Senin, 15 Juni 2009
Jawaban yang menyakitkan
Jakarta, 15 Juni 2009. "Kalau saya mau berikan kepada petenis ondel ondel, itu hak saya." demikianlah akan terdengar jawaban kurang bijaksana tetapi sah sah saja, dimana yang ditanya merasa terpojok dengan desakan desakan permintaan langsung wild card kepadanya selaku Direktur Turnamen. Apalagi kalau yang bertanya juga kurang bijak alias tidak tahu diri membuat yang ditanya lepaskan senjata pamungkasnya agar yang bertanya diam. Kalau kita mendapatkan jawaban seperti ini tentunya sangat menyakitkan hati. Apalagi kalau kita ini sangat serius bukan ambisius untuk mendapatkan jatah wild card tersebut. Kecuali diri kita ini seperti "badak" istilah kerennya. Tapi ada juga yang begitu di sekitar lapangan /turnamen tenis, maklum saja.
Berbagai pendapat soal kebutuhan wild card khususnya untuk petenis yunior. Ada yang mengatakan lebih baik putranya itu masuk kualifikasi daripada dapat wild card babak utama kemudian kalah 60 60. Tetapi ada yang mengatakan lebih baik minta wild card agar jalannya lebih mudah tidak perlu terlalu capek dari babak kualifikasi. Dua pendapat tentunya sah sah saja, tergantung dari kepiawian atletnya juga. Kalau disebut ondel ondel terus minta wild card babak utama itu namanya kebangetan juga. Karena menutup pintu bagi yang lebih berprestasi. So pasti orangtua akan marah kalau putranya dianggap pemain ondel ondel. Begitulah berbagai istilah yang muncul dipertenisan yang tercinta ini, sehingga muncul segala intrik intrik. Apalagi jika istilah ini dikeluarkan oleh pejabat induk organisasi, dianggap tidak etis. Begitulah berbagai komentar akan muncul disekitar kita.
Memang saya akui, menjelang suatu turnamen selalu disibukkan dengan permintaan wild card tersebut. Bukan hanya petenis Indonesia tetapi banyak juga dari luar negeri. Hanya berbeda cara permintaannya. Kalau petenis asing itu terlihat jelas keseriusannya mendapatkan wild card. Bahkan sampai menelpon langsung minta wild card.
Bayangkan berapa beaya yang dikeluarkan dengan menelpon langsung. Sedangkan petenis Indonesia "jarang" bahkan leboh kepada tidak pernah minta sendiri, tetapi yang ngotot justru orangtua dan juga pelatihnya. Seharusnya dirubah pola berpikir atlet kita,jangan biasakan mereka kurang mandiri. Dari yunior sudah harus diajarkan hak dan kewajibannya. Begitu juga soal "ngotot", lebih pintar orangtua atau pelatihnya. Ini harus dibalik. Anjuran saya agar orangtua dan pelatih, jadilah penonton yang baik. Enteng 'kan
Yang saya anggap aneh, kalau ada pendapat wild card itu wajib hukumnya diberikan kepada petenis tuan rumah, tanpa melihat latar belakang pemberiannya. Aneh ? Ya jelas karena ada latar belakangnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar