Jakarta, 6 Desember 2009. Banyak masukan selama ini datang dari orangtua petenis. Masukan berupa keluhan terhadap pelaksana Turnamen yunior. Beberapa hari lalu saya masih terima keluhan dari orangtua yang kecewa dengan salah satu turnamen nasional di Bandung yang diselengarakan di tahun 2008. Saya menyadari sekali tidak mudah selenggarakan turnamen yunior. Banyak campur tangan orangtua didalam pelaksanaannya akibat ketidak puasannya terhadap pelaksanaan turnamen. tetapi ada yang betul betul dengan tujuan yang konstruktip, tetapi ada juga yang punya tujuan lain.
Saya melihat tingkat kesulitan pelaksanaan turnamen yunior lebih besar dibandingkan dengan turnamen kelompok umum atau senior. Kenapa demikian, karena kelomp yunior itu mempetandingkan banyak event, selain tunggal dan ganda juga ada kelompok umur 10 tahun, 12 tahun, 14 tahun dan 16 tahun. Bahkan ada juga yang selenggarakan kelompok umur 18 tahun. Kalau kelompok umum atau diatas 18 tahun, maka yang dipertandingkan hanya tunggal dan ganda putra dan putri, berarti maksmal 4 event saja.
Nah kalah yunior ada 16 event. Berapa lapangan yang digunakan ? Ini awal dari keluhan tersebut jika tanpa perencanaan yang rapi sekalipun. Ini tugas dari Direktur Turnamen untuk merencanakan seluruh pertandingan dan akan dikordinasikan dan dijalankan oleh petugas Referee berdasarkan kebutuhan lapangan pertandingan.
Yang harus dipikirkan adalah jumlah peserta. Sebagai pelaksana ada kebanggaan jika pesertanya membludak, tetapi lupa akan tugas perencanaan yang lebih rapi sehingga memuaskan peserta. Saya teringat akan tugas penyelenggara adalah memikirkan kepentingan pemain, kepentingan sponsor dan kepentingan penonton.
Makin banyak peserta maka harus dipikirkan yang pertama kepentingan peserta. Pengaturan jadwal, lapangan dan segala kebutuhan yang mengacu kepada kemudahan peserta mencapai pertandingannya sendiri.
Saya teringat sewaktu pertama kali selengarakan turnamen Thamrin Cup (lupa waktu yg tepat antara th 1994-1996) di Pusat Tenis Kemayoran. Menyadari hal2 seperti diatas, masalah lapangan bukan masalah karena dalam satu lokasi ada 20 (dua puluh) lapangan tenis. Kemudian masalah petugas pertandingan yaitu REFEREE maupun tenaga WASIT, sayapun membagi menjadi KU 10 dan 12 th memiliki 1 (satu) Referee, KU 14 dan 16 th memiliki 1 (sat) Referee, dan lapangan pu dibagi sehingga setiap referee leluasa menggunakan lapangan sesuai dengan jadwalnya dan jumlah pesertanya. Tetapi ini tentunya sangat high cost, sehingga saat ini digunakan 1 (satu) Referee dan satu tambahan asisten Referee dimana tanggung jawab sepenuhnya ditangan Referee. Ini juga masih memberatkan penyelenggara. Tetapi menurut saya high cost bukan terletak disisi tenaga pelaksana turnamen seperti Referee tetapi kalau disadari banyak cost timbul karena hal hal diluar pertandingan seperti tenaga Panpel. Mengenai tenaga panpel, saya pernah terima keluhan dari salah satu rekan diluar Jakarta, kalau selama ini rekan2nya ingin dilibatkan dalam kepanitian tetapi do nothing. Sehingga rekan saya itu sangat senang kalau saya datang ikut didalam pelaksanaan sehingga bisa lebih tenang atau relax.
Keberadaan sponsor seharusnya dipikirkan kepentingan sponsor seperti keberhasilan pelaksanaan dimana kepuasan peserta dinomer satukan dulu bukan kepentingan panitia.
Saya pertama kali memegang tanggung jawab turnamen di PB Pelti selaku Manager Program Pertandingan (1989-191). melihat turnamen nasional yunior diuar Jakarta sepeti di Malang ( 2 lokasi), Bandung ( 3-4 lokasi), Semarang ( 6-7 lokasi), Solo ( 1-3 lokasi ), saat itu sudah ingin tidak merekomendasikan turnamen di Semarang karena ada 6-7 lokasi. Saya sendiri waktu itu mengiring 2 anak sendiri dengan membawa kendaraan sendiri alami kesulitan dengan pengaturan lokasi tersebut. Tetapi disaat itu sementara saya abaikan dulu masalah KUALITAS, karena maih mengejar KUANTITAS.
Saya sebenarnya ingin membuka mata pelaksana turnamen bukannya mau mengritik saja tetapi marilah sama sama mengatasi tingkat kesulitannya. Karena jika duduk didalam pelaksana maka sulit melihat kekuragannya. Hanya bisa dilakukan jika duduk diluar.
Jika gunakan satu lokasi seperti di Jakarta, Lap Gelora Bung Karno ( 12 lap gravel, 8 lap keras), Pusat Tenis kemayoran ( 10 lap outdoor, 10 lap indor), lap tenis Hotel Sultan ( 13 lap outdoor), maka tingkat kesulitannya paling rendah. Makin banya lokasi maka tingkat kesulitannya makin tinggi. Sehingga dibutuhkan perencanaan yang lebih matang. Tidak semua pelaksana turnamen yang sudah berpengalaman menyadari hal seperti ini. Buktinya setiap tahun selalu ada saja keluhan yang sama dan tidak ada perubahannya.
Saya sendiri pernah terjun pertama kali di TDP Internasional Oneject Indonesia di Bandung, yang menggantikan posisi sponsor Piala siliwangi. Bisa dibayangkan lapangannya yang biasa digunakan adalah lap Taman Maluku ( 4 lap) dan Siliwangi ( 4 outdoor, 4 indoor) tidak bia digunakan karena digunakan POR Angkatan Darat. Akhirnya dipilihlah lokasi lapangan UPI ( 6 lap), Setiabudi ( 4 lap ) dan cadangan Eldorado. Ini dikonsentrasikan untuk KU 18 tahun, 16 tahun dan 14 tahun. Jadi 3 lokasi yang terletak dalam satu jalan panjang ke arah Lembang bukan masalah bagi pemain,. Tetapi saat itu saya mengusulkan diadakan juga KU 10 tahun dan 12 tahun. Sehingga saya usul digunakan di Lap Caringin ( 6 lap outdoor) yang letaknya jauh bagi peserta termasuk warga BANDUNG sendiri. Terbaginya jadi 4 lokasi juga kesulitannya tetap ada. Tetapi masih lebih baik dibandingkan jika gunakan sampai 7-10 lokasi seperti dalam promosi turnamen di Bandung diakhir tahun ini. Apakah sudah dipikirkan tingkat kesulitannya ? Bagaimana mengatur dan koordinasi, komunikasi antar lapangan dll.
Saya mengajak agar bersama sama memikirkan cara terbaik sehingga tidak menyusahkan peserta, karena turnamen belum dimulai tetapi keluhan sudah muncul kepada saya sendiri dalam seminggu ini.(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar