Kamis, 08 Juli 2010

Urusan Spanduk bikin jelimet juga

Jakarta, 8 Juli 2010. Berkecimpung di pertenisan nasional dan internasional berarti mengenal berbagai macam manusia yang berkecimpung di pertenisan dunia. Ada banyak keuntungan yang saya dapatkan dengan mengenai berbagai wasit maupun Referee yang datang ke Indonesia. Mulai belajar secara tidak lansgung mengenai aturan turnamen internasional yang juga didukung dengan buku bacaan yang diterbitkan oleh International Tennie Federation (ITF) maupun ATP-Tour dan WTA-Tour selaku pemilik turnamen internasional.

Hal yang sama juga adalah Referee yang ditugaskan oleh ITF untuk Davis Cup yaitu kejuaraan dunia beregu putra. Sudah banyak Referee tersebut yang datang selama ini baik dari Jepang, Chinese Taipei, Australia, India, dan yang terakhir saat ini datang dari Uzbekistan. Keunggulan merek adalah penguasaan bahasa Ingrris sehingga sampai saat ini belum ada satupun wasit Indonesia yang memiliki brevet Bronze badge. Baru sampai white badge.

Saya mulai mengenal pelaksanaan Davis Cup adalah tahun 1988 seaktu itu posisi sebagai Sekretaris Panpel, mulai dari melawan Thailand kemudian China dan Korea sehingga Indonesia masuk ke group Dunia dengan materi pemain Tintus ASrianto Wibowo, Abdul Kahar MIM, Donald Wailna Walalangi dan Suharyadi. Untuk mempelajari aturan aturan Davis Cup yang sangat ketat waktu itu maka saya yang pertama kali dikirimkan ke Thailand ikuti Seminar Sponsorship Davis Cup yang waktu itu tutornya adalah Christopher Stokes dari ITF (kalau tidak salah kedudukannya sebagai direktur komersial ITF).

Karena banyak punya relasi, saya teringat sewaktu adakan Turnamen VOLVO Women's Open ( $ 25,000) di Jakarta, saya bisa selenggarakan bersamaan waktunya dengan Davis Cup di Gelora Bung Karno. Saat itu saya sudah keluar dari PB Pelti. Akibat hubungan kurang harmonis dengan Sekjen PB Pelti saat itu sehingga ada kecendrungan turnamen Volvo Women's Open mau diboikot oleh oknum PB Pelti saat itu.
Saya kesulitan mendapatkan wasit karena akan diadakan penataran wasti oleh PB Pelti saat itu disiang hari. Maka saya pun kontak Referee (WN Jepang) berdomisili di Taipei. Maka dia selaku tutornya mengubah jam refreshing wasit tersbut yag dijadwalkan siang hari menjaid malam, Selamat lah event saya tidak ada kesulitan tenaga wasit.

Dari berbagai Referee untuk Davis Cup, punya cara atau selera sendiri sendiri. Saya masih ingat sewaktu di Solo ( kalau tidak salah 1988 ), Referee berdarah Srilangka yang berdomisili di Australia sempat mengancam saya jika permintaannya tidk dipenuhi. Sedangkan saya saat itu bukan Direktur Turnamennya tetapi rekan dari Solo. Masalah persediaan perlengkapan lapangan jika hujan sehingga butuh rol [pembersihnya. Yang punya lapangan GOR Manahan orang lain, maka saya sudah keliling di Solo semua super market untuk mencarinya tetapi tetap tidak ada. Saya sendiri sudah lupa walaupun tidak ada dimana saya sanggupkan karena disanggupkan juga oleh Direktur turnamen. Ternyata pertandingan berjalan mulus tanpa hujan sehingga tidak ditanyakan kembali.

Harus diakui penanganan pelaksanaan Davis Cup sangat berbeda sekali dengan single event lainnya, terutama masalah sponsorship. Warna spanduk dalam lapangan harus sama seperti diatur oleh ITF yaitu warna dasar hijau tuan dan tulisan hijau muda.
Setiap nama sponsor lokas yang masuk harus minta ijin dulu ke ITF, bisa dibayangkan sekali betapa ribetnya. Tetapi kita juga harus lihai mengatasi semua ini.

Referee Andrei Kornilov asal Uzbekistan, terlalu berpatoka dengan buku manual dari ITF yang cukup tebal, sehingga penempatan stadium banner berbeda dengan Referee lainnya. Begitu telitinya memeriksa lapangan. Kali ini ada beberapa kekurangan yang dilihatnya. Tetapi semua ini bisa diatasi dengan. Tergantung personal approach saja, kuncinya.

Tidak ada komentar: