Jakarta, 27 Januari 2011. Hari ini terima SMS dari salah satu rekan tenis di Jogjakarta. Mempertanyakan masalah aturan aturan di PP Pelti tentang domisili dan sangsi bagi yang pindah pindah tempat bisa ikuti beberapa event seperti PORPROV dalam setahun atau beberapa bulan berurutan.
Memang harus diakui sekali sering terjadi perpindahan atlet dari satu daerah kedaerah lainnya. Apakah ini disalahkan?
Perpindahan semu, begitulah sebenarnya. Kenapa ? Karena ternyata pindah kota hanya sesaat saja, sampai setelah selesai kegiatan membela daerah tertentu kemudian kembali lagi keasalnya. Begitulah setiap kali menjelang multi event seperti PORPROV, PON.
Karena saya paling sering menerima pertanyaan maka sayapun hanya bisa mengingatkan bahwa adanya aturan mutasi yang dikeluarkan oleh KONI Pusat.Tata cara mutasi cukup jelas dan bisa dimengerti walaupun banyak pelatih/orangtua yang membaca dengan kacamata sendiri dan berakibat keributan tersebut. Tetapi akibat yang saya terima saat itu adalah ada ketidak senangan terhadap diri saya dari rekan sendiri di Jakarta. Bahkan lebih sadis ditudingkan kalau saya menghasut daerah lain agar tidak melepas salah satu atletnya ke daerah lain sebagai tuan rumah multi event yang berambisi mengejar sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi juga.
Kalau saya ingat ingat di tahun 2010 paling banyak ada Pekan Olahraga Provinsi di Indonesia ini. Dan coba perhatikan peserta khusus tenis. Ada petenis yang ikuti satu PORPROV kemudian ikuti juga PORPROV berikutnya yang jangka waktunya kurang dari sebulan.
Saya bisa ikuti karena setiap ada masalah didalam PORPROV tersebut maka muncullah pertanyaan langsung kepada saya melalui telpon. Menurut pengamatan saya yang paling banyak lakukan hal ini adalah tuan rumah. Yang menghendaki sukses pelaksanaan dan juga sukses prestasi. Nah ini biangnya. Tapi semua itu sah sah saja. Karena tidak ada aturannya. Oleh karena itu PP Pelti sedang menerapkan KTA PELTI (Kartu Tanda Anggota PELTI). Tetapi walaupun ada KTA Pelti masalah ini tetap saja bisa dilanggar. Kenapa? Karena sebagai penyelenggara PORPROV itu bukan PELTI tetapi KONI. Dimana peranan Pelti disini. Ternyata disetiap multi event ini Pelti hanya bisa mengacu kepada Rules of Tennis dan Tournament Regulation (Ketentuan TDP) yang tidak mengatur masalah status persyaratan pemain kecuali batas umurnya saja. Biasanya KONI menerapkan persyaratan peserta adalah domisili (yang paling sering dilanggar karena begitu mudahnya mendapatkan KTP baru, apakah benar bisa mendapatkan KTP baru?)
Ada suatu kejutan di lakukan oleh salah satu Pelti didaerah, dimana salah satu anggota pengurusnya yang juga pelatihnya diminta mundur dari kepengurusan Pelti karena terlibat langsung dengan membantu tuan rumah membawa atlet dari Jawa Tengah tanpa ikuti prosedur yang benar. Dikatakan melanggar komitmen mereka sendiri di kepengurusan tersebut.
Saya secara pribadi cukup sedih mendengar begitu banyak petenis yunior yang ditawarkan kedaerah daerah untuk multi event tersebut. Alasannya, katanya butuh pertandingan , tetapi sebenarnya bukan itu karena turnamen yunior di Indonesia ada sekitar 30, artinya setiap bulan ada minimal 2-3 turnamen. Alasan sebenarnya menurut saya adalah DUIT. Seharusnya yang dikejar adalah JUARA. Baru bisa menghasilkan prestasi. Memang betul untuk mengejar PRESTASI dibutuhkan DUIT. Tetapi jangan lupa jika sudah dapat itu PRESTASI maka DUIT akan datang dengan sendirinya. Coba kita lihat petenis elit sekarang sudah berada diposisi selebriti. Bayangkan saja masih yunior dimanfaatkan oleh orangtua untuk cari duit. Itu juga tidak salah atau bisa dikatakan sah sah saja. Tetapi jangan harapkan bisa berprestasi mendunia. Karena masih yunior sianak sudah mengejar DUIT bukan JUARA. Akibatnya turnamen dikampung kampung istilah kerennya dikejar karena ada duitnya. Ya, so pasti bisa menang karena lawan lawannya petenis kampung juga akhirnya. Ya begitulah nasib petenis kita jadinya akibat terlalu cepat puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar