Munculnya Undang Undang No. 3 Tahun 2005 belum memberikan jaminan sepenuhnya akan terdongkraknya olahraga Indonesia. Keberhasilan keberadaan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI sebagai wujud nyata terbitnya Undang Undang No.3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragan Nasional perlu mendapatkan tempat tersendiri bagi seorang Adhyaksa Dault. Ini merupakan satu apresiasi bagi sosok Menteri yang masih muda bersemangat tinggi sehingga lupa diri dalam multi event langsung aktip mengajukan protes kepada panpel melihat atlit Indonesia dicurangi.
Undang Undang tersebut merupakan payung hukum bagi pelaku pelaku olahraga, yang sangat didambakan sekali dan sudah diperjuangkan lebih dari 20 tahun. Walaupun sebenarnya Undang Undang ini dibuat menjadi macan ompong di dunia olahraga. Kenapa demikian ? Setelah dicoba dibaca sebaik mungkin ada kewajiban tanpa dicantumkan sangsi jika tidak dilaksanakan.Ini juga merupakan masalah tersendiri.
Apa yang diharapkan bagi pelaku pelaku olahraga ini. Undang Undang sudah ada, sebenarnya sudah merupakan masalah yang meringankan bagi induk organisasi olahraga di Indonesia. Sebelum adanya Undang Undang , induk organisasi olahraga sibuk dengan masalah pendayagunaan program program pembinaannya disamping cukup pusing memikirkan pengadaan sarana dan prasarana olahraga.
Jikalau antara Pemerintah dan NGO (Non Government Organization) seperti KONI ataupun induk organisasi olahraga berbagi tugas sebenarnya bisa membantu percepatan peingkatan prestasi olahraga. Pemerintah sesuai dengan Undang Undang No. 3 tahun 2005 seharusnya menyediakan dana untuk pembangunan sarana dan prasarana sehingga NGO ini yang lebih konsentrasi terhadap pembinaan olahraga.
Setelah 2 tahun berlakunya UU No. 3 tahun 2005 ini malah dipeributkan pada item Pasal 40 mengenai pejabat public tidak boleh duduk aebagai Ketua KONI. Bahkan di Rapat Kerja Nasional KONI tanggal 5-6 Maret 2008 di Jakarta, yang dihadiri 33 PengProv. KONI dan 45 induk organisasi cabang olahraga sebagai anggota KONI Pusat, sempat muncul ketegangan dimunculkan sesaat membicarakan masalah Pasal 40 tersbut. Hebatnya sampai utusan KONI Provinsi Papua bersikeras kalau di Papua tidak akan menggunakan Undang Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Ya, dikatakan sudah berniat melanggar UU tersebut , karena alasannya kesulitan mendapatkan person yang duduk sebagai Ketua KONI Provinsi, maupun KONI Kabupaten maupun Kota karena selama ini dijabat oleh Bupati atau Walikota.
Bukannya memberi solusi malahan menantang kalau akan memberlakukan otonomi khusus Papua.
Aneh, apa kata dunia ? Masyarakat olahraga melanggar Undang Undang, sepertinya tidak bersalah. Tetapi sepertinya lupa kalau Komite Olahraga Nasional itu adalah NGO dan juga Mandiri. Kesalahan besar selama ini di tingkat Pusat maupun Daerah terlalu mengharapkan dukungan dari APBN atau APBD. Sebagai NGO tentunya tidak perlu ada ketergantungan seperti ini. Inilah akibatnya. Tidak ada upaya mencari dana sendiri. Sebenarnya dilihat dari Undang ndang No. 3 tahun 2005 ini sudah jelas ditekankan kewajiban Pemerintah menyediakan dana untuk olahraga. Bukan seperti sekarang dana olahraga semua ditumpahkan ke Sepak Bola yang notabene adalah olahraga Profesional tapi penangannnya tidak professional.
Seharusnya selaku pelaku olahraga harus tunduk akan hukum, dan KONI Pusat beserta anggotanya agar berembuk kembali bersama Menteri Pemuda dan Olahraga agar bisa beridskusikan kembali dengan pihak judikatip membuat amandemen. Karena sebaga KONI yang membawahi banyak cabang olahraga tidak jadi masalah dipegang pejabat publik tetapi seharusnya Induk cabang olahraga yang tidak diperkenankan dipegang Pejabat Publik. Ini kira kira solusi sebagai warga negara yang baik.
Kalau berpikiran negatip, maka ada upaya upaya tertentu untuk membubarkan KONI yang sebenarnya tidak bisa dicampuri oleh Pemerintah. Ini sesuai dengan Olympic Charter. Kedudukan Pemerintah kalau sampai ikut campur masalah KONI juga merupakan suatu pelanggaran, menurut pemikiran AFR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar