Etika, berperan sangat penting bagi kehidupan sehari hari , termasuk didalam kehidupan bermasyarakat , begitu pula dalam lingkungan pertenisan Indonesia. Etika seharusnya dijunjung tinggi bagi pelaku pelakunya karena akan mendapatkan trust kedepannya.
Etika memang enak didengar tapi sulit diterapkan bagi yang kurang memahaminya. Etika berlaku kepada pemain, pelatih maupun orangtua petenis dan juga masyarakat tenis, yang juga merupakan panutan.
Tulisan ini diangkat mengingat pengamatan dan pengalaman didalam pelaksanaan turnamen mulai dari kelas Persami sampai turnamen internasional baik yunior maupun Pro-Circuit.
Ada yang mau main pukul kepada petugas pertandingan karena emosi terhadap kepemimpinan dalam turnamen yang dianggap merugikan putranya. Ada yang dengan kata kata yang tidak enak didengar dan sebagainya.
Istilah sebagai panutan sebenarnya sangat berat sekali bagi seorang pelatih. Di pertenisan dikenal pula dengan Code of Ethics yang akan berlaku bagi Pelatih dan juga petenis sendiri. Di turnamen dikenal Code of Conducts, begitu pula diingatkan untuk pelatih dikenal juga Code berisi 26 pasal.
Etika memang enak didengar tapi sulit diterapkan bagi yang kurang memahaminya. Etika berlaku kepada pemain, pelatih maupun orangtua petenis dan juga masyarakat tenis, yang juga merupakan panutan.
Tulisan ini diangkat mengingat pengamatan dan pengalaman didalam pelaksanaan turnamen mulai dari kelas Persami sampai turnamen internasional baik yunior maupun Pro-Circuit.
Ada yang mau main pukul kepada petugas pertandingan karena emosi terhadap kepemimpinan dalam turnamen yang dianggap merugikan putranya. Ada yang dengan kata kata yang tidak enak didengar dan sebagainya.
Istilah sebagai panutan sebenarnya sangat berat sekali bagi seorang pelatih. Di pertenisan dikenal pula dengan Code of Ethics yang akan berlaku bagi Pelatih dan juga petenis sendiri. Di turnamen dikenal Code of Conducts, begitu pula diingatkan untuk pelatih dikenal juga Code berisi 26 pasal.
Suatu peristiwa yang telah terjadi menyangkut Code of Ethics for Coaches, sesaat melihat turnamen internasional di lapangan tenis Executive Club salah satu hotel berbintang di Jakarta. Kekecewaan antara pelatih dengan induk organisasi dimanfaatkan dalam hasil anak asuhnya di turnamen internasional ini dimanfatkan agar diketahui oleh masyarakat atas kebenarannya teorinya. Lho, kenapa dikaitkan dengan Pelatnas yang nota bene milik dari KONI Pusat. Ada apa antara dia dan KONI Pusat sehingga dengan mudah dan disadarinya keluar kata kata tersebut. Sebelumnya dengan lantang keluar dari mulutnya seakan menantang pelatih lainnya atas keberhasilannya menangani petenis nasional . Bahkan dia pun bertanya tanya hasil yang didapat dari atlet atlet yang pernah diasuhnya masuk ke pelatih lainnya. Akibatnya keluarlah puncak kekesalannya dengan katakan Pelatnas taek (nama kotoran manusia). Bagaimana rasanya bagi petinggi KONI baik Pusat maupun Provinsi mendengar kata kata tersebut dari seorang pelatih tenis yang juga mantan pelatih nasional.
Teringat saya akan salah satu code ethics untuk pelatih yang dikeluarkan oleh Badan Tenis Internasional ( International Tennis Federation ) .” At all times act as a role model that promotes the positive aspects of sport and of tennis by maintaining the highest standards of personal conduct and projecting a favourable image of tennis and of coaching at all times “.
Ini salah satu dari 26 point dari Code of Ethics for coaches yang ditanda tangani oleh President ITF Francesco Ricci Bitti.
Ada lagi dalam code of ethics disebutkan, “ Respects other coaches and always act in a manner characterized by courtesy and good faith.”
Belum lagi ada disebutkan, “ Do not exploit any coaching relationship to didengar kena penalty karena pelanggarannya yang dituangkan dalam Code of Conduct.
Ada kejadian yang menyangkut Code of Ethics for Coaches yang saya lihat dan dengar terjadi di lapangan tenis Hilton sewaktu menyaksikan final tunggal turnamen tenis internasional putri Mitra Kencana Cup 2006.
Bangga, karena tuan rumah masuk final baik tunggal dan ganda. Lebih bangga lagi saat keluar sebagai juara di ganda dan tunggal sehingga turnamen women circuit ini milik tuan rumah.
Tapi kebanggaan itu hanya sesaat karena dicorengi juga oleh ulah pelatih kondang yang jelas jelas tidak simpatik. Hal ini dilakukan didepan fans nya sendiri yang terdiri orang tua murid-2nya dan didepan wartawan maupun petinggi PB Pelti. Tetapi hanya ditanggapi oleh senyum seorang petinggi PB Pelti yang sudah mengenal karakternya.
Terdengarlah kata kata mutiara akibat tidak puas atau hanya merupakan ulah yang sudah merupakan karakternya untuk meningkatkan citranya dengan cara public relations ala dia sendiri.
“Pelatnas taek.” Begitulah kata kata kurang enak didengar bagi pecintanya. Saya bertanya tanya siapa sih yang keluarkan kata kata demikian . Ternyata keluar dari seorang mantan pelatih tenis nasional yang juga merupakan idola saya selama ini. further personal, political, or business interests at the expense of the best interest of your student.”.
Waduh cukup panjang sekali dan banyak isi dari code of ethics ini sehingga bisa jadi kurang bisa dipahami.
Saya dalam menjalankan Persami (Pertandingan sabtu minggu) selalu menanamkan aturan aturannya kepada peserta turnamen. Disamping itu pula kepada orangtua dan pelatihnya.
Kita mulai dari Jadilah penonton yang baik. Karena ini turnamen individu sehingga campur tangan orangtua dan pelatih sebatas sebagai penonton saja. Penonton yang baik adalah menghormati petenisnya sendiri, kemudian lawan lawannya dan jiga menghormati pelatihnya sendiri dan pelatih lawannya. Ini sangat penting harus kita ajarkan kepada pelaku pelaku tenis di Tanah Air yang tercinta ini.
Buat apa harus ribut melulu. Ribut di media massa, begitu juga ribut dilapangan. Lihat saja kejadian kejadian lalu, ada pelatih nyaris baku hantam. Tidaklah heran kalau Tabloid Tennis sampai mengeluarkan edisi pelatih bersatulah.
Harapan kami selaku pecinta tenis karena sejak kecil sudah mengenal tenis dan turnamennya, agar memahami tugas dan tanggung jawabnya selaku pelatih yang jelas jelas sudah ada Kode etiknya
Apakah harapan ini bisa terealiser, terpulang kepada pelatih pelatih sendiri.
Teringat saya akan salah satu code ethics untuk pelatih yang dikeluarkan oleh Badan Tenis Internasional ( International Tennis Federation ) .” At all times act as a role model that promotes the positive aspects of sport and of tennis by maintaining the highest standards of personal conduct and projecting a favourable image of tennis and of coaching at all times “.
Ini salah satu dari 26 point dari Code of Ethics for coaches yang ditanda tangani oleh President ITF Francesco Ricci Bitti.
Ada lagi dalam code of ethics disebutkan, “ Respects other coaches and always act in a manner characterized by courtesy and good faith.”
Belum lagi ada disebutkan, “ Do not exploit any coaching relationship to didengar kena penalty karena pelanggarannya yang dituangkan dalam Code of Conduct.
Ada kejadian yang menyangkut Code of Ethics for Coaches yang saya lihat dan dengar terjadi di lapangan tenis Hilton sewaktu menyaksikan final tunggal turnamen tenis internasional putri Mitra Kencana Cup 2006.
Bangga, karena tuan rumah masuk final baik tunggal dan ganda. Lebih bangga lagi saat keluar sebagai juara di ganda dan tunggal sehingga turnamen women circuit ini milik tuan rumah.
Tapi kebanggaan itu hanya sesaat karena dicorengi juga oleh ulah pelatih kondang yang jelas jelas tidak simpatik. Hal ini dilakukan didepan fans nya sendiri yang terdiri orang tua murid-2nya dan didepan wartawan maupun petinggi PB Pelti. Tetapi hanya ditanggapi oleh senyum seorang petinggi PB Pelti yang sudah mengenal karakternya.
Terdengarlah kata kata mutiara akibat tidak puas atau hanya merupakan ulah yang sudah merupakan karakternya untuk meningkatkan citranya dengan cara public relations ala dia sendiri.
“Pelatnas taek.” Begitulah kata kata kurang enak didengar bagi pecintanya. Saya bertanya tanya siapa sih yang keluarkan kata kata demikian . Ternyata keluar dari seorang mantan pelatih tenis nasional yang juga merupakan idola saya selama ini. further personal, political, or business interests at the expense of the best interest of your student.”.
Waduh cukup panjang sekali dan banyak isi dari code of ethics ini sehingga bisa jadi kurang bisa dipahami.
Saya dalam menjalankan Persami (Pertandingan sabtu minggu) selalu menanamkan aturan aturannya kepada peserta turnamen. Disamping itu pula kepada orangtua dan pelatihnya.
Kita mulai dari Jadilah penonton yang baik. Karena ini turnamen individu sehingga campur tangan orangtua dan pelatih sebatas sebagai penonton saja. Penonton yang baik adalah menghormati petenisnya sendiri, kemudian lawan lawannya dan jiga menghormati pelatihnya sendiri dan pelatih lawannya. Ini sangat penting harus kita ajarkan kepada pelaku pelaku tenis di Tanah Air yang tercinta ini.
Buat apa harus ribut melulu. Ribut di media massa, begitu juga ribut dilapangan. Lihat saja kejadian kejadian lalu, ada pelatih nyaris baku hantam. Tidaklah heran kalau Tabloid Tennis sampai mengeluarkan edisi pelatih bersatulah.
Harapan kami selaku pecinta tenis karena sejak kecil sudah mengenal tenis dan turnamennya, agar memahami tugas dan tanggung jawabnya selaku pelatih yang jelas jelas sudah ada Kode etiknya
Apakah harapan ini bisa terealiser, terpulang kepada pelatih pelatih sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar