“ Tiang Uli Buleleng “, demikian ucapan bahasa Bali dari August Ferry Raturandang sewaktu berkunjung mendadak ke lapangan tenis Buana Patra ( 3 lapangan ) dikota Singaraja Bali September 2007. Artinya Saya dari Buleleng. Nama Buleleng itu adalah nama pelabuhan kota Singaraja yang sekarang sudah tidak ada pelabuhannya lagi karena sudah pindah ke Benoa (Denpasar). Sisa sisanya ada yaitu dermaga yang mencolok kelaut menjadi restaurant. Saat ini Singaraja menjadi Ibukota Kabupaten Buleleng.
Ucapan saya ini membuat kaget pecinta tenis kota Singaraja, tidak menyangka sama sekali bisa muncul dikota ujung utara pulau Bali. Ini kunjungan nostalgia bagi saya karena dikota Singaraja saya belajar tenis dilapangan tenis Kamar Bola yang kemudian ganti nama Giri Loka dan sekarang Yudistira
Ucapan saya ini membuat kaget pecinta tenis kota Singaraja, tidak menyangka sama sekali bisa muncul dikota ujung utara pulau Bali. Ini kunjungan nostalgia bagi saya karena dikota Singaraja saya belajar tenis dilapangan tenis Kamar Bola yang kemudian ganti nama Giri Loka dan sekarang Yudistira
Adakah petenis asal Singaraja di pertenisan nasional ?. Memori saya mengingatkan petenis putri Komang Astiti ( tahun 1990 an), kemudian muncul adik kakak Laba Kurniawan , Nesa Artha (masih aktip di Jakarta) dan Al Imron yang sudah menghilang ternyata kembali ke Singaraja sebagai pelatih. Propinsi Bali cukup dikenal sebagai pemasok atlet tenis sejak yunior seperti Ayu Damayanti , Eko Putra, Nancy Metrya, Fajar Bagiastra, Sri Komang Maryati dll yang semuanya bukan berasal dari Singaraja.
Ketertarikan saya bernostalgia ke Singaraja karena sudah tidak mendengar adanya atlit Bali asal Singaraja berkiprah dipertenisan nasional kecuali Nesa Artha, setelah nama Al Imron . Kenyataannya masih ada petenis yunior Singaraja berjaya di TDP Yunior di Blitar tahun ini.
Dilapangan tenis Kamar Bola (Yudistira) saya maupun adik saya Alfred Henry Raturandang ( sekarang pelatih ) belajar tenis dibawah bimbingan orangtua sendiri yaitu Jootje Albert Raturandang yang juga sebagai petenis handal era 1950-1959 di Propinsi Sunda Kecil ( Nusa Tenggara) sebelum dibagi menjadi 3 propinsi yaitu Bali, NTB dan NTT dan sempat membela Sunda Kecil/Nusa Tenggara dalam Pekan Olahraga Nasional ke-2 di Jakarta sampai PON 4 di Makassar. Rekan ayah saya seperti Pak Ngurah, Pak Mangku, Pak Nyoo Hwai Yong ( Rasjidgandha) yang semuanya sudah almarhum dan Pak Wenten yang sudah berusia 80 tahunan dan masih bermukim di Singaraja. Sayang saya tidak ketemu karena beliau sedang keluar rumah.
Ada 2 tempat berlatih semasa kecil yaitu lapangan milik tentara (Kamar Bola) dan lapangan Bhayangkara sekarang namanya lapangan Waspada di Kaliuntu. Ternyata kedua tempat ini masih ada dan utuh digunakan sebagai lapangan tenis ditengah tengah gemuruhnya pembangunan di bekas Ibukota Propinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara) yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten Buleleng dibawah Bupati Putu Bagiada yang tidak hobi tenis. Tetapi selaku Ketua KONI Kabupaten tentunya tetap ada perhatian dengan cabang olahraga tenis.
Ketertarikan saya bernostalgia ke Singaraja karena sudah tidak mendengar adanya atlit Bali asal Singaraja berkiprah dipertenisan nasional kecuali Nesa Artha, setelah nama Al Imron . Kenyataannya masih ada petenis yunior Singaraja berjaya di TDP Yunior di Blitar tahun ini.
Dilapangan tenis Kamar Bola (Yudistira) saya maupun adik saya Alfred Henry Raturandang ( sekarang pelatih ) belajar tenis dibawah bimbingan orangtua sendiri yaitu Jootje Albert Raturandang yang juga sebagai petenis handal era 1950-1959 di Propinsi Sunda Kecil ( Nusa Tenggara) sebelum dibagi menjadi 3 propinsi yaitu Bali, NTB dan NTT dan sempat membela Sunda Kecil/Nusa Tenggara dalam Pekan Olahraga Nasional ke-2 di Jakarta sampai PON 4 di Makassar. Rekan ayah saya seperti Pak Ngurah, Pak Mangku, Pak Nyoo Hwai Yong ( Rasjidgandha) yang semuanya sudah almarhum dan Pak Wenten yang sudah berusia 80 tahunan dan masih bermukim di Singaraja. Sayang saya tidak ketemu karena beliau sedang keluar rumah.
Ada 2 tempat berlatih semasa kecil yaitu lapangan milik tentara (Kamar Bola) dan lapangan Bhayangkara sekarang namanya lapangan Waspada di Kaliuntu. Ternyata kedua tempat ini masih ada dan utuh digunakan sebagai lapangan tenis ditengah tengah gemuruhnya pembangunan di bekas Ibukota Propinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara) yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten Buleleng dibawah Bupati Putu Bagiada yang tidak hobi tenis. Tetapi selaku Ketua KONI Kabupaten tentunya tetap ada perhatian dengan cabang olahraga tenis.
Mencari bekas rumah yang selama 10 tahun ( 1949-1959) ditinggali di jalan Sadewa Kaliuntu sudah susah sekali. Ini kunjungan kedua, dimana kunjungan pertama tahun 1980 masih sempat menemukannya. Saat ini banyak perbedaan kota Singaraja secara fisik. Pembangunan Kabupaten Buleleng terutama kota Singaraja cukup pesat sehingga bekas rumah yang terletak dipinggir kali Mumbul sudah tidak bisa ditemukan. Saya lupakan cari bekas rumah tetapi ternyata bekas sekolah saya masih ada, dulu namaya Sekolah Rakyat No. 2 sekarang menjadi Sekolah Dasar No. 12 dan lapangan tenis masih utuh.. Dan sekarang lapangan tenis sudah bertambah 2 lapangan di Buana Patra.
Tepat pkl 16.00 melihat pusat tenis di Singaraja yaitu lapangan Buana Patra dan bertemu dengan Nyoman Gelgel salah satu orangtua petenis yunior yang pernah ketemu di Jakarta dan melihat petenis Bali yang dipersiapkan untuk PON 2008 Chandra Widhiarha sedang melatih 2 petenis yunior. Satu persatu datang rekan rekan dari Pengcab Pelti Kabupaten Buleleng mulai dari Sekretaris Pengcab Pelti Dwi Utaminingsih dan Bendahara Pengcab Ngurah Budiarta dan Wakil Ketua Gede Darmawan..
“Saya datang untuk nostalgia, bukan kunjungan resmi, karena saya mengenal tenis justru di Singaraja.” Pernyataan ini membuat semua kaget dan awalnya kurang percaya, tetapi ketika menyebutkan nama lapangan tenis dan jago2 tenis tahun 1950-1959 , barulah mereka kagum dan bangga bisa bertemu dengan seorang sahabat jauh. Pertemuan diselingi dengan cakap Bali (saya coba mempraktekkan kembali agar tidak lupa, dan ternyata sedikit malu2 takut salah). Keinginan tahu untuk kegiatan tenis, membuat pertemuan sedikit terbuka. Sayapun menyampaikan banyak program pengembangan, pembinaan yang bisa dijalankan di Singaraja jika ingin maju. Mulai dari Mini Tenis, Persami, pelatihan pelatih, coaching clinic maupun TDP.
“Masalahnya adalah dana.” Demikian ungkapan yang keluar dari Gede Darmawan Wakil Ketua Pengcab Kab.Buleleng. Sayapun memberikan wayout jika kesulitan dana dengan memperkenalkan Persami (sebenarnya di Bali sudah ada, hanya tidak rutin setiap bulan di Denpasar, kemungkinan setahun sekali), TDP. “Tolong kirimkan kami Formulir Pendaftaran TDP .” ujar Sekretaris Pengcab Kabupaten Buleleng Dwi Utaminingsih dengan senyum manisnya. Sedangkan komentar dari Bendahara Ngurah Budiarta memberi masukan jika ada pihak ketiga diluar Pengcab berkeinginan laksanakan salah satu program Pelti, maka diberi kesempatan dan Pengcab sangat mendukungnya.
Pertemuan cukup hangat dan bersahabat telah berjalan dari pkl 16.00 walaupun tidak diikuti oleh Ketua Pengcab Kabupaten Buleleng, karena sedang ada upacara agama di kediamannya.
Pembicaraan kemudian dialihkan ke Cozy Resto ditepi pantai sambil menyantap kangkung plecing dan ikan bakar, karena menjelang magrib dan tepat pkl 19.30 saya harus kembali ke Denpasar melalui Bedugul dalam waktu 2 jam perjalanannya yang cukup berkelok kelok terutama Gitgit sampai Bedugul.. Berbagai keingintahuan masalah tenis nasional muncul satu persatu, begitu pula perlunya komunikasi langsung ke Pengcab dari PB Pelti sangat diharapkan. Gairah memajukan tenis di Singaraja ternyata cukup besar, hanya belum diimbangi dengan pelatih pelatih yang ada sesuai standar PB Pelti. Hal ini diperlihatkan oleh sejumlah petinggi Pengcab Pelti. Ada kepuasan bathin saya melihat sendiri perkembangan tenis di kota ujung utara pulau Dewata (Bali) ternyata tidak tidur seperti dugaan sebelumnya. Perlu peningkatan sehingga mendapatkan hasil membanggakan. Keinginan salah satu orangtua Nyoman Gelgel agar putrinya (14 th) untuk menembus kelevel nasional tinggal menunggu way out terbaiknya, merupakan indikasi ingin majunya tenis di Singaraja, kota dimana saya pernah tinggal selama 10 tahun ( 1949-1959), kemudian pindah ikuti orangtua pegawai Departemen Pendidikan & Kebudayaan ke Propinsi Nusa Tenggara Barat (kota Mataram).
Pembicaraan kemudian dialihkan ke Cozy Resto ditepi pantai sambil menyantap kangkung plecing dan ikan bakar, karena menjelang magrib dan tepat pkl 19.30 saya harus kembali ke Denpasar melalui Bedugul dalam waktu 2 jam perjalanannya yang cukup berkelok kelok terutama Gitgit sampai Bedugul.. Berbagai keingintahuan masalah tenis nasional muncul satu persatu, begitu pula perlunya komunikasi langsung ke Pengcab dari PB Pelti sangat diharapkan. Gairah memajukan tenis di Singaraja ternyata cukup besar, hanya belum diimbangi dengan pelatih pelatih yang ada sesuai standar PB Pelti. Hal ini diperlihatkan oleh sejumlah petinggi Pengcab Pelti. Ada kepuasan bathin saya melihat sendiri perkembangan tenis di kota ujung utara pulau Dewata (Bali) ternyata tidak tidur seperti dugaan sebelumnya. Perlu peningkatan sehingga mendapatkan hasil membanggakan. Keinginan salah satu orangtua Nyoman Gelgel agar putrinya (14 th) untuk menembus kelevel nasional tinggal menunggu way out terbaiknya, merupakan indikasi ingin majunya tenis di Singaraja, kota dimana saya pernah tinggal selama 10 tahun ( 1949-1959), kemudian pindah ikuti orangtua pegawai Departemen Pendidikan & Kebudayaan ke Propinsi Nusa Tenggara Barat (kota Mataram).
“ Saya akan kembali tahun depan melihat lihat perkembangan selanjutnya” janji August Ferry Raturandang dengan catatan agar semua program pengembangan dan pembinaan tenis sudah dijalankan satu persatu. Keyakinan akan memajukan tenis di Singaraja terlihat dari wajah wajah cerah dan menjanjikan dari rekan rekan Pengcab Pelti Kabupaten Buleleng.
Saya diskusikan dengan adik saya Alfred Henry Raturandang selaku pelatih ITF Level-2 untuk tenis di Singaraja. “Apa yg bisa Raturandang berikan ke Buleleng”. Ini tantangannya. Semoga dan Doakan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar