Jakarta, 28 November 2010. Kegiatan PORPROV (Pekan Olahraga Provinsi) Kalimantan Selatan sedang berlangsung dengan tenang berbeda dengan SMS yang saya terima dari salah satu orangtua petenis asal Banjarmasin, yang jelas jelas sangat kecewa dengan turutnya atlet atet dari Jawa Tengah ke PORPROV Kalsel. Bahkan lebih sadis meminta agar Pengcab Pelti dibubarkan saja, suruh mereka kumpul uang untuk beli atlet dari luar.
Kalau tahun tahun sebelumnya dimana tidak dicantumkan pembatsan usia peserta PON (Pekan Olahraga Nasional) kasus seperti ini juga terjadi dimana dalam satu tahun ada atlet dari Jawa yang ikut bisa di 2-3 Porda (Pekan Olahraga Daerah). Ini berlangsung aman aman saja karena saya tidak terima SMS sebagai bentuk kekecewaan atlet daerah atas ulah mereka ini.
Kali ini dengan adanya ketentuan pembatasan usia untuk peserta PON maka memberikan peluang kepada daerah mulai membina atletnya sendiri karena masih ada waktu menghadapi PON tahun 2012.
Tetapi keinginan ini jadi hancur akibat dari kejelian pembina tenis sendiri terutama pelatih (mayoritas) yang saya lihat bisa merayu kepada orangtua atlet yunior. Bagi orangtua yang sangat butuh uang (semua orang butuh uang) tawaran ini merupakan rejeki tersendiri langsung menerima atau bahkan mencari peluang yang ada.
Nah, timbullah keluhan yang banyak juga menyalahkan induk organisasi tenis alias Pelti khususnya Pelti Pusat. Saya sendiri mencoba berdiskusi dengan pelaku pelaku tenis mengenai masalah ini. Bagaimana caranya sehingga kasus ini sedikit dihambat, begitulah awalnya karena ada kesulitan untuk ikut campur. Karena ibaratnya orang mau pindah (yang wajar) rumah dari satu alamat kealamat lainnya tidak ada yang bisa menahannya. Asalkan semua ikuti aturannya, seperti melaporkan ke RT,RW,Kelurahan, Kecamatan dan akhirnya ke Walikota dstnya.
Timbul pertanyaan apakah wajar orang pindah pindah dalam setahun bisa tiga kali? Pertanyaan ini muncul karena melihat di pertenisan ada petenisdalam satu tahun bisa ikuti 2-3 PORDA(PORPROV).
Saya hanya bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan katakan wajar wajar saja, karena berbagai pertimbangannya sendiri sendiri.
Nah, sebenarnya kita bisa menghambat cara demikian. Yaitu membuat peraturan yang ketat dengan tujuan untuk prestasi bukan prestise. Yang membuat aturan adalah pemilik event tersebut. Disini yang punya event adalah KONI Provinsi. Dimana peranan induk organisasi tenis yaitu Pelti. Yaitu peraturan tenis dibuat oleh Pelti, aturan tentang pertandinganya bukan persyaratan pesertanya. Nah kalau saya telusuri disini yang digunakan adalah dasarnya adalah asas domisili dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Yang lain tidak ada. Kalau di Porprov Kalsel ada dibuat aturan Mutas atau perpindahan atlet seperti PON saja. Hanya bedanya tidak disebutkan batas waktu untuk perpindahan atlet seperti di PON ada aturan mutasi dibatasi dengan ketentuan batas waktunya adalah 1,5 tahun. Andiakan semua PORPROV menggunakan aturan mutasinya adalah batas waktu 1-1,5 tahun maka sulit akan bisa terjadi dalam setahu ada atlet bisa ikuti 2-3 PORPROV.
Sepengetahua saya tujuan PORPROV adalah sebagai persiapan menghadapi PON (Pekan Olahraga asional). Bahkan ada yang menghendaki pemenang PORPROV akan ditunjuk sebagai peserta PON mewakili Provinsi tersebut. Nah gimana jadinya jika atlet yang bisa ikuti 2-3 PORPROV keluar sebagai juara atau pemenang disetiap PORPROV, apakah mungkin mewakili PON atas nama 2-3 Provinsi. Ini yang tidak diinginkan dan tidak mungkin terjadi. Tetapi apakah pengurur tenis diKabupaten ataupun Kotamadya akan peduli akan hal ini. Karena yang penting bisa mengangkat nama Kabupaten atau Kotamadya didalam PORPROV tersebut sebagai bentuk pertanggung jawabannya terhadap dana yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar