Senin, 16 Januari 2017

Jangan cari Makan di Tenis

Jakarta, 17 Januari 2017. Dalam suatu percakapan dengan salah satu orangtua atlet peserta AFR RemajaTenis , muncul suatu kekuatiran dari yang bersangkutan tentang hasil pemantauannya didalam grup WA masalah cari untung di Tenis.

Memang saya sering baca keluhan atau ocehan bagi masyarakat tenis yang diungkapkan kepada masyarakat adalah janganlah cari untung di tenis. Yang sebenarnya ditujukan kepada anggota Pengurus PELTI.

Memang konotasinya sangat negatip sekali.Tetapi saya tetap berpikiran positip saja  karena motivasi yang berbicara masalah ini dan sering digembar gemborkan itu lupa diri atau seharusnya mengaca dulu.  Disini saya mau bedakan dari percakapan tersebut. Jangan cari untung jika selenggarakan turnamen. Nah, pengalaman selama ini sejak duduk aktip di kepengurusan Pelti sejak 1987, ternyata hasil turnamen itu selalu berlebihan sehingga dari turnamen bisa mendanai bidang pembinaan.

Bisa dibayangkan saat th 1988 ada eksibisi Michael Chang di Istora Pelti meraup keuntungan Rp 200 juta saat itu. Begitu juga disaat saya dipercayakan memegang Circuit Administrator Green Sands Satellite Circuit menggantikan rekan saya sendiri Benny Mailili ( alm), karena selama 2 tahun panpel kekurangan dananya. Waktu itu Presdir PT Multi Bintang adalah Tanri Abeng yang juga duduk sebagai bidang Dana PB Pelti (1986-1990), karena tahu pengeluaran hanya sekitar Rp 180 juta maka dana yang diberikan juga sama Rp 180.juta. Sayapun saat itu langsung memikirkan agar bisa lebih yang sebagai hasil keseluruhannya. Maka ketika dipelajari sektor sektor expense nya maka muncul idea agar tidak defisit. Bayangkan expense setahun lalu Rp 180 juta maka tahun berikutnya hanya diberi Rp 180 juta. juga dari sponsor Multi Bintang. Maka mulailah cari kerjasama seperti beaya tiket pesawat terbang untuk Referee , Circuit administrator, Wasit dari Jakarta. Maka kerjasama dengan Garuda Indonesia, maka beaya tiketpun bisa free. Setelah selesai maka hasilnya ada dana lebih Rp 20 juta. Nah, tahun berikutnya oleh sponsor hanya diberi Rp 160 juta sesuai pengeluaran setahun sebelumnya. Maka dicari akal lagi agar bisa tidak defisit. Dan berhasil juga bisa menekan beaya dan ada uang lebih sekitar Rp 10-20 juta. Jadi kalau buat turnamen itu harus untung. 


Nah, ketika sekarang saya adakan RemajaTenis suatu konsep a low cost tournament maka tentunya tergantung dengan ada tidaknya peserta yang harus bisa menutupi beaya penyelenggaraan. Sehingga jika peserta minim maka saya batalkan saja turnamennya. Karena turnamen RemajaTenis itu dikelola bukan oleh badan hukum seperti turnamen lainya. Ini hanya dilakukan sekedar pengisi waktu sehingga bukan profit oriented (seperti perusahaan)

Tudingan jangan cari untung kalau duduk sebagai pengurus Pelti. Ini juga sangat keliru. Saya tidak malu katakan perjalanan saya duduk di Pelti awalnya hanya volunter alias tidak digaji dibidang pembinaan senior. Tetapi sejak tahun 1990 saya diangkat sebagai Manajer Program Pertandingan PB Pelti. Saat itu ada 3 Program Manager yaitu Grace Lumenta Manager Program Pembinaan, Eddy Henuhili manajer program pengembangan. Karena full time job digaji bulanan maka kami harus bisa bekerja menghasilkan bagi Pelti sendiri dan berkantor di stadion tenis Senayan.. Dan saya sendiri saat itu berhenti bekerja diperusahaan sebagai jabatan terakhr adalah Sales Manager dimana ada cabang2 di kurang lebih 15 cabang dari Aceh sampai Papua.

Disinilah yang suka dilupakan, jika duduk sebagai volunter tentunya waktu yang diberikan sesuai waktu yang tersedia.

Nah kadang kala yang ungkapkan ocehan tersebut lupa kalau yang cari makan di Tenis itu banyak sehingga seharusnya tenis itu bisa digunakan sebagai profesi. Seperti Pelatih, Wasit, Referee, Ballboys dll. Itu adalah profesi yang harus kita hormati, karena keberadaan mereka yang membuat tenis itu ada.

Saya teringat ketika ikuti Annual General Meeting ITF  d Marroko, saat itu President dari ITF sudah harus full time job. Artinya seluruh petugas ITF itu adalah digaji oleh ITF dan sampai sekarangpun demikian, sehingga mereka betul betul bekerja untuk menghasilkan untuk ITF.

Disinilah letak kelemahan organisasi tenis kita , tidak ada tenaga full time yang bisa mengkoordinir seluruh informasi baik yang masuk dan keluar.

Banyak sekali pelatih tenis yang terdaftar yang saya pantau ada lebih dari 100 pelatih, tetapi mayoritas mereka sebagai pelatih hanyalah side job. Akibatnya bisa dilihat hasilnya juga sebagai produk side job. Tapi banyak juga yang full time job sehingga bisa menghasilkan atlet berkualitas.

Tidak ada komentar: