Minggu, 06 Desember 2009
Tingkat Kesulitan Selenggarakan Turnamen Yunior (LANJUTAN)
Jakarta, 6 Desember 2009. Marilah kita sama sama memperbaiki kinerja didalam pelaksanaan suatu turnamen nasional khususnya yunior.Karena pelaksanaan turnamen yunior rawan protes dari orangtua/pelatih. Saya menyadari sekarang saatnya jumlah peserta tidak seperti beberapa puluh tahun silam. Bisa dibayangkan jumlah peserta terbanyak didapat oleh Peserta Piala Thamrin (1.600 peserta) di Jakarta yang hanya dikenal sebagai turnamen nasional . Beda dengan sekarang sudah jadi internasional tetapi pesertanya jauh sekitar maksimum 600 peserta dan akhir akhir ini turu drastis ke sekitar 300.
Pemilihan waktu disaat liburan sekolah, masih kurangnya turnamen nasional yunior ( baru ada Piala Thamrin, Piala Siliwangi, Piala FIKS, Piala Tugu Muda, Piala Gajayana Malang sebagai penyebabnya membludak peserta waktu itu.
Sekarang jangan harapkan lagi bisa seperti dulu, apakah jumlah popuasi tenis yunior berkurang ? Menurut saya tidak juga. Tetapi karena turnamn nasional sudah lebih banyak dan juga liburan sekolah tidak berbarengan lagi seperi dulu.
Saya mencoba melihat kinerja petugas pertandingan yang dikenal sebagai REFEREE, karena banyak kekurangannya yang harus diperbaiki. Induk organisasi Pelti menyadari akan kebutuhan Referee tersebut sehingga diberi prioritas pertama kepada Wasit internasional yang dimiliki Pelti yang tercatat Slamet Widodo, Achyar Matra, Eka Rahmat, Riyat A, Dewi Fortuna, Zaenuddin, Petrus Widhianto, Herta , Gandes, Sonny Irawan, Wariman, Dedy Adhi Nugroho, Muh Maimun Masri Z dan Mustafa M yang tidak aktip sebagai wasit lagi.
Disamping mereka ini ada lagi wasit nasional yang sudah menjalankan profesi Referee TDP Nasional seperti Sukardi (Kumis), Irianto Rompas, Eka Supriyatna, Parjan. Sebenarnya ada satu lagi yang sudah dicoba sebagai Referee yaitu Firdaus tetapi karena tidak aktip sebagai wasit nasional maka kesempatan ini tidak dimanfaatkan.
Saya melihat ketidak puasan dari kerja masing masing Referee ini. Saya memaklumi sekali mereka itu otodidak alias belajar sendiri menjadi Referee. Sedangkan Pelti tidak memberikan pengarahan, karena petugas yang bertanggung jawab juga belajar sendiri. Ini yang harus diperbaiki kedepan.
Dari pengamatan saya selama ini, ada kemajuan di rekan rekan wasit ini yaitu sudah mengenal KOMPUTER atau LAPTOP, sehingga memudahkan kerja mereka. Tetapi belum semua rekan ini mempunyai atau mengenal akan komputer tersebut. Saya sendiri merasakan manfaat penggunaan omputer didalam menjalankan turnamen.
Ada yang saya perhatikan belum bisa kerja sendiri sehingga konsentrasinya sering terganggu dilapangan. Ada yang mau belajar dan ada yang tidak peduli.
Sebenarnya ITF sudah membuat sistem yang membantu kerja Referee tetapi belum sepenuhnya dijalankan rekan rekan ini. Penunjang kerja Referee sudah ada, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana menghadap pertanyaan pertanyaan dan bisa menjawab dengan bijaksana. Saya teringat hal seperti ini juga terjadi di Rumah sakit. Bagi perawat ataupun dokter keluhan dari pasien itu sudah biasa dan bisa dianggap bukan hal yang urgent. Karena sudah biasa sehingga kurang memberikan atensi untuk memperbaiki pelayanannya dengan akibat ketidak puasan saja .
Nah, saya hanya bisa menghimbau atas kinerja Referee ini segera diperbaiki, karena sampai saat ini saya masih terima keluhan dari pelaksana TDP sehingga menganjurkan agar Referee tertentu tidak ditugaskan ke TDP tersebut. Yang rutin setiap pelaksanaan TDP Nasional Yunior, keluhan datang dari orangtua petenis yang juga belum tentu kebenarannya karena orangtua lebih memikirkan kepentingan putranya sendiri dibandingkan Referee untuk kepentingan seluruh peserta, sponsor, penonton tersebut.
Masalah ketidak puasan penyelenggara sehingga bisa merekomendasikan agar Referee tersebut tidak bertugas di TDP tersebut. Kalau beberapa puluh tahun lalu sudah pernah saya menerima masukan seperti ini.
Untuk sementara, ada Referee yang lebih mementingkan haknya dibandingkan kewajibannya. Dari cara kerja selama ini saya sudah mulai mengantongi beberapa nama yang belum layak dan perlu dididik kembali sebagai Referee. Saya pernah 5 tahun silam menerima email dari salah satu rekan wasit internasional yang minta perhatian PP Pelti agar haknya yang lebih layak, dan saya apresiasi sekali pertanyaan tersebut dan saya hanya beritahukan kalau Pelti berani bayar seperti wasit asing asalkan kerjanya juga sama seperti wasit asing.
Saya pernah iseng check on the spot, di Bandung. waktu itu Sabtu dimana dalam factsheenya dikatakan jadwal sign-in dibuka pukul 16.00-18.00.
Saya tiba lebih awal, ternyata Refereenya tidak terlihat di tempat. Referee wajib hadir minimal sejam dan selama waktu sign-in, dan tidak keluar tempat tersebut apalagi urusan keluarga ?. Tapi ada juga selama turnamen Referee tidak ditempat, entah kemana dan lucunya Direktur Turnamen tidak tahu keberadaaanya.
Ketika saya tanyakan ke petugas pertandingan (tournament desk) mendapat jawaban Referee tsb(dari luar kota) sudah datang dari pagi ( ? ) tapi ada urusan keluarga keluar sebentar. Saya menilai jawaban ini tidak jujur, karena rekan rekannya ini mau menutupi kesalahan tersebut. Jika saya bandingkan dengan Referee asing. Tiba paling lambat pada hari dan beberapa jam sebelum sign-in dan biasanya sehari sebelumnya. Apa yang mereka lakukan ? Apakah pergi shopping atau jalan jalan dulu mengitar kota. Tidak. Bahkan ada yang langsung ke lapangan melihat kondisi lapangan, walaupun sudah sering datang ke lapangan tersebut. Ini tugas rutin sebelum turnamen.
Referee yang persiapkan segala kebutuhan sign-in bukan petugas meja dari panitia, semua bahan sudah ada ditangan Referee sehingga bisa langsung laksanakan persiapan sign-in, bukan sebaliknya. Ini lebih ke kerja gotong royong sehingga wajar saja honornya juga gotong royong.
"Bagaimana mau memberikan haknya yang layak kalau tidak diimbangi dengan kerjanya yang prima."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar