Jumat, 04 September 2020

KETIKA ATLET DIJADIKAN OBYEK

Jakarta, 4 September 2020. Tulisan ini dikutib dari Facebook Tyas Soemarto, wartawan olahraga
Dulu...
Saya selalu bertanya, kenapa hanya di cabang bulutangkis Indonesia bisa menjadi juara dunia?
Selang kemudian saya percaya dengan arti kata warisan dan sejarah, atau juga takdir dalam olahraga.
Menyusul tentunya setelah sebuah keyakinan bahwa satu olahraga tertentu dikuasai oleh segolongan ras tertentu atau negara tertentu.

Karena faktanya sepakbola dari dulu dimiliki Brasil, dan juara dunianya dari negara yg itu2 saja.
Lalu kenapa jagoan lari marathon kebanyakan dari Kenya.
Atau pecatur rata2 terlahir di Uni Soviet.
Dan banyak negara2 lain yg dari "sononya" menguasai satu cabang tertentu.

Sekarang...
Saya tidak lagi berpikir itu adalah takdir, atau karena mengakar dari sebuah sejarah, atau bahkan warisan.
Tentu saja ada sebabnya:
Berawal ketika Indonesia pertama kalinya ambil bagian di Sea Games Kuala Lumpur 1977 dan langsung menjadi juara umum dengan perolehan medali yg di luar perkiraan.
Kemudian disusul dengan gelar juara umum sampai 4x berturut-turut. Saat itu saya berpikir inilah warisan atau takdir bahwa Indonesia adalah memang icon kekuatan olahraga Asia Tenggara.
Sampai dominasi pun dipatahkan di Bangkok 1985, tapi ketika itu Indonesia masih kalah terhormat di posisi kedua. Apalagi dua tahun kemudian, saat Indonesia menjadi tun rumah di tahun 1987, kekalahan dari Thailand itu terbalaskan.

Tapi, setelah Indonesia terus terpuruk pasca Sea Games 1997, keyakinan bahwa olahraga memang diperuntukkan untuk ras atau negara tertentu langsung punah.
Sama sekali tak pernah terbayangkan bahwa Indonesia yg memiliki cabang olahraga mendunia, bisa masuk ke situasi SOS olahraga. Mengumpulkan 50 keping emas di Sea Games saja sudah tak mampu.

Sebenarnya, tanda2 itu sudah terlihat, ketika cabang tenis yg tadinya spt diperuntukkan bagi Indonesia utk menjadi salah satu kekuatan di tingkat Asia, kini keberadaanya seperti ada dan tiada.
Bayangkan tradisi emas Asian Games dari cabang tenis telah berlangsung panjang...bahkan sampai pernah menjadi satu2nya cabang yg berhasil meraih emas di Asian Games tahun 1986 Korea. Satu keping emas utk Indonesia saat itu diraih dari ganda putri, pasangan Yayuk Basuki/Suzanna Anggarkusuma.
Tapi kini, tenis Indonesia untuk jadi juara di sea games saja susah.
Kenapa cabang yg telah mendunia ini seperti hilang tertiup angin?

               ***
Tak ada yang abadi.
Brasil, Italia, Jerman, Inggris juga tak akan abadi menjagoi sepakbola.
Inggris sptnya hanya tinggal menjejakkan sejarah. uguay sdh terlebih dahulu terpental.
Belanda, Portugal, dan Spanyol yg kemudian mengubah sejarah itu dalam selang hitungan dekade.

Indonesia di Sea Games sudah seperti Inggris di tenis, atau Inggris di sepakbola. Tinggal macan ompong.
Kita sebenarnya sudah runtuh sejak 1997.
Di 2011 kita menjadi juara umum, karena kita tuan rumah dan memasukkan cabang2 yg belum diakui IOC: panjat tebing, sepatu roda, paragliding, petanque, dll. Termasuk finswimming.

Jika melihat tahunnya, ambruknya olahraga di Indonesia berkaitan erat dg kondisi politik di dalam negeri pada saat itu.
Dan jika politik dalam negeri masih amburadul seperti sekarang ini, jangan harap olahraga Indonesia akan bangkit.
Induk-induk organisasi olahraga yang sekarang ada justru menjadi tempatnya org2 untuk meraih kekuasaan (dan tentunya juga uang), bukan untuk mendedikasikan diri dalam olahraga.
Banyak orang yang berada di kursi itu tak mengerti sejarah olahraga Indonesia, sehingga dengan seenaknya mengobrak-abrik peta dan tradisi demi kepentingannya sendiri.
Kondisi seperti ini sesuai dengan kondisi politik yang ada, banyak tempat yang diisi oleh orang yang salah. Diisi oleh orang-orang yg tidak mengerti, tapi sok tau. Sehingga yang paling menyakitkan, atlet-atlet di Indonesia sekarang ini hanya dijadikan obyek.

Ketika akhirnya atlet hanya dijadikan obyek, apakah olahraga Indonesia akan maju? No way...

Di saat yang bersamaan, orangtua2 pun mulai banyak yang sadar bahwa sepenuhya menjadi atlet bukan sebuah pilihan yang tepat untuk masa depan. Bibit-bibit pun tak sebanyak dulu lagi.
Contoh kehidupan buruk atlet di masa tua, adalah gambaran yang masih terekam di kepala.

Lalu, dengan sisa materi atlet yang ada sekarang ini...para atlet tersebut berada di bawah naungan orang2 organisasi yang juga sibuk berpolitik sambil menuai uang, dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Apalagi sekarang organisasi olahraganya begitu banyak. Bisa dibayangkan apa yang dihadapi di depan mata para atlet yang rata2 masih muda itu? Selain: kecurangan, kebohongan, ketidakjujuran, ketidakadilan dan bagaimana cara mengumpulkan uang. 
Justru antitesis dari arti sport itu sendiri.

Mereka adalah lembaran kertas kosong yang telah mengorbankan hidupnya hanya untuk berlatih dan berlatih, tapi nasibnya ditentukan oleh kepentingan orang2 organisasi dengan kapasitas seperti di atas.
Apakah kebobrokan semacam ini dengan seketika bisa dipulihkan?
Sepertinya SOS Olahraga Indonesia ini akan berlangsung lama. Kalau saja masih bisa diselamatkan

Tidak ada komentar: