Kamis, 15 Maret 2012

Prestis atau prestasi

Jakarta, 15 Maret 2012. Setiap kejuaraan beregu yang mewakil klub ataupun daerah maka selalu muncul protes protes. Yang jadi masalah selalu mengenai status peserta. Inipun paling sering terjadi mulai dari Pekan Olahraga Nasiona, Pekan Olahraga Daerah (PORDA) atau PORPROV.
Karena prestis saja melupakan prestasi sehingga pembina olahraga ini melupakan sportivitas. Kenapa demikian. Karena pembina ini selalu mengejar prestis apalagi kalau menggunakan uang daerah atau pemerintah daerah. Jadi harus bisa pertanggung jawabkan dana yang diterima dengan prestasi. Ini bagu tetapi caranya yang tidak benar , kenapa? Ya, karena selalu mencari atlet dari luar daerahnya karena tidak punya atlet.

Terus terang saya pernah sampaikan unek2 ini dalam salah satu seminar olahraga di kantor Menpora didepan Ketua Umum KONI Rita Subowo. Saya katakan kalau atlet diwajibkan mengenal sportivitas tetapi tidak berlaku bagi pembinanya. Contoh contoh sudah banyak . Coba perhatikan setiap jadi tuan rumah multi events, selalu ditekan jadi juara umum. Akibatnya dicarilah cabang2 olahraga aneh2 yang bisa mendapatkan medali emas. Bukan cari cabang olahraga olimpiade untuk kejar prestasi dunia. Hal ini ditiru ditingkat daerah.Setiap PON selalu terjadi mutasi atlet. Soal mutasi atlet itu sah sah saja. Hak manusia olahraga.

Setiap ada PORDA/PORPROV sering saya terima telpon dari rekan2 didaerah, menanyakan masalah perpindahan atlet ikut di event tersebut. Saya cuma katakan semua itu lihat di ketentuan multi event tersebut. Jadi berpacu di ketentuan pertandingan yang dibuat oleh Panpelnya. Jadi ataurannya cukup jelas. Sekarang PP Pelti membantu dengan menerbitkan Kartu Tanda Anggota Pelti (KTA) untuk membantu masalah tersebut.
Jadi kalau ketentuan pertandingan PORDA/PORPROV menyatakan status peserta berdasarkan KTA Pelti maka semua peserta wajib memiliki KTA Pelti tersebut. Begitu juga kalau ketentuan menyebutkan persyaratan peserta adalah KTP.
Kurang jelasnya ketentuan pertandingan akan membuat masalah.

Saya teringat sewaktu Pra-PON di Palembang awal Desember 2011. Dalam technical meeting ada peserta protes minta agar semua peserta yang ikut menunjukkan KTA Pelti. Padahal diketentuan TDP setiap peserta memiliki KTA Pelti baru bisa ikut. Ini hanya silat lidah saja. Saya adu argumentasi saja, karena dalam ketentuan tidak ada menyatakan harus menunjukkan KTA Pelti ditempat pertandingan maka saya tolak. Hanya 2 provinsi yang minta ngotot ditempat waktu itu.
Penolakan saya ini rupanya tidak disetujui juga oleh rekan panpel maupun induk organisasi. Saya katakan memang ketentuan menyatakan peserta TDP harus memiliki KTA Pelti. Tetapi tidak perlu KTA tersebut dibawa bawa. Cukup terdaftar dan sudah ada nomor KTA Pelti ditangannya. Sebagai contoh di turnamen internasional ITF, setiap peserta harus memiliki IPIN (semacam KTA) yaitu International Players Identification Number. Referee bertugas mencek melalui internet nama peserta tersebut, apakah sudah ada atau belum. walaupun pesertanya ngotot katakan sudah punya tetapi dalam situs ITF tidak ada maka tetap ditolak.
Hal seperti ini pernah terjadi di turnamen internasional di Indonesia. Satu pemain ngotot katakan sudah punya IPIN yang disampaikan oleh rekan saya di Jakarta yang menyalahkan ITF Referee, tetapi sebagai profesional Referee tetap menolaknya walaupun ada upaya intervensi dari penyelenggara. Karena soal aturan sudah wewenang Referee. Ini semua pendapat pribadi saya sesuai dengan pengamatan selama ini.

Jadi aturannya harus jelas sekali baru bisa lancar.

Tidak ada komentar: