Begitulah salah satu komentar pelatih atau Ortu yg saya lihat dan dengar disela sela turnamen. Muncullah dibenak saya saat itu juga, kenapa setiap kesalahan yang fatal petenis dilapangan, kadang kala menyebutkan kata kata goblok sebagai external feedback untuk anak anak tersebut. Timbullah pertanyaan dipikiran saya, kenapa anak anak itu buat kesalahan fatal dalam suatu pertandingan. Apakah tidak dibuat latihan latihan yang membuat mereka lebih terampil meminimize kesalahan seperti itu. Kembali kepada kata kata Goblok ataupun kata2 mutiara tersebut, tidak akan terlontarkan bila sudah diberikan situasi situasi latihan yang sangat mirip atau identik dengan pertandingan.
Akibat dari tingkah laku orangtua ataupun pelatih teresebut tanpa disadari atlet akan merasa tertekan dan bisa salah tingkah.
Coba sekali kali bertanya kepada anak asuh atau anak sendiri. Setiap kali selesai menang atau kalah, langsung tanya kenapa bisa menang atau kalah. Mayoritas akan menjawab TIDAK TAHU, terutama petenis yunior, tidak menutup kemungkinan terjadi juga di pemain senior. Pengalaman saya waktu melihat pertandingan antara Joice Riana Sutedja di Hongkong (1991-1992) melawan petenis top asal Taipei yaitu Wang Shie Ting di Asian Championship. Set pertama Joice unggul kemudian set kedua kalah dan set ketiga kalah. Saya mencoba mencatat setiap games mulai dari berapa kali memberikan pukulan winner dan force error maupun unforce error. Saya iseng bertanya kepada atlet tersebut yang waktu itu bukan event yunior . Jawabannya tidak tahu.Aneh kan, dia yang main tapi tidak tahu. Kelelahan menutup pikiran wajar dari setiap insan jika tidak dilatih sejak awal. Dari data2 yang saya bacakan dia baru sadar kesalahannya. Kejadian ini juga saya coba tanyakan kepada atlet yang kalah di turnamen tahun 2006, khususnya petenis muda usia. Ternyata situasi ini masih sama seperti tahun 1991-1992. Sehingga timbul masalah kalau atlet itu dididik sebagai robot saja. Ini yang harus dirubah.
Saya pernah melihat dalam latihan petenis yunior dgn pelatihnya. Sang Pelatih saya lihat hanya berteriak teriak kaki kaki goyang dong, tapi tidak memberikan HOW to goyang dalam latihannya Atau berikan porsi latihan yang bisa membuat kaki goyang saat tidak memukul bola. Kebiasaan goyang kali sudah harus bisa dilakukan juga diluar lapangan sehingga atlet tanpa sadar dilapangan sudah otomatis lakukan hal tersebut. Kelincahan kaki bisa diajarkan bukan dengan cara latihan skipping, keliru karena skipping untuk endurance atau daya tahan. Akibatnya anak tersebut bingung tidak tahu solusinya tapi tidak berani bertanya karena takut kepada pelatihnya.
Yang perlu diperhatikan adalah latihan tehnik selama ini sudah dikerjakan tetapi lupa kalau melatih atlet berpikir memecahkan masalahnya sendiri harus mendapat porsi dalam latihan. Misalnya dengan cara melemparkan masalah sehingga atlet akan berpikir sebelum mendapatkan jawabannya. Pembinanya hanya menggiring masalah tersebut sehingga atlet tersebut yang akan menjawab sendiri.
Begitu juga dalam latihan ada salah satu pukulan bolanya OUT. Tanyalah kepada anak tersebut kenapa bola out. Bukannya katakan GOBLOK. Biarlah dia menjawab.
Intinya dalam latihan diterapkan how to decide dalam setiap pukulan. Yaitu Decision making, itu yang terpenting. Atlet bukanlah robot tetapi biasa gunakan otaknya untuk membuat suatu keputusan didalam lapangan. Buatlah suatu dialog sehingga terjawab masalahnya sendiri. Saya hanya melihat ada kecendrungan atlet takut terhadap pelatihnya. Dan jangan lupa setiap atlet tentunya beda juga treatmentnya.
Sepengetahuan saya, cara melatih ada 3 macam style yaitu Command Style dimana pelatih membuat keputusan2 sendiri. Ada yangdisebut juga Submissive Style (gaya pasif) dan terakhir Cooperative Style.
Kalau Command style, peran atlet hanya mendengar danberi respons terhadap poerintah pelatih. Kalau Submissive style, pelatih buat keputusan sangat minim. Pelatih yang gunakan cara ini dapat dikatakan kurang mampu memberikan instruksi dan bimbingan dan terlalu malas untuk penuhi tanggung jawab dalam melatih akibat dari sangat kurang informasi tetang cara melatih. Untuk Coorporate Style, dalam mengambil keputusan, pelatih berbgai dengan atlet.
Dari ketiga gaya ini, yang mana yang cocok diterapkan. Menurut pendapat saya, ketiga gaya bisa digunakan tergantung permasalahannya dan jika bisa mengkombinasikan ketiganya tentunya lebih baik. Tapi apakah bisa.? Tapi kalau hanya gunakan Submissive style saja, maka sudah tidak cocok . Sebaiknya jangan digunakan. Sedangkan Command Style sebenarnya dilakukan oleh pelatih pelatih lama. Bagi pelatih baru yang mantan petenis, akibat gaya ini digunakan oleh pelatih lama , tentunya akan menerpakna cara cara ini mengingat mengingat keberhasilannya sebagai atlet disebabkan gaya ini diterapkan oleh pelatihnya dulu kala. Dari luar kelihatannya gaya komando ini berhasil, tapi lupa kalau cara otoriter ini sangat melumpuhkan motivasi atlet, sehingga rasa FUN bermain tenis akan hilang sama sekali. Jaman sudah berubah demikian pula gaya melatih akan berubah. Bisa terjadi penolakan terutama oleh atlet muda ada kecendrungan meningkat.
Karena Command style memperlakukan atlet adalah robot, tidak mendidik atlet untuk berpikir. Andaikan tujuan Anda untuk Bantu atlet muda bertumbuh secara fisik, psikologi dan social melalui olahraga, begitu juga melatih atlet membuat keputusan sendiri, membuat atlet mandiri, maka Command Style sudah tidak cocok lagi.
Bagaimana dengan Cooporative Style? Intinya disini diciptakan 2 ways communications. Pelatih menghargai pendapat atlet. Ada yang berpikiran kalau cooperate style, pelatih meninggalkan tanggung jawab dengan membiarkan atlet melakukan kehendak sendiri. Ini pendapat yang keliru sekali, karena cooperative style pelatih tetap mempertahankan disiplin yang tinggi. Atlet belajar mengenal tujuan tujuan mereka sendiri dan tentunya harus berjuang mengejar tujuannya sendiri itu. Pelatih yang menggunakan Cooperative style harus bisa menerapkan secara individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar