Jakarta, 10 Juli 2010. Saya tidak heran kalau mendengar ada wasit ataupun referee tidak diharapkan bertugas kedua kalinya disuatu turnamen. Dulu juga sudah sering mendengar. Begitu juga ada turnamen yang meminta agar referee yang ditugaskan sesuai keinginannya. Kenapa ini bisa terjadi demikian, sehingga semua keinginan turnamen menggunakan tenaga referee yang diminta.
Ada permintaan tenaga referee tertentu oleh pelaksanan turnamen itu hanyalah ulah referee tersebut, yang memaksakan dengan caranya mempengaruhi panpel agar dirinya digunakan sebagai referee turnamen tersebut.
Bagaimana dengan turnamen internasional? Awalnya ITF menunjuk Refereenya dan bukan atas permintaan penyelenggara. Tetapi sekarang ITF memperkenankan pelaksana turnamen menginginkan Referee yag dikenalnya.
Hal yang sama juga di turnamen nasional, Pelti memperkenankan turnamen mengusulkan nama Referee yang diinginkan. Tetapi Pelti didalam penunjukan Referee selalu berpedoman Referee yang berdomisili dekat dengan kota turnamen dengan tujuan agar tidak memberatkan beaya pelaksana turnamen.
Kembali kepada masalah ada beberapa referee yang tidak disenangi oleh pelaksana turnamen. Saya hanya melihat dari cara referee tersebut didalam menjalankan turnamen. Ada yang cukup santun, tetapi ada juga yang sangat angkuh (kesannya) dan arogan karena tanggung jawab turnamen dipundaknya. Menurut saya masalah ini timbul hanya karena komunikasi saja.
Dulu referee asing didalam menjalankan tugasnya cukup kaku, kalau sekarang kepentingan sponsor mendapatkan perhatian penuh.
Yang menjadi persoalan selama ini belum semua direktur turnamen yang mau melaporkan masalah ketidak nyamanan cara kerja referee nasional tersebut, tetapi begitu ada masalah baru diungkapkan.
Sebenarnya cukup simpel saja, jika referee jalankan tugasnya sesuai aturannya dan bisa berkomunikasi dengan baik.
Sekarang timbul kesan referee hanya memikirkan haknya saja tetapi melupakan kewajibannya. Disini butuh kerjasama yang baik. Dari kacamata referee, penyelenggara segan memberikan penghargaan dengan baik, khususnya mengenai honornya. Tetapi disatu sisi penyelenggara melihat cara kerja referee tersebut belum memadai. Saya pernah menerima pertanyaan dari salah satu wasit internasional yang dimiliki Indonesia. "Kenapa Pelti tidak menghargai tenaga referee." Ini dikaitkan dengan honor yang diberikan, karena tenaga asing diberikan honor jauh lebih tinggi. Hal ini hampir sama dengan tenaga pelatih asing honornya tinggi sekali. Saya saat itupun langsung menjawab, Pelti akan membayar sesuai dengan standar asalkan cara kerjanya sama seperti tenaga asing. Karena saya saat itu melihat sangat besar perbedaan cara kerja tenaga sing tersebut dengan tenaga kita ini.
Tetapi belakangan ini muncul kebalikannya. Sejumlah Referee dan wasit sekalipun tidak mau bertugas diturnamen tertentu. Ini lain lagi ceritanya. Tetapi pernah terjadi. Memang dalam hal ini menurut pengamatan saya, sikap penyelenggara turnamen yang membuat kesalahan sehingga muncul keinginan tersebut. Khususnya kalau penyelenggara turnamen itu pihak ketiga artinya bukan dilaksanakan oleh Pelti. Mendengar hal tersebut saya selaku petugas Pelti tentunya tidak bisa membiarkan terus berlangsung. Caranya adakan pendekatan kepada penyelenggara turnamen. Dan berikan pengertian dan menjelaskan cara kerja yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar