2 Oktober 2008. BERMAIN dengan kata-kata merupakan hal yang sangat mengasyikkan. Di Bali, produsen cinderamata Jogger dengan tegas menyebut dirinya sebagai pabrik kata-kata. Sedemikian rupa mereka bermain kata-kata sebagai hiasan barang-barang yang mereka jual. Hasilnya, luar biasa. Omset dari “pabrik kata-kata” itu bisa mencapai ratusan juta rupiah perbulan. Jumlah yang mencapai ratusan juta itu hanyalah “dampak” dari strategi yang dipilih sang enterpreneur. Strategi memanfaatkan “kata-kata” untuk mempengaruhi orang lain agar menjadi calon pembeli produk dari “pabrik kata-kata” tersebut. Untuk melihat kekuatan kata-kata, kita tak perlu merangkai banyak kata. Kata bisa menjadi sebuah “tombol on-off” untuk memulai atau menghentikan aktivitas. Ketika sebuah “kata” diucapkan, atau lebih tepat diteriakkan, dampaknya akan luar biasa. Di dunia militer, kata “siap” memiliki makna yang luar biasa. Sebuah jaminan bahwa apa yang diperintahkan bakal dilaksanakan.
Nah, pernahkah terpikir oleh Anda, bagaimana ihwal orang memaknai kata-kata? Jikalau pun terpikir, tentulah akan menemui “pintu gerbang” sebuah lorong waktu yang jaraknya barangkali sejauh perjalanan dan sejarah umat manusia. Entah sudah berapa juta tahun, yang pasti saat kita lahir, kata-kata itu sudah ada lengkap dengan maknanya.
Di kalangan sastrawan, satu kata bisa diibaratkan memiliki seribu makna. Memungkinkan, karena dunia mereka memungkinkan pembiasan makna. Hanya untuk mengungkapkan “aku cinta kamu” saja membutuhkan beberapa bait kalimat, karena ungkapan itu dibuat dalam bentuk puisi.
Di kalangan pelaku marketing pemilihan kata menjadi penting, karena kesalahan memilih kata bisa memunculkan tanda tanya. Bagi penjual, pemahaman kata-kata tak kalah penting. Jika salah menuliskan angka, dampaknya juga bisa tidak terkira. Bayangkan jika “seratus juta saja”, disebut “seratus ribu saja”.
Di dunia olahraga, kita juga sering mendengar ungkapan yang bisa bermakna luar biasa. Hanya dengan teriakan, “Kamu bisa!”, “Tenang, menang!” atau kata-kata lain yang mempunyai makna sugestif. Sebaliknya, hanya dengan dua kata pula, f*** you, misalnya, seorang atlet bisa diusir dari lapangan. Keluar sebagai pecundang.
Tak jarang, dalam sebuah pertandingan tenis, kita acap mendengar kata-kata diteriakkan oleh kapten atau ofisial untuk menyemangati pemainnya. Bahkan, teriakan itu bukan saja dari ofisial, pelatih atau suporter, namun juga oleh petenis itu sendiri, sebagai tanda bahwa dia masih “on fire”.
Di dunia hukum (pidana), kata-kata menjadi palu godam untuk nasib dari seseorang. Seseorang bisa berubah status hanya dengan satu kata. “Tersangka”, “terdakwa”, dan “terpidana”.
Jika orang boleh main dengan kata-kata, sebagaimana pemilik Jogger di Bali, maka tidak demikian di dunia dagang, olahraga, apalagi hukum. Tak jarang kita melihat seorang atlet dengan entengnya mengatakan “Saya maunya profesional, jika ada yang mau minta main PON”. Demikian dangkalnya memaknai kata profesional.
Profesional tidak selalu bernilai uang, tetapi berkaitan dengan sikap pada pilihan peran yang diambil. Ketika seseorang memutuskan menjadi petenis, pelatih, pengurus, atau pembina, maka masing-masing memiliki konsekuensi sesuai dengan peran yang dipilihnya.
Ketika kata-kata sudah termaknai, maka “kata” akan menjadi hukum yang tak lagi bisa dengan mudah dirubah. Hanya mereka yang mampu memahami makna serta kekuatan kata yang mampu melakukannya. Namun, hanya mereka yang memiliki kemampuan itu pula yang bisa mengetahui jika ada susunan kata-kata yang berubah dari sebuah aturan. Persoalannya, seberapa banyak para pelaku tenis concern pada aturan dan punya komitmen untuk mematuhinya? *** Oleh: Amin Pujanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar