Jumat, 20 Mei 2011

" Berharap Berkah, Bukan Musibah "

Jakarta, 20 Mei 2011. Tertarik juga membaca tulisan disalah satu Tabloid terkenal di Jakarta yaitu BOLA edisi 19-20 Mei 2011

Dibalik Maraknya Turnamen Junior : Berharap Berkah,Bukan Musibah.”
Jika bicara soal jumlah turnamen nasional junior, PP Pelti bolehlah menepuk dada. Tahun lalu, tak kurang dari 30 kejuaraan menjadi agenda kegiatan induk organisasi tenis ini untuk para petenis muda mengasah talentanya. Sebaran lokasi turnamen pun tak hanya berpusat di Pulau Jawa, tapi juga menyebar ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Tak hanya dikota kota besar tapi juga di kota kecil seperti Ambarawa dan Karawang.
Pertanyaannya, apakah jumlah berlimpah itu menjadi berkah atau malah musibah bagi kemajuan tenis Indonesia? Selain kejuaraan konvensional yang berlangsung seminggu penuh, sejak lima tahun silam muncul turnamen paket hemat. Caranya, menempatkan waktu pertandingan hanya tiga hari pada akhir pekan. Sebuah gagasan segar untuk mendasari keterbatasan waktu petenis junior yang notabene pelajar. Ditengah sulitnya menggaet sponsor, biaya turnamen pun bisa ditekan. Disisi lain, beragamnya kejuaraan mewajibkan Pelti untuk menentukan kelas turnamen secara berjenjang. Sayangnya, fungsi tersebut tidak diperankan dengan baik. Yang terjadi adalah tumpang tindih wewenang di antara berbagai bidang di tubuh organisasi pimpinan Martina Widjaja ini.
“Saya tidak pernah melarang sebuah turnamen, tapi penentuan penentuan kategorinya harus dilakukan dengan benar. Masak kejuaraan yang berlangsung seminggu perolehan poinnya disamakan dengan turnamen yang lebih singkat dengan draw size lebih kecil “ tutur Johannes Susanto, Ketua Bidang Pertandingan PP Pelti.
Ada sebuah kelaziman sebagaimana dilakukan oleh Federasi Tenis Internasional (ITF) yang mengelola tak kurang dari 100 event junior pertahun. ITF membagi 4 kategori yakni A (termasuk 4 grand slam), B (kompetisi regional), C (ajan beregu) serta grade 1 hingga 5 untuk kejuaraan perseorangan. PP Pelti hanya perlu copy paste ketentuan itu. Karena Pelti tidak mampu mengatur grade turnamen yang silang sengkarut tersebut, maka terjadi ketidakakuratan peringkat petenis junior Indonesia, Hasilnya, pemain yang menduduki peringkat atas belum tentu petenis terbaik. Lihat prestasi junior kita.Pata petenis masa depan Indonesia itu hanya mampu bertengger di peringkat10 kualifikasi Asia. Piala Fed dan Davis Junior (KU 16) serta World Tennis Championships (KU 14) 2011. Kalau sudah begini bukankah kemarakan malah berujung musibah? (yok)

Cukup menarik tulisan ini dan sebagai evaluasi dari pekerjaan rumah induk organisasi tenis di Indonesia.
Saya sendiri selaku pelaku tenis didalam masyarakat tenis Indonesia menyadari sekali kalau petenis kita butuh suatu wadah didalam pembinaannya yaitu turnamen. Saya sendiri perlu diketahui mulai terjun didalam turnamen tenis sejak masih ikut mengelola turnamen di tingkat Pengcab Pelti Jakarta Timur sekitar tahun 1980 an karena sebagai anggota klub tenis Maesa Sparta, kemudian berkembang ke organisasi Kawanua Yaitu Maesa yang setiap tahun paling aktif selenggarakan turnamen Maesa Paskah yang khusus untuk kalangan Kawanua. Setelah itu 1987 masuk kedalam kepengurusan PB Pelti dibawah Ketua umum Moerdiono (1986-1990) saya masuk didalam komite pembinaan ,kalau tidak salah ada 3 komite pembinaan dibawah Ketua Bidang Pembinaan PB Pelti Pontjo Soetowo, yaitu Komite Tim Nasional ( A.Qoyum, Yunus Yamanie), Komite Pembinaan Senior (dr. Nico Lumenta, AFR), Komite Pembinaan Yunior (Danny Walla dan Grace Lumenta). Dan ditengah jalan saya dipindah menjadi Manajer Program Pertandingan PB Pelti.
Waktu itu jumlah turnamen nasional maupun internasional baru mencapai angka 20 an. Langkah awal saya lakukan adalah membuat Ketentuan Turnamen Diakui Pelti, karena peraturan turnamen belum punya hanya berdasarkan ketentuan turnamen internasional saja. Langkah ini saya lakukan sebelum menaikkan kuantitas turnamen Indonesia. Maka saya hanya lakukan copy paste peraturan turnamen dari ITF maupun ATP-Tour dan WTA Tour dijadikan dalam bahasa Indonesia menjadi Ketentuan Turnamen Diakui Pelti. Setelah era Moerdiono pindah ke Cosmas Batubara saya memilih menjadi Adminstartor Promosi dan Marketing PB Pelti. Waktu itu era Moerdiono saya targetkan peningkatan turnamen dalam kuantitas dulu baru bisa berbicara kualitas. Ini prinsip saya. Mayabe right maybe wrong karena saya bukanlah ahli olahraga cukup sebagai praktisi saja. Kemudian daripada terlalu banyak teori saya hamparkan semua program turnamen kepada Ketua Komite Pertandingan yang waktu itu dijabat oleh Martina Widjaja. Bisa dibayangkan waktu itu hanya 25 Provinsi di Indonesia , apakah tidak mungkin muncul 100 TDP. Karena saya terima kalender Turnamen di Australia membuka mata saya ada 100 turnamen diberbagai Negara bagian. Saya kemukakan kepada Ketua Komite Pertandingan kalau target 100 TDP bisa dalam waktu 2-3 tahun disebar di 25 Pengda dan 75 Pengcab Pelti. “Apa tidak mungkin? “ Tapi kemudian saya tidak sependapat dengan Sekjen PB Pelti waktu era Cosmas Batubara maka saya mengundurkan diri , lebih enteng bagi saya. Dan jumlah TDP waktu saya tinggalkan Pelti sekitar 35 TDP di 17 Pengda Pelti. Ternyata setelah keluar dari PB Pelti saya masih bisa menggelar 1 TDP Nasional Kelompok Umum yaitu Bintaro Jaya Open dan Turnamen Internasional ITF VOLVO Women’s Open waktu itu kelas Women Challenger di Senayan. Waktu itu saya bisa berkomunikasi dengan VOLVO Thailand yang saya kenal.

Membaca tulisan di BOLA tersebut , kalau dianggap datangkan musibah maka boleh lah saya yang disalahkan sebagai penyebab musibah yang dikuatirkan oleh para “ahli olahraga Indonesia” Karena sejak awal saya selalu memotivasi masyarakat tenis agar berbuat sesuatu untuk tenis nasional dari pada terlalu banyak kritik yang lebih cenderung ke sirik karena tidak mampu berbuat untuk tenis Indonesia. Ini juga bisa digunakan sebagai bahan kesalahan saya. Tetapi disisi lain saya cukup gembira kalau TDP Junior tahun 2010 ada 30 ternyata share saya pribadi dengan TDP RemajaTenis bisa sebarkan 12 turnamen yunior di Mataram (Lombok), Sumbawa Besar (NTB), Solo, Palu, Pontianak, Banjarmasin, Bandung dan Jakarta. Uji coba ditahun 2009 saya lakukan di Jakarta, Samarinda ,Medan, DIY dan Cirebon. Melihat keberhasilan saya di tahun 2009, ditambah dengan hinaan yang saya terima dari teman2 membuat saya termotivasi lebih galak dalam arti menambah jumlah turnamen tersebut. Dan dalam perjalanan tahun 2011 tanpa saya sadari sudah menggelar TDP RemajaTenis sebanyak 7 turnamen, dan jika Tuhan mengijinkan target saya th 2011 hanya 20 turnamen RemajaTenis.
Sebagai mantan petenis yunior yang ikut aktif ikut Turnamen nasional di Malang, Bandung dan Jakarta, saya bisa merasakan perasaan atlet tenis yunior diberbagai daerah yang sangat amat mendambakan kehadiran suatu turnamen yunior dikampungnya. Betapa terharunya saya melihat ekpresi para orangtua dipelosok jauh nian dari Ibukota mereka naik bus berhari hari hanya mengejar suatu Turnamen nasional RemajaTenis. Bagaimana mereka ungkapkan rasa terima kasihnya kepada saya bisa menghadirkan suatu turnamen skala nasional. Saya sendiri juga harus buang energy diusia yang sudah lanjut ini selama 6 jam perjalanan naik kendaraan umum dari Mataram (Lombok) ke Sumbawa Besar. Perlu diketahui dikota Palu maupun Sumbawa Besar belum pernah hadir turnamen nasional selama ini. Sebagai bentuk apresiasi mereka sehingga Bupati Sumbawa Besar maupun Gubernur Sulawesi Tengah hadir ditengah atlet tenis. Turnamen ini di Palu bisa mendatangkan minat atlet dari Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Sebenarnya ikut mendaftar dari Papua tetapi terhambat dengan dana yang dijanjikan tidak muncul.

Apakah tidak ada atlet berbakat di daerah daerah ini? Saya jawab masih banyak atlet tenis didaerah daerah cukup potensial tetapi belum mendapatkan asahan yang jelas. Ini tugas siapa sebenarnya? Bagi saya tidak perlu saling lempar tanggung jawab masalah ini. Kalau kita bisa berbuat untuk tenis kenapa tidak kita lakukan dengan nyata, bukan dengan terlalu banyak teori. Maka dari itu apa yang saya lakukan dengan RemajaTenis cukup sendiri , karena saya yakin terlalu banyak melibatkan orang lain maka makin ribet, banyak maunya. Banyak tawaran dilemparkan oleh orangtua petenis untuk membantu saya tetapi dengan halus saya menolaknya karena kuatir terbentur masalah2 non tehnis itu. Menyadari kesulitan dana untuk pelaksana TDP maka sayapun mencari jalan keluar. Dana adalah alasan klasik selama ini. Jangan sampai tidak ada dana tidak ada turnamen akibatnya tidak ada petenis..Kalau sudah begitu siapa yang tanggung jawab lagi? Mulailah saya buat konsep untuk memecahkan permasalahannya, bukan dengan melemparkan permasalahannya. Konsep RemajaTenis dibuat saya anggap seperti yang popular dimasayarakat kita yaitu Paket Murah, Paket Hemat. Bisa saja mau disebut apa. Kenapa kita harus buang waktu buat turnamen 7 hari, berapa hari anak2 kita harus bolos sekolah. Jadwal liburan sekolah tidak sama setiap daerah. Bikin tiga hari atau empat hari tapi tidak melanggar ketentuan yang dibuat induk organisasi tenis yaitu Pelti. Itu yang lebih penting. Apa yang diminta dalam aturan Pelti seperti harus ada Referee, Wasit, tenaga Medis semua diikutinya. Pengamatan saya beaya dari suatu turnamen 30 % datang dari petugas, kemudian hadiah dll.
Membaca tulisan di BOLA ini bagi saya bukan masalah karena tugas RemajaTenis hanya membantu Pelti selaku induk organisasi tenis di Tanah Air dan menampung keinginan masyarakat tenis.
Ada lagi pendapat yang menatakan, kualitas turnamen 3 hari lebih rendah dari pada turnamen 7 hari. Untuk itu karena saya merasa bukan ahli olahraga lebih baik no comment. Apakah tidak ada turnamen yang hanya 8 atau 16 pemainnya ditingkat dunia sebelum menjawab pertanyaan diatas. Pesan saya marilah "Berbuat sesuatu untuk Tenis dari pada berpolemik "

Tidak ada komentar: