Minggu, 11 Oktober 2009

Bosan


Jakarta, 10 Oktober 2009. Sekembali dari Jogja yang meninggalkan perasaan kurang enak akibat dari pandangan yang berbeda dengan beberapa orangtua petenis sehingga sedikit menimbulkan emosi sesaat, sempat terungkap kebosanan dalam diri saya diungkapkan dalam tulisan di FB. Ternyata mendapat tanggapan dari rekan2 lainnya. Ada yang meminta untuk tidak bosan agar tetap eksis di tenis, tetapi ada juga yang memberi kesan seolah olah selama ini menangani tenis tidak secara ikhlas sehingga dianjurkan berhenti saja agar tidak membawa penyakit (karena yang bersangkutan adalah dokter Fachrial Harahap). Sedangkan rekan dari Riau, Taufik mengharapkan tetap eksis di tenis.
Mendapat sentilan seperti itu membuat bukannya saya jadi patah arang tetapi justru membangkitkan kembali semangat saya di tenis.

Mengingat ingat kembali tentang pengalaman di Jogja dan juga membaca beberapa pandangan pandangan dari rekan2 tenis didaerah , saya tidak habis pikir dengan pola pikir mereka. Atau pandangan saya tidak bisa dicerna oleh mereka ini.
Persoalan cukup sepele bagi saya tetapi tidak bagi mereka ini. Bisa dibayangkan masalah tidak disediakan kaos sehingga membuat hubungan antar masyarakat di Jogja agak terganggu. Pertemanan bisa goncang hanya karena berbeda pandangan saja. Keinginan saya selama ini kalau turnamen itu adalah kebutuhan atlet, sudah bisa diterima oleh masyarakat tenis di Jakarta. Berbeda dengan di Jogjakarta.
Karena melihat turnamen sebagai kebutuhan maka berbagai kendala didalam permasalahan turnamen dikikis habis agar turnamen bisa berlangsung.
Pengamatan saya selama ini dari beaya suatu turnamen itu sekitar 70 prosen adalah bagian dari foya2 saja. Jika masalah ini bisa dikikis maka menurut pendapat saya turnamen bisa berjalan sesering mungkin.

Ada yang membanggakan kalau pernah buat turnamen dengan adanya kaos dan entry fee Rp 50 ribu . Kaos didapat dari sponsor. Maka pertanyaan saya adalah kenapa tidak buat lagi ? Kenapa hanya bisa sekali dan bahkan tidak berkelanjutan.
Berbeda dengan niat yang ada sama diri saya. Sekali punya niat maka didukung oleh tekad maka saya bisa nekat selenggarakan turnamen tanpa ketergantungan dengan sponsor. Ini resep yang paling jitu kalau mau eksis di pertenisan.

Masalah kaos, bagi saya itu bukan kepentingan atlet. Ternyata saya lihat tidak ada atlet yang ikut turnamen memakai kaos turnamen yang didapat sebelumnya. Yang terus terang menurut saya , kenyataannya yang gunakan kaos turnamen selama ini adalah justru orangtua atau pelatihnya. Jadi kesimpulan saya adalah Kaos itu adalah kepentingan Orangtua yang justru ngotot memintanya. Padahal kaos adalah kepentingan penyelenggara turnamen, dimana promosi turnamen bisa melalui kaos tersebut.

Begitu juga saat bertemu dengan salah satu orangtua petenis Jogja, perbincangan bisa sampai jam 24.00. Saya cukup senang mereka mau bertanya. Sehingga diakhir pembicaraan saya katakan kita tidak akan satu paham masalah Hadiah Uang yang tidak diperkenankan di suatu turnamen yunior. Saya katakan kalau itu sudah merupakan peratuan tertulis baik di ITF maupun Pelti. Apapun dalihnya saya tetap tidak setuju sekali kalau diterapkan seperti keinginan orangtua tersebut. "Percuma kita berbicara masalah ini karena so pasti tidak akan ketemu." ujar saya yang hanya menjalankan tugas.

Tidak ada komentar: