Minggu, 19 Oktober 2014

Dampak dari Jual Beli Atlet

Jakarta , 18 Oktober 2014. Saya mencoba berpikir yang tenang masalah prestasi petenis Indonesia sampai saat ini. Setelah kita ketahui kalau tim tenis ke Asian Games 2014 di Incheon Korea gagal total, dimana salah satu atlet yang digadang gadangkan akan merebut medali emas ternyata tidak lakukan tugasnya sebagai anggota tim nasional saat ini karena sibuk melatih.  Ini akibat merasa sudah puas terhadap hasil kemenangan tim Davis Cup di senayan terhadap Hongkong yang termasuk tim lemah, dan selama ini Indonesia tidak pernah kalah sama Hongkong.
Ada 4 petenis Indonesia yaitu Christopher Rungkat, David Agung Susanto, Aditya Hari Sasongko dan Elbert Sie. Kalau Christopher dan Elbert termasuk paling senior. Yang jadi pertanyaan sekarang siapa pelapis kedua dibawah mereka ini. Dulu ada yang termasuk masih muda adaah Wisnu Nugraha kemudian dicoret digantikan dengan Aditya Hari Sasongko yang dianggap paling siap. Saya kemudian berpikir apakah sudah kehabisan petenis kita.


Saya coba berbincang bincang dengan  mantan petenis anggota tim Davis Cup Indonesia yang sudah beralih profesi  menjadi pelatih. Dan saya kaget juga karena jawabannya tidak disangka sangka yaitu atlet kita ini sudah cepat puas dengan kondisi sekarang karena adanya pemberian uang cukup besar. Diatas setengah miliar. Wow untuk apa. Ternyata akibat jual beli atlet kepentingan PON. Saya gak sadar dampaknya seperti itu, karena jawabannya datang dari mantan anggota tim Davis Cup Indonesia.

Kalau dipikir pikir sekarang menjelang PON XIX 2016 sudah terjadi jual beli atlet. Dan terjadi di atlet yunior saat ini. Bisa dibayangkan apa jadinya, dan sayapun berpikir ada benarnya juga. Karena perpindahan atlet tersebut dari daerah satu kedaerah lainnya yang bukan daerah dibesarkannya selama ini. Besarannya cukup besar bahkan saya dengar sekitar Rp. 750 juta- Rp. 1 miliar dimana ada rumor katakan dikwitansi tertulis Rp 1,5 miliar sedangkan yang diterima setengahnya.. Bahkan ada orangtua katakan kalau untuk anaknya dia harus berbagi 50 % dengan pelatihnya. Tapi karena butuh untuk dapurnya maka diterimanya juga.

Ada yang katakan bukan masalah karena itu hak atlet yang dinikmati sekarang untuk pembeayaan kedepannya. Kalau dana tersebut memang untuk pembinaannya , menurut saya memang sangat berguna untuk atletnya yang mempunyai sasaran akhir adalah sebagai pemain Wimbledon. Bisa bertanding dilapangan rumput Wimbledon merupakan kebanggaannya dan bagi masyarakat tenis seluruh dunia. Tetapi ternyata besar kemungkinan kalau dana tersebut tidak digunakan untuk membeayai atlet try out. Karena dana tersebut digunakan untuk membeli rumah bagi dirinya/orangtuanya, mobil dan sebagainya. Akhirnya dana tersebut tidak akan digunakan untuk beaya try out keluar negeri  sehingga keluhan yang dikeluarkan kalau prestasinya manek akibat  kurang ikut turnamen internasional, .. Dan yang disalahkan adalah induk organisasi Pelti yang diwajibkan sediakan turnamen internasiona di Indonesia.

Saya mau membuat survey sebelum menilai keseluruhannya. Karena secara gambalng kalau saya perhatikan prestasi atlet tenis yang menjadi atlet yang tidak punya rasa kebangsaan atau yang tidak merasa mempunyai kebanggaan terhadap daerah dimana dia berdomisili bersama orangtuanya. Bagi atlet yang selama ini ikutan sebagai atlet yang dibeli daerah untuk PON ataupun PORDA prestasinya mandek dan bahkan tidak pernah mencapai peringkat dunia ATP-200-300an. Begitu juga untuk putrinya. Artinya bagi si atlet buat apa susah susah karena uang POPDA ataupun PON sudah cukup besar untuk dinikmatinya.

Sayapun masih ingat Yayuk Basuki yang membela daerahnya yaitu DIY untuk PON, Angelique Widjaja membela Jabar, Wynne Prakusya membela Jateng, Romana Tedjakusuma membela Jatim. Ini prestasinya mendunia. Tintus Wibowo membela Jatim,. Benny Widjaja membela DKI, Daniel Heryanto membela Jateng, Bonit Wiryawan bela Jatim, Andrean Raturandang membela Jabar, Febi Widhyanto bela DKI, Suwandi bela Jabar. Saya mencoba ikuti dari PON XVI 2004 Palembang yang mana saya sebagai Technical Delegate, kemudian PON XVII Kaltim  2008 dan PON XVIII Riau 2012. Dari data tersebut saya mau lihat sampai sekarang nasib atlet yang terlibat jual beli atlet.

Bagaimana nasib atlet dan orangtuanya tinggal disatu kota ternyata anaknya dijual kedaerah lainnya. Coba kita simak satu persatu, so pasti tinggal ditempat prestasinya. Karena apa, ya, karena tidak mempunyai sense of belonging. Saya mau coba buat penelitian terhadap hal ini, karena sejak lama sudah terjadi jual beli atlet
.
Jadi bagaimana persiapan tim Davis Cup Indonesia menghadapi perebutan group2 zona Asia Oceania tahun 2015. Sekarang bulan Oktober sedangkan kompetisi awal Februari 2015 untuk Davis Cup.
Siapa siapa yang akan digunakan kalau tim yang sekarang masih tetap bercokol. Karena andaikan diseleksi maka yang muncul masih tetap Christopher Rungkat, David Agung Susanto, Aditya Hari Sasongko. Karena yang generasi yunior sekarang lagi sibuk dengan persiapan PON sehingga saya rasa tidak ada yang akan berpikiran menjadi petenis Wimbledon kecuali Tami Grende yang sudah Go International karena tidak memikirkan masalah PON..
  

Tidak ada komentar: