Minggu, 28 Mei 2017

Ribetnya Turnamen Bisa Berantem

Jakarta, 28 Mei 2017.  Saya teringat saat awalnya mengenal apa yang disebut panitia pelaksanaan turnamen tenis di Jakarta. Itu sekitar tahun 1974 dimana saya ikut dalam klub tenis Sparta yang mayoritas berdarah Kawanua dilapangan tenis Tanah Mas Jakarta Timur. Kemudian sebagai klub paling aktip di Jakarta Timur baik dalam kompetisi Pelti Jakarta Timur maupun dalam pelaksana turnamen tenisnya.

Ketika itu mulai juga ikut dalam turnamen Maesa Paskah yang termasuk paling ribet. Bisa dibayangkan dalam 3 hari bisa selenggarakan 33 events. Dari kelompok yunior, kelompok umum dan veteran. Saat itu Pelti belum keluarkan Ketentuan Tirnamen Diakui Pelti. Jadia cuannya ke ITF dan salahnya tidak pernah diumumkan ketentuan ITF itu seperti apa. Tai tetap bisa berjalan dengan lancar. Sayapun banyak belajar di Maesa Paskah. Bahkan Refere yang berpengalaman seperti Sukardi ( dikenal dengan nama Pak Kumis0 suatu saat pernah kewalahan dan datang keruangan saya di Senayan duduk dilantai. Menyerah karena atasi peserta Maesa Paskah yang mayoritas itu kelompok veteran sejhingga disebutnya Maesa itu artinya  "Maunya sendiri"

Jadi kadangkala yang disebut Referee adalah sapa saja yang dianggap mampu jalankan roda pertandingan maka bisa saja jadi Referee. karena saat itu pertenisan nasional sendiri belum ada ketentuannya.
Saya tidak lupa saat jadi panpel turnamen diacara Walikota Cup atau Gubernur DKI Cup yang merupakan kalender tetap Pengda Pelti DKI Jakarta. Terjadilah pemukulan pemain kepada wasit diarena pertandingan. Oleh Ketua Panpel saat itu mau diadukan ke Polisi. Kebetulan saya yang sedang memperlajari masalah ketentuan turnamen melalui buku buku turnamen terbitan ITF. Sayapun ceritakan masalah ini tidak perlu dibawa keranah hukum atau polisi. Cukup ditertibkan oleh Panpel dengan cara petenis tersebut tidak diperkenankan muncul diarena pertandingan
Jadi saat itu belum dikenal dengan istilah Direktur Turnamen taoi dikenal sebagai ketua pertandingan saja.

Soal pemukulan didalam arena pertandingan, bukan didalam lapangan tenisnya sudah terjadi saat itu di Waikota Cup atau Gubernur DKI cup (saya lupa) oleh petenis berdarah Kawanua juga.

Kemudian terjadi juga saat sebagai Manager Sport Kemayoran Tennis Complex saya menemukan kejadian dimana saat itu salah satu ortu  memukul petugas pertandingan yang saat itu bertugas. 

Saya saat itu tidak duduk dalam kepanitiaan tersebut. Saya lihat saat itu ada kesalahan penunjukan Referee yang bukan berasal dari Wasit. Dan saat itu ada kasus salah satu atlet yunior ( kurang lebih usia 14 tahun) bertanding lawan  orang asing sehingga komunikasi saat itu macet, dan ada masalah. Ini atlet yang senpat mencuat menjadi juara Wimbledon beberapa tahun kemudian. Saya lihat dari jauh setelah dapat laporan dari anak buah ada masalah dalam lapangan . Saya sempat lihat orangtua petenis tuan rumah melayangkan tinjunya tapi dihalangi oleh rekannya sendiri dan tidak kena petugas pertandingan tersebut. Begitu saya masuk kedalam lapangan sebelahnya orangtua petenis Indonesia itu melihat saya dan akhirnya malu dengan sendirinya. Dan minta maaf kepada saya karena malu.
Keributan diarena turnamen tenis sudah beberapa kali saya alami teruitama di Kompleks Tenis Kemayoran yang nasibnya sekaran sudah diratakan menjadi apartemen sebagai persiapan Wsma Atleh Asian Games 2018

Tidak ada komentar: