Tahun 2006 semarak dengan Pekan Olahraga Provinsi diseluruh Indonesia. Yang termonitor yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Selatan, Jambi, NTB, Kalbar, Riau, Sumatra Barat, Banten, Kalimantan Timur, N.A.D.
Semaraknya PORPROV atau dulu dikenal dengan PORDA, membuat lahan empuk atlet termausuk tenis. Karena akan terima uang saku yang cukup besar untuk bertanding di PORPROV yang notabene bertanding selama 10 hari bahkan kurang. Jumlah yang sulit didapat di turnamen resmi nasional apalagi internasional. Belum lagi bonusnya kalau bawa pulang medali.
AFR menerima banyak telpon langsung dari panitia yang bukan Referee atau Technical Delegate. Kebingungan yang muncul. Sebagai contoh dari PORPROV Sumsel bertanya masalah ada petenis yang mewakili salah satu Kotamadya/Kabupaten berasal dari Jawa Timur. Begitu juga pertanyaan timbul dari PORPROV Jawa Barat masalah mutas atlet. Dan juga dari Riau. Intinya AFR katakan bahwa setiap WNI berhak untuk pindah domisili, dan tidak bisa ditahan oleh siapapun. Semua tergantung dari peraturan dari Pertandingan PORPROV tersebut. Di tenis sangatlah jelas peraturannya. Tidak perlu dicampur dengan interpretasi masing masing pihak. Jadi kalau di peraturan yang dibuat oleh KONI Prov itu hanya mengatakan azas domisili minimal satu tahun maka data yang digunakan adalah KTP (Kartu Tanda Penduduk). Jangan lagi mengatakan kalau KTP gampang dibuat. Karena kalau istilah aspal maka yang bersalah adalah instansi yang membuat KTP. Kita ini bukanlah Polisi yang berhak mengusut keabsahan KTP yang didapat. Kalau Pekan Olahraga Nasional oleh KONI Pusat telah diatur aturan tentang minimal domisili 1 (satu) tahun kemudian diikuti juga dengan aturan Mutasi atlet. Maka keabsahan atlet sudah diatur sebelumnya.
Semaraknya PORPROV atau dulu dikenal dengan PORDA, membuat lahan empuk atlet termausuk tenis. Karena akan terima uang saku yang cukup besar untuk bertanding di PORPROV yang notabene bertanding selama 10 hari bahkan kurang. Jumlah yang sulit didapat di turnamen resmi nasional apalagi internasional. Belum lagi bonusnya kalau bawa pulang medali.
AFR menerima banyak telpon langsung dari panitia yang bukan Referee atau Technical Delegate. Kebingungan yang muncul. Sebagai contoh dari PORPROV Sumsel bertanya masalah ada petenis yang mewakili salah satu Kotamadya/Kabupaten berasal dari Jawa Timur. Begitu juga pertanyaan timbul dari PORPROV Jawa Barat masalah mutas atlet. Dan juga dari Riau. Intinya AFR katakan bahwa setiap WNI berhak untuk pindah domisili, dan tidak bisa ditahan oleh siapapun. Semua tergantung dari peraturan dari Pertandingan PORPROV tersebut. Di tenis sangatlah jelas peraturannya. Tidak perlu dicampur dengan interpretasi masing masing pihak. Jadi kalau di peraturan yang dibuat oleh KONI Prov itu hanya mengatakan azas domisili minimal satu tahun maka data yang digunakan adalah KTP (Kartu Tanda Penduduk). Jangan lagi mengatakan kalau KTP gampang dibuat. Karena kalau istilah aspal maka yang bersalah adalah instansi yang membuat KTP. Kita ini bukanlah Polisi yang berhak mengusut keabsahan KTP yang didapat. Kalau Pekan Olahraga Nasional oleh KONI Pusat telah diatur aturan tentang minimal domisili 1 (satu) tahun kemudian diikuti juga dengan aturan Mutasi atlet. Maka keabsahan atlet sudah diatur sebelumnya.
Janganlah terpengaruh iklan yaitu kalau susah kenapa digampangin. Tanya kenapa !
“Salahnya sih target yang diminta adalah bawa medali”
Coba perhatian setiap menjelang multi event selalu disibukkan oleh KONI Pusat masalah target juara umum alias bawa pulang medali.
Secara guyon AFR kemukakan kepada petinggi KONI Pusat yang bertanggung jawab atas pelatnas Asian Games Doha.
“Mas, salahnya selama ini yang diminta kepada setiap induk organisasi olahraga yaitu berapa medali yang bisa dicapai. Cobalah diubah dengan paradigma baru. Yaitu kejarlah menjadi juara. ”
“Salahnya sih target yang diminta adalah bawa medali”
Coba perhatian setiap menjelang multi event selalu disibukkan oleh KONI Pusat masalah target juara umum alias bawa pulang medali.
Secara guyon AFR kemukakan kepada petinggi KONI Pusat yang bertanggung jawab atas pelatnas Asian Games Doha.
“Mas, salahnya selama ini yang diminta kepada setiap induk organisasi olahraga yaitu berapa medali yang bisa dicapai. Cobalah diubah dengan paradigma baru. Yaitu kejarlah menjadi juara. ”
Dan dijawab oleh petinggi KONI Pusat. " Baru satu satunya dari PB yang berani katakan demikian."
Karena sering ikuti baik dari media massa maupun mendengar sendiri sewaktu ikuti undangan KONI Pusat kesetiap cabang olahraga yg punya pelatnas . Kenapa salah, kan benar bawa medali justru prestasi. AFR berpendapat lain, mungkin salah tapi yakin akan kebenarannya, walaupun bukan ahlinya. Bagaimana kita bisa melihat perkembangan olahraga tak terukur khususnya seperti tenis, tenis meja, bulutangkis, sepakbola dll. Kalau olahraga terukur misalnya seperti renang, atletik gampang menilai perkirakan prestasi yang akan didapat.
Apalagi kalau KONI Pusat tidak tahu perkembangan cabang cabang olahraga didunia internasional padahal era tehnik informatika yang cukup canggih tidak dimanfaatkan untuk melihat informasi yang mudah didapat.
Bonus diberikan cukup berlebihan. Walaupun sekarang berteriaklah banyak mantan atlet yang merasa tidak diperhatikan Negara nasibya.
Bonus berlebihan, bisa juga dibenarkan tapi juga bisa disalahkan pendapat ini. Karena bonus diberikan juga bukan saja kepada atlet yang juara alias pemegang medali emas, tapi diberikan juga kepada pemegang medali perak maupun perunggu, yang nilainya tidak berbeda jauh. Disinilah reward yang diberikan sekali lagi keliru kalau tidak mau disalahkan. Akibatnya, atletnya sudah puas keluar dengan medali perunggu. Bukannya medali emas itu sebagai juara sejati. Perunggu itu bukanlah juara. Yang juara hanya satu loh Mas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar