Jakarta, 14 Juni 2009. Pelti sebaiknya adakan turnamen dengan hadiah Rp 1 milyar. Begitulah yang disampaikan oleh Wiriatmaja salah satu orang tua petenis dari KTC Jakarta kepada saya disaksikan juga oleh Freddy dari Cirebon dilapangan tenis Velodrom Rawamangun disela sela Turnamen Thamrin Cup yang mempertandingkan KU 12 tahun. Maksudnya beri kesempatan kepada petenis senior mendapatkan uang yang cukup besar sehingga mereka bisa merasakan hidup dari tenis. Begitu mendengar maksudnya langsung saya sampaikan kalau idea itu baik sekali, tetapi tanpa disadari dampak yang terjadi.
Sebagai contoh sayapun sampaikan di tahun 2008, Sportama menyadari melalui pendirinya Glen Sugita yang melihat petenis senior kurang latihan karena tidak adanya turnamen kelompok umum. Saat itu Pelti sedang konsentrasi ke kelompok yunior. Bisa dibayangkan dalam setahun ada banyak turnamen dengan hadiah sebesar Rp. 150 juta setiap turnamen dan diakhiri diakhir tahun seri masters dengan hadiah Rp. 500 juta. Tetapi yang tanpa disadari, justru tidak memacu atlet senior ikuti turnamen internasional. Keinginan sebenarnya agar atlet tenis bisa mengatasi masalah dana sehingga bisa berprestasi ketingkat internasional yang dikenalnya banyak butuhkan dana. Diakuinya kalau mau mendunia harus juga berani ikuti turnamen internasional baik didalam negeri maupun luar negeri. Tapi ternyata impian sebelumnya sudah berbalik dengan kenyataannya.
" Boro boro ikuti turnamen diluar negeri, turnamen internasional didalam negeri tidak mau ikut . Kenapa ? Karena setelah dihitung hitung untung rugi materialnya lebih baik tunggu saja turnamen Sportama atau tarkam (antar kampung)." ujar saya kepadanya sehingga terlihat kaget dengan ungkapan tersebut.
Kejadiannya waktu itu ada turnamen Salonpas Internasional ($ 10,000)di Manado dimana 2 minggu kemudian ada Turnamen Sportama. Kalau ikut internasional hanya masuk kualifikasi, tidak dapat duit , belum lagi beaya tiket Jakarta ke Manado dan entry fee US$ 30.00 dan IPIN $ 40.00. Belum main aja sudah harus keluarkan dana minimal Rp. 3 juta untuk tiket plus $ 70.00. Andaikan dapat wild card babak utama, kalah dibabak pertama cuma dapat duit sekitar $ 100.00.
Jadi saat ini diotak petenis tuan rumah adalah bukan mengejar prestasi tetapi uang yang didapat bukan dengan kejar peringkat internasional. Kalau peringkat dunianya naik maka akan nikmati uang dolar bukan rupiah, dengan perjuangan yang cukup berat.
"Mau tahu, saya waktu di Ternate Nopember 2008 dengar ada turnamen antar Pelti Kota/Kabupaten yang bertanding disalah satu kabupaten yang dari Ternate harus naik speed boat. Yang main adalah petenis Jakarta (sekitar 4-5 atlet senior). Belum lagi ada PORDA di Sultra atau Papua, yang main anak anak Jakarta juga. Gimana tidak enak karena pulang ke Jakarta minimal sudah bawa uang Rp 5-10 juta." Ironisnya tenis Indonesia.
Menurut saya sendiri jika ada uang Rp. 1 milyar sebaiknya dibuat turnamen dengan hadiah Rp. 30 juta dibeberapa puluh kota diseluruh Indonesia. Ini beri kesempatan putra putra daerah bisa berkembang, bukan milik petenis di Jawa saja. Saya langsung katakan sekarang tenis sudah mulai bergerak di Aceh, Padang, Pekanbaru, Balikpapan dan lain lain. Andaikan setiap pulau besar seperti Sumatra,Kalimantan dan Sulawesi digerakkan lagi turnamen tenisnya maka tentunya tenis Indonesia akan maju pesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar