Jakarta , 6 Maret 2008. Selama dua hari (5-6 Maret 2008) , AFR diutus Pelti ikuti Rapat Kerja Nasional KONI di Jakarta dan Rapat Kerja Tahunan KOI (Komite Olympiade Indonesia ) di Jakarta, yang dihadiri wakil wakil dari KONI Provinsi, induk organisasi olahraga lainnya. Selama duduk di kepengurusan PB Pelti ( 2002-2007) dan sekarang di PP Pelti ( 2007-2012) setiap tahun ada Rapat dari KONI, AFR selalu dipercayakan dari Pelti untuk mewakilinya.
Dari hasil keikutsertaan, rapat tersebut yang banyak membicarakan awalnya adalah pengesahan tata Tertib, pengesahan agenda rapat sampai ke AD & ART maupun laporamn kerja KONI. Maka yang berperan sangat menonjol adalah prakstisi hukum dibandingkan praktisi olahraga. Banyak yang masih berprofesi pengacara yang sangat dominant. Karena wakil wakil dari induk organisasi olahraga banyak dari kalangan praktisi hokum. Bisa dibayangkan kelihaian mereka membuat atau mempermainkan kata kata. Kalah praktisi olahraga baik yang berlatar belakang Sarjana Hukum , apalagi sarjana kediokteran, sospol dan lain lainnya.
Dagelan lucu selalu menonjol sehingga begitu acara dimulai sudah ada saja interupsi dilakukan oleh rekan rekan yang itu itu juga dari tahun ketahun. Sama juga dengan wakil wakil dari KONI Provinsi. Kemana semua itu praktisi olahraga yang melempen karena kekagumannya terhadap olah kata, sehingga lebih banyak diam . Padahal yang dihadapi adalah olahraga sehingga kemungkinan muncul ada " olahrasa ".
Saat ini yang menjadi masalah adalah Undang Undang No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional khususnya Pasal 40 tentang tidak diperkenankannya pejabat public memegang jabatan Komite Olahraga Nasional.
Beberapa tahun sebelum keluarnya UU No. 3, KONI sibuk dengan mempersiapkan tim yang terdiri dari praktisi olahraga maupun praktisi hukum merancang UU tersebut . Hasilnya setelah dikeluarkan UU No. 3 Tahun 2005, justru bukannya makin mulus tetapi makin membingungkan bagi praktisi olahraga. Kenapa bisa demikian. Undang undang dibuat tanpa ada sangsi.
AFR menilai apa yang sudah merupakan Undang Undang sepatutunya apalagi setelah ada Peraturan Pemerintah (PP) tidak boleh dilanggar. Kalau dilanggar justru melanggar hokum. Tapi dalam Rapat KONI 2008 ini justru utusan KONI Provinsi Papua terang terangan berani menentang bahkan menyatakan tidak mau ikuti UUD No. 3 terutama Pasal 40. Alasannya masih menggunakan aturan Otonomi khusus Papua. Aneh, tapi demikian kenyataannya.
Sebelum dipisahkannya KONI dan KOI , AFR bersama praktisi olahraga lainnya dilibatkan dalam tim seperti Benny Mailili (alm) sebagai wakil KONI Prov. DKI Jakarta, Bob Gunawan (KONI Prov. Jabar), Faisal ( KONI Prov. Sulsel), Purnama (PRSI) dan Haryo Juniarto (Pertina). Yang masuk tim persiapan AD & ART KOI adalah Benny Mailili, Purnama, Haryo Juniarto dan AFR. Dari rapat yang dipimpin dari Ketua Bidang Organisasi KONI Pusat, Hendardji S, AFR menilai ada ketidak relaan akan pemisahan KONI dan KOI dikalangan petinggi KONI saat itu (periode Ketua Umum Agum Gumelar). Apakah suasana seperti ini merupakan akibat atau memang ada kesengajaan dihembuskan oleh kalangan tertentu sehingga hubungan antara Menegpora RI (Adyaksa Dault) dengan KONI Pusat (Agum Gumelar) kelihatan agar menegang , kalau ikuti perkembangan media massa saat itu.
Hari ini pula dilakukan Rapat Tahunan Komite Olympiade Indonesia (KOI). Begitu rapat dimulai adegan dagelan masih terlihat pula dengan interupsi interupsi yang sebenarnya tidak perlu. Kelihatannya seperti pemanis belaka. Kejadian terulang lagi seperti Rapat Kerja Nasional KONI Pusat sehari sebelumnya. Sehingga kalau ikuti rapat KONI akan terlihat siap siapa saja yang selalu melakukan interupsi yang saling bersautan antara praktisi hukum didepan kalangan praktisi olahraga lainnya.
Kemana saja rekan rekan praktisi olahraga lainnya ? Ini pertanaan sulit dijawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar