Saat yunior berprestasi muncul kekuatiran Orangtua terhadap masa depannya, sering menghangtui masyarakat tenis umumnya. Kenapa demikian, karena harus dimaklumi saat itu pertenisan kita masih belum segiat saat ini.
Dikala jumlah turnamen tenis di Indonesia meningkat maka mulailah membuka mata atlet tenis terhadap salah satu profesi baru menunggu didepan mata. Apalagi menjelang Pekan Olahraga Nasional setiap Provinsi sibuk adakan Pekan Olahraga Provinsi (dulu dikenal dengan PORDA). sehingga peningkatan kegiatan bagi atlit tenis cukup signifikan dengan peningkatan income atau kocek atlit.
Harus dimaklumi kalau Olahraga itu adalah suatu pekerjaan seperti pekerjaan lainnya yaitu dokter, guru/dosen, pengacara, pilot, stewardes dan lain lainya. Sehingga jika seseorang telah memilih Olahraga merupakan pekerjaannya maka atlet tersebut akan menerima imbalan atau uang.
Banyak atlet tenis maupun mantan atlet yang sudah menikmati tenis sebagai satu profesinya. Jika sudah menjadi mantan petenis, maka kemana akan perginya. Dari pemantauan saya banyak yang beralih menjadi pelatih. Seperti Suharyadi, Sulistyono, Sri Utaminingsih, Tjahjono, Peter Susanto, Dede Suhendar, Meiske Handayani, Lita Soegiarto, Soegiarto Soetarjo, Andrean Raturandang, Eddy Kusdaryanto, Eny Sulistyowati dll. Kalau yang berkiprah diluar negeri seperti Benny Wijaya sekarang sebagai pelatih (ITF Level-3) di Hongkong yang menangani tenis yunior Hongkong. Kemudian Daniel Haryanto di Singapore bersama sama Stanley Sanger. Di Malaysia ada Marco Sitepu dll. Begitu juga dengan prestasi tenis bisa mendapatkan beasiswa di Luar Negeri untuk melanjutkan pelajaran di Universitas.
Dari pemantauan saya kira kira ada 10-15 Universitas di USA mencari petenis Indonesia untuk mendapatkan beasiswa.
Disamping itu pula ada satu profesi di pertenisan yang masih dilihat sebelah mata saja. Yaitu WASIT. Saat ini mantan petenis yang sudah terjun ke profesi wasit adalah Dewi Fortuna dan Eko Yuli. Keduanya semasa yunior sangat dikenal. Saat ini Dewi Fortuna sudah memasuki wasit internasional dengan brevet WHITE BADGE, sedangkan Eko Yuli yang semula menjadi wasit nasional di Balikpapan sekarang pindah ke Jambi. Banyak wasit internasional yang datang ke Indonesia, semula mereka itu wasit hanya jadi sambilan saja. Tapi sekarang sudah full time job. Contoh tahun 1990 saya mengenal Gary Au Yeung sebagai wasit dari Hongkong bekerja di perusahaan teknik , sekarang sudah jadi referee . Begitu juga wasit terbaik dari Australia yang pernah memimpin final Wimbledon Wayne McKewen datang pertama kali ke Indonesia saat Green Sand Satellite Circuit tahun 1990 masih sebagai wasit. Ini turnamen internasional pertama diluar Australia yang dipimpinnya. Sekarang sudah jadi wasit top Australia bahkan sebagai tutor officiating yang ditunjuk ITF.
Mau tahu berapa fee yang didapat sebagai wasit bronze badge untuk satu turnamen ( 5-7 hari) US$ 650-700 bersih belum termasuk board and lodging ditanggung penyelenggara. Hanya untuk menuju keposisi tersebut dibutuhkan perjuangan mulai dari white badge yang setiap tahun diwajibkan untuk memimpin minimal 25 pertandingan. Saya pernah bertanya kepada salah satu Referee asing yang bertugas keliling dunia. Dalam satu tahun dia hanya istrahat 5 minggu, bisa dibayangkan ada 47 minggu tugas x minimal US$ 850.00 – 1,000,00
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah ada petenis yang prestasinya mandek, mau terjun sebagai wasit. ? Disamping itu apa alasan sehingga tidak mau. Bisa travelling dihabitat yang sama yaitu tenis. Silahkan coba, asalkan bisa berbahasa Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar