Pembinaan tenis butuh waktu yang panjang untuk bisa menikmati hasilnya. Demikian pula prosesnya tidak kelihatan secara nyata selama ini. Tetapi turnamen bisa dilihat secara nyata adanya suatu kegiatan di satu tempat. Faktanya turnamen itu termasuk salah satu unsur di dalam pembinaan. Bukannya terpisah seperti dipikirkan selama ini.
Pemikiran selama ini selaku pembina tenis baik ditingkat klub atau induk organisasi tenis daerah maupun pusat, terfokuskan kepada peningkatan kwalitas atlet dan pelatih. Justru dilupakan adalah pemassalan atau menciptakan atlet-atlet baru.
Contoh positiF selama ini adalah apa yang dilakukan sejak tahun 1924 secara rutin adalah " Paas Tournooi" atau Turnamen Tenis Paskah dilakukan oleh sekumpulan masyarakat Kawanua di perantauan dengan label Maesa yang artinya " Bersatu". Muncullah atlet tenis berasal dari masyarakat Kawanua di perantauan, sebagai tulang punggung tim nasional Indonesia.
Siapa yang tidak kenal nama nama yang tidak asing didengar seperti Lita Soegiarto, Yolanda Soemarno, Lanny Kaligis, Samudra Sangitan, Jacky Wullur diikuti Donald Wailan Walalangi, Waya Walalangi, Aga Soemarno, Irawati Moerid, Solihati Moerid. Kemudian datang pula era Andrian Raturandang, Septi Mende, Christopher Rungkat, Jessy Rompies dalam membela nama Indonesia baik di multi event dan single event.
Sedangkan Maesa khususnya tenis sendiri tidak membina langsung, hanya fokus kepada turnamen turnamen yang rutin sejak tahun 1924. Walaupun sempat terputus oleh keadaan yang tidak memungkinkan seperti Perang Dunia dan sebagainya, tapi semangat itu masih ada sampai sekarang.
Turnamen itu ibarat "show room" baik untuk atlet, pelatih, klub maupun induk organisasi tenis tersebut. Tempat untuk menunjukkan hasil pembinaan atau memperlihatkan kegiatan yang nyata bagi klub maupun induk organisasi tenis itu sendiri. Ada berapa klub yang ada di Indonesia. Ini belum sampai tercatat, mungkin sudah pernah dilakukan tapi tidak pernah di expose sehingga tidak diketahui.
Sayangnya, sempat pula ada Turnamen Antarklub dilaksanakan di Jakarta tapi tidak berkelanjutan sehingga data klub tenis tidak terdeteksi. Tapi ada berapa induk organisasi tenis baik tingkat provinsi maupun kabupaten atau kotamadya so pasti bisa diketahui berdasarkan jumlah provinsi dan kabupaten/kotamadya. Tapi sempat pula diadakan di Jakarta turnamen antar provinsi. Sama nasibnya dengan turnamen antar klub tanpa kelanjutannya.
Begitu juga turnamen antarperguruan tinggi. Sempat terlaksana turnamen antarperguruan tinggi. Sayang tidak berlanjut sama nasibnya dengan turnamen antarklub. Begitu pula tenis sudah tidak tercatat sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS).
Kuncinya keberhasilan adalah rutinitas diselenggarakan
Turnamen diselenggarakan baik untuk kelompok junior sebagai bagian dari pemassalan, untuk kelompok umum yang biasa disebut dengan kelas prestasi bagi segelintir orang menamakannya, kemudian kelompok veteran (bukanlah kelas pejuang perang). Istilah veteran tidak digunakan ditingkat internasional tetapi istilah Seniors yang lebih tepat. Sejak dahulu kala sampai saat ini yang paling sering (bukan paling banyak) adalah turnamen veteran. Bahkan induk organisasi yang menangani kelompok veteran (mulai usia 30 tahun keatas) ada 2 organisasi sejak sekitar tahun 2014 lahirlah organisasi baru yang menangani turnamen veteran.
Justru organisasi baru menangani veteran lebih agresif menyelenggarakan turnamen tenis veteran.
Penghormatan Bendera Republik Indonesia diiringi Lagu Indonrsia Raya hanya terjadi sewaktu kunjungan Presiden Republik Indonesia ke manca negara dan juga terjadi ketika dalam upacara pemenang dimulti event maupun team event seperti Davis Cup dan Fed Cup. Jadi suatu kebanggaan jika terjadi hak itu.
Nah betapa pentingnya turnamen itu sendiri patut dipikirkan kembali baik oleh pemerintah maupun induk organisasi olahraga tenis maupun klub tenis itu sendiri.
Saat ini jika ditanyakan kepada atlet tenis baik junior maupun senior apa yang dibutuhkan mereka. Jawabannya apakah butuh raket, bola, atau pelatih tapi kenyataannya bukan itu jawaban mereka. Mayoritas jawabannya sama yaitu "tolong, beri kami turnamen".
Begitu polosnya jawaban diberikan mereka. Yang memprihatinkan sekali sejak terjun jadi petenis yang berkecimpung dalam turnamen nasional 1961, yang sampai saat ini masih terjadi khususnya petenis luar Jawa. Bayangkan sudah 60 tahun kenyataan itu masih terjadi.
Siapa yang peduli nasib mereka, kalau tidak dimulai dari diri sendiri. Karena hanya satu permintaan mereka adalah berikan turnamen baru bisa menuntut prestasi mereka Ibaratnya tanpa turnamen tidak akan bis
a nenuntut prestasi.
Yang lebih sedih kalau pemerintah menuntut prestasi tapi kenyataannya lapangan tenis lebih banyak kena gusur khususnya Ibukota Jakarta. ***
* August Ferry Raturandang – penggiat tenis dikutip dari www.suarakarya,co,kid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar