sehingga keinginan pimpinan tertinggi Komite Olahraga Nasional , dulu KONI Provinsi yang notabene adalah Pimpinan Pemerintahan Daerah menginginkan prestise sebagai JUARA UMUM atau mencari Medali Emas sebanyak mungkin, membuat jalan pintas dilakukan pelaku pelaku olahraga lainnya dan juga tenis. Akibatnya dibelilah petenis yang sudah ada nama. Hal ini sangat disadari sekali oleh petenis nasional yang menurut saya sangat SMART. Inilah ladang dapat uang sebanyak mungkin oleh petenis nasional Indonesia. Akibat minimnya pengetahuan pelaku pelaku2 tenis didaerah dimanfaatkan segelintir pelatih sehingga bisa menikmati indahnya uang daerah masuk ke kocek sendiri yang mayoritas berdomisili di Jakarta.
Begitu jugaPekan Olahraga Daerah (PORDA) atau sekarang disebut Pekan Olahraga Provinsi (POR PROV) , selalu setaip Kabupoaten atau kotamadya membawa atlet dari Jakarta, Suranbaya atau kotabesar lainnya di Jawa. PORDA Jawa Barat tahun 2007 ternyata pesertanya terbaik Indonesia mulai peringkat 1 sampai 20 atau 30 bisa mewakili provinsi Jawa Barat. tetapi setelah selesai maka mayoritas pindah daerah lain.

Masalah lainnya yaitu disetiap Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional yang saat ini (Nop 2007) berlangsung di Banjarmasin. Coba telusuri atlet nasional yang ikut berlaga. Betulkah mereka MAHASISWA ? Ataukah sekarang Olahraga di Mahsiswakan atau Mahasiswa diolahragakan. Ini tentunya berbeda. Kenapa bisa terjadi demikian, kita kembalikan kepada pelaku pelaku tenis yang menggunakannya. Ini semua bukannya PRESTASI yang dikejar tetapi PRESTISE.
Jika dibandingkan dengan dinegara Paman Sam (USA), atlet nasional yang membawa medali emas disetiap Olimpiade ternyata adalah atlet mahasiswa beneran. Yaitu Mahasiswa yang jadi atlet.
Pernah ditahun 1992, di kejuaraan mahasiswa Asia di Hongkong salah satu petenis putri kita yang jelas jelas tidak sekolah dikirim ikuti sebagai wakil Indonesia. Dan ini sempoat mencuat ke media massa, sehingga sewaktu tiba di Cengkareng bersama tim saya sempat ditanya petugas Bea Cukai menanyakan yang mana atlet tenis bukan mahasiswa tersbut. Malu sekali.

Kita coba mengingatkan kembali, melalui olahraga kita bisa menciptakan fair play dan menunjukkan sikap a good sportmanship. Sangat mengherankan sekali pelaku pelaku olahraga dilapangan justru seharusnya memberikan contoh yang benar kepada atlet2nya tetap berlaku sebaliknya. Lupa sekali kalau melalui olahraga yang bukan hanya sekedar suatu permainan tetapi ada nilai nilai nilai luhur dan moral dimasyarakat . Ini sangat menentukan nilai nilai moral kehidupannya.
Pertanyaannya, kapankah kelakuan kelakuan seperti diatas bisa dihentikan sehingga olahraga khusus tenis Indonesia bisa menunjukkan prestasi mendunia bukan sekedar kebutuhan lokal.
Maukah kita merubah semua perilaku yang tidak jujur ini. Kembali kepada komitmen.

Tidak ada komentar: