Pertama kali sebagai wakil direktur turnamen Astra Internasional Junior Champs saya pernah alami boikot oleh rekan rekan wartawan yang meliput turnamen tersebut. Hal ini baru diketahui sehari setelah welcome party di Hotel Hilton Jakarta. Salah satu rekan wartawan Sinar Harapan ( Pitoy) datang esok harinya dengan menyampaikan kalau ada instruksi wartawan senior untuk boikot liputan turnamen Astra International Junior Champs.
Tapi saya cari tahu masalahnya kepada rekan Pitoy. Ternyata saat welcome party relan wartawan merasa dilecehkan, tidak dapat tempat duduk yang baik, karena didudukan dibelakang panggung. Memang malam itu saya datang agak terlambat karena siangnya sibuk mengatur turnamennya. Dan melihat rekan rekan wartawan tidak duduk ditempat yang disediakan. Akhirnya saya harus mengalah, menghilangkan rasa gengsi karena merasa tidak bersalah. Akhirnya saya datang meminta maaf kepada rekan rekan wartawan satu persatu, dan mendudukkan persoalan sebenarnya. Saat itu rekan wartawan datang lebih awal belum ada tamu, sehingga ikut bergabung dengan panitia lainnya yang pegawai secretariat PB Pelti. Memang saat saya kena skorsing dari Sekjen PB Pelti saya melewatkan waktu untuk belajar Public Relations di School of Communications ASMI Jakarta. Dan berhasil lulus terbaik kedua.
Peristiwa kedua yang tidak bisa saya lupakan adalah di boikot oleh wasit tenis di Samarinda. Saat itu tahun 1990 diadakan Munas Pelti untuk menggantikan Ketua Umum PB Pelti Moerdiono dan bersamaan pula diadakan turnamen Masters bagi petenis Indonesia seperti Yayuk Basuki, Suzanna Anggar Kusuma, Irawati Moerid, Bonit Wiryawan, Daniel Haryanto dll.
Judul turnamen adalah Marlboro Masters dengan sponsor utamanya perusahaan rokok Marlboro di lapangan tenis Segiri Samarinda. Untungnya Ketua Komite Pertandingan Martina Widjaja menyetujui saya membawa 6 wasit nasional dari Jakarta karena saat itu di Samarinda tidak ada wasit nasional kecuali Rudy (Dede) yang sebelumnya telah ikuti penataran wasit nasional di Manado.
Hari pertama turnamen saya sudah mulai bertindak tegas ke petugas meja turnamen yang disediakan oleh Panitia setempat yaitu Moh Idris M (ayah sari Abdul Kahar MIM) dan satu nama yang saya lupa bwerdarah Maluku. Masalahnya Marlboro memberikan 3 set T-shirt Marlboro untuk panitia, dan hari pertama saya datang melihat kedua petugas tersebut tidak menggunakan T-shirt Marlboro sebagai seragam resmi Panpel Marlboro Masters 1990. Saya hanya bertanya kemana seragam yang sudah diberikan, dan mendapatkan jawaban yang tidak bisa saya terima yaiotu dibawa anak2nya. Saya mulai berikan penjelasan mengenai sponsorship, maksud dan tujuannya mensponmsor turnamen. Akhir kata saya katakan jika dalam 5 menit tidak pakai seragam tersebut, tempat Anda bulkan dimeja pertandingan. Setelah itu saya tinggalkan mereka untuk berpikir. Lima menit kemudian saya kembali ternyata seragam tersebut sudah digunakan
Hari pertama saya mencek wasit wasit lokal yang akan bertugas, ternyata ada satu yang datang terlambat. Alasannya adalah macet. Ini saya tidak bisa terima. Sebenarnya saya menekankan disiplin bagi wasit juga penting. Akhirnya saya katakan Anda hari ini tidak bertugas sebagai hukumannya, dengan catatan besok bisa bertugas. Setelah itu saya tinggalkan pertemuan dengan wasit wasit tersebut.Ini semua terjadi sebelum turnamen dimulai dihari pertama. Tidak lama kemudian saya dihubungi oleh wasit Samarinda Rudy atau dikenal dengan panggilan Dede. “Pak saya diminta ikut boikot sebagai wasit sebagai tanda solidaritas mereka.” Saya hanya menjawab kalau Anda itu bukan anak kecil bisa bedakan mana yang baikl dan tidak. Akhirnya dia tidak ikut boikot. Saat itu saya kumpulkan 6wasit yangs aya bawa dengan refereenya Wardjitodari Jakarta dan juga peserta Marlboro Masters. Saya tekankan kesediaan mereka bertanding tanpa wasit garis (Linesmen). Ada kesepakatan dengan pemain maka pertandingan tidak ada masalah. Turnamen di Samarinda ini juga menyebabkan Yayuk Basuki menangis akibat teriakan penonton terhadap dirinya yang kulitnya hitam.
Situasi panas berlangsung dan hari itu juga saya sengaja masukkan ke media massa setempat dan nasional. Gegerlah Samarinda, ada event nasional di boikot oleh wasit tuan rumah. Kemudian datanglah Gubernur Kaltim Ardan (lupa nama lengkapnya) dan Kastaf Kodam Brigjen Yunus Yosfiah yang sudah saya kenal sewaktu beliau masih bertugas di Kopassus karena kompetisitenis Jakarta Timur sering bertandang antara klub Sparta Maesa melawan klub Kopassus AD.
Semua pertanyaan dan penawaran bantuan saya tolak dengan halus karena saya anggap masalah olahraga cukup diselesaikan dengan cara olahraga.Kemudian Pengda Pelti Kaltim mengundang wasit2 yang boikot dengan Referee Wardjito dan saya untuk dudku berdamai. Suasana cukup menakutkan jika kita tidak tabah. Keluar yel yel suruh bunuh saja saya yang dianggap arogan saat ini. Tetapi begitu saya mengetahui kalau mereka ini berasal dari Sulawesi Selatan, maka inilah senjata saya melumpuhkan kemarahan mereka. Saya memperkenalkan diri terlebih dahul dengan mengatakan jika tak dikenal maka tak disayang. Ada saat saat saya keras berbicara tapi ada juga kelembutan saya keluarkan. Saya katakana saya lahir di Makassar bukan di Ujung Pandang (sat itu Makassar sudah menjadi Ujung Pandang). Jadi darah Makassar saya masih ada. Disini saya berbicara dengan nada keras supaya menguasai suasana pertemuan tersebut. Memang saya katakana kalau mereka jauh berpengalaman di pertenisan Kaltim tetapi begitu saya perkenalkan kalau keluarga Raturandang sudah mulai berkecimpung di olahraga nasional bukan Kaltim. Mulai Pekan Olahraga Nasional I (Solo) oleh kakak ayah saya dan setiap PON selalu ada nama Raturandang, sampai saat saya pun terlibat di PON IV Bandung 1961 dan Andrian Raturandang yang menjadi juara yunior Indonesia saat itu disampingadik saya Alfred Raturandang sebagai pelatih tenis saat itu. Begitu juga saya tonjolkan pengalaman saya sebagai direktur turnamen internasional (sengaja tidak sebutkan turnamen nasional) Kesimpulannya dimata mereka kalau bicara soal tenis keluarga Raturandang sudah lama terlibat. Disini saya harus sombong terhadap mereka dengan tujuan agar mereka tahu diri sedikit. Trik ini ternyata berhasil dan akhirnya ditutup saling memaafkan. Selesai sudah permasalahnnya.Dan setelah itu rombongam PB Pelti seperti Ponco Sutowo, Martina Widjaja datang utuk Munas 1990. Martina sendiri sempat menegur saya dengan menanyakan kenapa tidak lapor masalah boikot ini karena sudah dibaca Koran nasional. Saya hanya katakana kalau saya ada masalah selalu saya selesaikan dulu baru laporkan keatasan bukan sebaliknya.
Ada satu lagi pengalaman saya di boikot oleh wartawan sewaktu selenggarakan Tigaraksa Lari 10 K tahun 1993 di Tangerang. Saat itu saya cukup dekat dengan wartawan Ibulota tetapi belum dekat dengan wartawan Tangerang yang semuanya bukan wartawan olahraga. Saya tidakkuatir karena sal pemberitaan saya bisa langsung ek rekasi koran di Jakarta langsung. Kegiatan berjalan sebagaimana biasa dan selesai dengan baik termasuk pemberitaannya di Harian nasional
1 komentar:
wah ternyata bikin blog juga...
rgds,
Joe
Posting Komentar