Jakarta, 4 Agustus 2015. Disela sela pertandingan Davis Cup by BNP Paribas antara
Indonesia dan Pakistan, sempat berbincang bincang dengan mantan petenis
nasional Donald Wailan Walalangi yang saat ini memegang jabatan cukup penting di PP
Pelti ( 2012-2017) yaitu Ketua Bidang Pembinaan Prestasi.
Salut atas
konsistensinya selama ini yang selalu berpendapat jika mau prestasi tinggi
harus punya turnamen internasional sebanyak mungkin. Turnamen merupakan ujung
tombak pembinaan ,tetapi dalam pelaksanaannya haruslah mengukur pula kemampuan sendir.
Yang dimaksud kemampuan bukan
hanya kemampuan finansial tetapi juga kemampuan atletnya sendiri.
Ada 2 pengalaman pahit selama ini perlu dipelajarinya
yaitu pengalaman semasa PP Pelti dipegang oleh Martina Widjaja dan PP Pelti
dipegang oleh Maman Wirjawan. Perbedaannya adalah Martina Widjaja masalah
finnsial bukan kendala tetapi Maman Wirjawan masalah finansial itu baru
masalah.
Mau meniru Thailand saat ini ada 18 turnamen Pro-Circuit
yaitu 9 kelompok putra dan 9 kelompok putri, sah sah saja sebagai targetnya kedepan..
Oleh PP Pelti periode 2012-2017 dimana ambisi dari Donald
Wailan Walalngi cukup besar karena dibisik bisiki kalau masalah finansial itu
bisa diatasi sehingga diawal tahun kepengurusan dimana Donald Wailan Walalangi
sedang on fire tetapi ternyata tidak didukung finasial sehingga dibatalkan
rencana tersebut untuk turnamen kelompok putra dibatalkan, sadis juga.
Dimasa Martina Widjaja setelah diputuskan dalam rapat
pengurus didaftarkan 12 turnamen dimana 6 putra dan 6 kelompok putri. Akhir
tahun kemudian dievaluasi. Dan hasil evaluasi itu diputuskan tahun berikutnya
dikurangi menjadi 6 turnamen saja bukan 12 turnamen. . Masalah yang timbul karena peserta dari tuan
rumah juga tidak bertambah tetap seperti biasa saja dan mayoritas hanya petenis
yang masuk tim nasional. Tetapi yang menarik dikelompok putri masih lebih baik
karena peserta tuan rumah lebih banyak daripada putra.
Harus dievaluasi penyebabnya juga, yaitu ternyata kendala bagi petenis putra saat itu adalah
masalah finansial. Kok bisa begitu kalau dipikir bertanding di Indonesia lebih
murah dibandingkan diluar negeri.
Kedala finasial petenis adalah entry fee dikenakan USD
30.00 (sesuai ketentuan ITF sat itu) kemudian adalah IPIN (Inernational Player’s
Identification Number dikenakan sebesar USD 30.00 sat itu dan sekarang menjadi
USD 45.00.
Berarti jika ikut turnamen pertama akan keluar dana
sebesar USD 70.00 artinya sekitar Rp 600.000.
Nilai ini cukup bear dimata atlet tenis Indonesia jika tidak memikirkan komitmennya untuk go internasionalnya.
Ternyata mereka lebih suka ikut turnamen tarkam (antar kampung) dan bukan TDP atau kejurnas yang saat
itu cukup marak. Dan keuntungan ikut tarkam, so pasti bawa pulang uang lebih
besar daripada di ITF Pro Circuit karena tiket dan akomodasi ditanggung tinggal
tambah bawa prize money aja.
Belajar dari pengalaman maka perlu dirubah cara pemikiran
jika ingin majukan turnamen di Indoneia sebagai bagian dari pembinaan prestasi.
Karena semua masalah pasti ada solusinya.
Masalah kualitas petenis perlu dimatangkan dengan
ditambah frekuensi turnamen nasional kelompok umum dengan prize money tidak
terlalu besar. Jika dibuat yang prize money melewati Rp 100.000.000 maka tidak
beri kesempatan bagi petenis daerah berprestasi karena petenis Indonesia akan turun
semua baik peringkat satu, So pasti membawa hasil uang sebanyak dan
semudah baginya. Dan berbahayanya , keinginan ikut turnamen internasional diluar negeri akan berkurang. Petenis nasional
punya prinsip lebih baik cari turnamen yang lebih mudah mendapatkan
prize money dari pada ikut turnamen yang sulit dan besar beayanya(keluar
negeri).
Jika frekuensi ditambah dan juga penyebaran turnamen
kedaerah daerah lainnya, tidak fokus di Jawa saja seperti saat ini. Kesempatan
ikut turnamen bagi petenis daerah itu sangat penrting agar bisa menambah
pengalaman bertanding alias jam terbangnya ditambah.
Turnamen Pro Circui diawali dengan 3 tahun 2015 kemudian
tahun 2016 ditambah lagi menjadi 6 putra dan 6 putri Setelah itu evaluasi lagi apakah sudah
siap petenis tuan rumah?
Kenaikan frekuensi Pro Circuit secara bertahap dengan
diimbangi turnamen nasional sudah merupakan cara lebih baik, belum terbaik.
Karena turnamen internasional itu ada kelas kelasnya berdasarkan jumlah prize
moneynya. Bisa saja untuk tahun pertama dengan prize money USD 10,000 maka
harus diselenggarakan 3 turnamen seri untuk kelompok putra. Kemudian ditambah
2 Pro Circuit denga prize money USD 15,000 sehigga dibuat 2 seri saja. Begitulah
seterusnya. Hal yang sama dikelompok putri diawali dengan USD 10,000 kemudian ke
USD 25,000.
Sebagai pelaksana tidak perlu oleh PP Pelti sendiri.
Tetapi diberikan kepercayaan kepada Pengda Pelti dengan supervisi dari PP Pelti
sendiri.
Bantaun dana dari ITF juga ada yaitu dikenal dengan
ITF Grand Slam Trust Fund sejumlah USD 5,000. Hal ini sudah dilaksanakan oleh
PP Pelti saat ini. Disini peranan PP Pelti juga harus transparant dengan
pelaksana turnamen didaerah sehingga tidak timbul permasalahan kepercayaan
seperti yang pernah terjadi dengan dampak untuk tahun kedepan daerah tersbut
tidak akan selenggarakan turnamen tersebur=t karena kecewa berat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar