Jakarta, 26 Desember 2018. Bagaimana hasil pembinaan tenis di Indonesia? Demikian muncul pertanyaan sehari hari, baik datang dari rekan2 lama maupun dalam diri sendiri. Memang suatu mimpi yang indah jikalau bisa ikut aktip langsung dalam pembinaan tenis di Indonesia. Bukan berarti harus duduk dalam organisasi tenis yaitu Pelti tetapi sebagai masyarakat tenis diluar oragnisasi tentunya bisa berbuat sesuatu karena tenis adalah olahraga individu.
Masalah saat ini adalah mindset pelaku tenis yang harus diubah karena sudah terlalu cepat puas dan juga berkeinginan semuanya instant. Hal yang tidak mungkin suatu pembinaan olahraga khususnya tenis serba instant.
Terlalu cepat puas untuk mendapatkan hasil. Khususnya jika mengharapkan dana yang sudah dikeluarkan segera dikembalikan sebagai imbal baliknya. Bisa dilihat jikalau ada multi event maka pelaku tenis berlomba lomba baik itu pelatih maupu orangtua atlet, untuk bisa mendapatkan penawaran tertinggi. Ini katanya sebagai imbal balik pembinaan yang sangat butuh modal dana besar. Tetapi apa lacur sudah ketika sudah mendapatkan bonus hasil dalam multi event yang jumlahnya ratusan juta rupiah maka hilang sudah program pembinaan yang selama ini didengung dengungkan kesulitan dana. Seharusnya dana yang didapat sebagai modal investasi pembinaan kedepan. Tetapi harus dimaklumi karena atlet tidak bisa berpikir sebagai manager bagi dirinya dalam pengelolaan dana yang didapat.
Jika berkeinginan tenis sebagai karier maka mindset sanga atlet juga perlu diubah. Konsentrasi dalam turnamen Po Circuit dimana ada prize moneynya maka turnamen itu ladang pencari nafkah.
Disinilah letak permasalahan sebenarnya. Jika sudah merupakan ' Goals" dari setiap atlet melalui orangtua maupun pelatihnya dimana seharusnya diubah menjadi Go International agar bisa menjadi atlet elite alias internasional.
Coba dilihat perjalanan tenis Indonesia, hanya Yayuk Basuki yang bisa mencapai 25 besar dunia. Sedangkan yang lainnya seperti Angelique Widjaja (juara Wimbledon Junior) hanya masuk 100 besar begitu juga rekan lainnya Wyne Prakusya. Baru ditahun 2018 Christopher Rungkat mencapai kedalam 100 besar peringkat dunia ganda bukan tunggalnya.
Sangat parah kondisi atlet putra Indonesia. Keikut sertaan dalam turnamen internasional diluar negeri sangatlah minim.
Sangat prihatin kalau dilihat berapa jumlah atlet junior Indonesia mulai usia 14 tahun keatas yang memiliki ITF Junior Rank. Mereka ini sudah waktunya mengejar turnamen diluar negeri.
Nah, mimpi selanjutnya adalah lebih baik kirim 2-4 atlet keluar negeri seperti ke kampus tenis di Australia yang dikenal seperti Pat Cash Academy, maupun Tony Roche seperti dialami oleh Suwandi dan Andrian Raturandang. Kirimlah mereka kesana selama setahun minimal. Kenapa ke Australia bukan ke Eropa atau Amerika. Karena Australia letaknya lebih dekat dibandingkan Eropa dan Amerika.
Bisa juga lebih hemat yaitu dibuat pemusatan latihan seperti program PB Pelti era Moerdiono yaitu Modul 4 artinya setiap 4 atlet dibawah 1 pelatih. Dihidupkan kembali klub klub tenis prestasi dengan turnamennya.
Dipilihlah atlet2 berprestasi bukan hanya lihat PNPnya saja tetapi dilihat pola bermainnya. Talent scouting disetiap turnamen harus dilakukan. Kita bisa pilih beberapa atlet putra dan putri .
Kelemahan selama ini adalah lemahnya disiplin baik itu atlet juga dari pelatih sendiri. Jika pelatih tidak disiplin tentunya berpengarush kepada atletnya juga.
Pelatih dibayar atau dapat honor memadai sehingga bisa konsentrasi kepada 4 atlet tersbut. Kalau sudah berjalan suatu saat atlet2 tersbut harus memiliki satu pelatih sendiri sebagai atlet profesional.
Banyak pelatih baik tingkat daerah maupun nasional tidak bisa konsentrasi kepada atletnya, karena memiliki lebih dari 4 atlet yang kelasnya sangat berbeda beda. Tidak bisa konsentrasi karena juga memikirkan bagi atlet2 pemula karena baru masuk campnya. Disinilah kendala dari setiap pelatih yang ada.
Ya, kalau mimpi ini sudah bisa berjalan , sebagai bentuk terobosan pembinaan masa depan. Sekarang masalahnya adalah dari mana dapatkan dana untuk membeayai pembinaan seperti ini. Kenapa tidak dicoba karena jika tidak ada perubahan maka pembinaan tenis di Indonesia akan berjalan lamban.
Kenapa tidak dicoba, walaupun hanya mimpi saja. (Foto Peserta RemajaTenis Sumsel di Palembang dan di Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar