Jakarta, 23 Juli 2015. Beberapa permasalahan yang mengganjel perkembangan tenis di Indonesia perlu ditelaah dengan baik.Tanpa suatu perencanaan maupun pelaksanaan yang cermat maka hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Disatu sisi tanggung jawab induk orgnisasi tenis di Indonesia belum bisa menjamin kelancaran seluruh program pembinaan baik yang telah diperkenalkan oleh International Tennis Federation (ITF) yang berdasarkan riset bertahun tahun untuk mengembangkan tenis diseluruh dunia. Diperlukan juga kepedulian masyarakat tenis sendiri terhadap pembinaan tenis keseluruhannya.
Disisi lain masyarakat tenis menghendaki agar tenis Indonesia bisa mendunia seperti yang pernah terjadi ditahun sebelumnya.
Diera pemimpin negara saat ini sudah mencetuskan kepada anggota kabinetnya adalah slogan Kerja Kerja Kerja, sehingga penerapannya juga bisa berlangsung didunia olahraga masa kini. Revolusi mental, sepenuhnya juga berlaku didunia olahraga umumnya, tenis khususnya untuk bisa merubah paradigma selama ini yang menghambat pembinaan olahraga sendiri.
.
Harus diakui jika Pelti saat ini mengabaikan salah satu fundamen tenis yaitu grass root development karena berbagai masalah yaitu kesulitan menghimpun dana dan waktu yang singkat masa kepemimpinan dalam satu periode sekitar 5 tahun sehingga kekuatiran program tersebut tidak bisa berjalan seperti yang dikehendaki. Kelemahan pimpinan induk organisasi olahraga di Indonesia adalah inkonsistennya program jika terjadi pergantian kabinet induk organisasi. Ini terjadi hampir diseluruh induk orgnisasi olahraga.
Seperti didunia pendidikan, dipertenisan Indonesia sangat diperlukan adalah kualitas pelatih yang ada saat ini belum ada perkembangan yang meningkat karena minimnya sarana pendidikannya sehingga muncullah otodidak lebih menonjol dibandingkan melalui jalan pendidikan sebagaimana lazimnya.
Paham atau tidak paham saat ini jika dikatakan kalau juara itu bukan lagi dilahirkan tetapi dibuat sedemikian rupa berdasarkan Ilmu pengetahuan dan teknolagi atau dikenal dengan IPTEK
Dalam paparan oleh Ketua Umum PP Pelti ( 2012-2017) , disaat hendak menjual program turnamen terungkap sudah kalau program PP Pelti hanya difokuskan kepada Pulau Jawa. Dari 40 turnamen yang direncanakan untuk dicarikan sponsor ditahun 2014, ternyata seluruhnya direncanakan dan diselenggarakan di Jawa. Lupa atau memang sesuai kehendak mereka atau ketidak tahuan akan potensi tenis diluar Jawa sehingga konsep ini tetap dipertahankan dan dijalankan ditahun 2014 setelah mendapatkan sponsor Bank Mayapada dan PERTAMINA yang keseluruhan 20 turnamen tersebut difokuskan di Jakarta dan Bandung unrtuk Liga Mayapada dan kota Surabaya untuk Liga Fastron (Pertamina) masing masing 10 turnamen.
Jikalau Pelti sudah memprogramkan hanya dipulau Jawa, apakah tenis diluar Jawa akan berjalan sesuai kemauan sendiri tanpa ada pengarahan dari Pusat sebagaimana kewajibannya , merupakan tanda tanya besar. Penyakit masa lalu yaitu tunggu petunjuk yang sampai saat ini masih berlaku sedangkan udah jelas PP Pelti fokus kepada Pulau Jawa sehingga petunjuk yang diharap harapkan mustahil akan datang.
Mengatasi permasalahan seperti ini, perlu dibahas bersama oleh pelaku tenis diluar Jawa tersebut agar tidak ketinggalan dibandingkan dengan pertenisan di Jawa. Akibatnya saat ini petenis diluar Jawa tidak punya kesempatan masuk dalam tim nasional maupun masuk nominasi dalam seleksi nasional untuk tim nasional.
Materi atlet dan pelatih setiap daerah tanpa diragukan keberadaannya, hanya minim kesempatan untuk berkompetisi dengan atlet di Jawa sehingga butuh dana yang cukup besar jikalau harus ke Jawa demi peningkatan prestasinya.
Apresiasi diberikan kepada orangtua yag telah mengirimkan atletnya ke Jawa untuk berlatih bersama pelatih pelatih yang ada. Tetapi karena tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan banyak kekecewaan yang didapat selama ini dan minim keberhasilan karena ketidak mampuannya mengadopsi ilmu yang didapat dari pelatihnya. Kemungkinan juga dalam mengikuti kepelatiahan di Jawa tersebut hanya terpukau dengan nama besar pelatih yang ada. Dan juga salah memilih kepelatihan tersebut yang berdasarkan kemampuan finansial setiap kepelatihan didapat. Tetapi bisa juga karena ketidak mampuan atletnya sendiri. Tingkat permainan atlet daerah tersebut masih jauh dari yang diharapkan sehingga sulit beradaptasi dengan rekan rekan lainnya. Melupakan pembinaan itu suatu proses yang membutuhkan waktu cukup lama dan berkesinambungan. Bukan instan seperti kehendak pelaku pelaku tenis. Banyak faktor pendukung yang harus diketahui pula.
Kadangkala rekan yang duduk didalam organisasi tenis baik ditingkat klub maupun Pengcab/Pengda Pelti baru ditingkat mencintai Tenis an sich. Karena baru menyenangi bermain tenis belaka. Belum sampai ketingkat mencintai membina atlet. Sehingga mayoritas tidak tahu mau memulai dari mana. How to start !
Sehingga disini peranan Pusat untuk memberikan panduan kepada rekan rekan tersebut agar bisa termotivasi mulai bekerja, seperti keinginan Presiden Joko Wdodo, Kerja Kerja
Ada cara yang bisa dilakukan oleh pelaku tenis didaerah tersebut tanpa menggantungkan diri kepada induk organisasi jika jelas jelas tidak memiliki program memberdayakan potensi tenis didaerah. Tidak bisa disalahkan Pengda ataupun Pengcab Pelti nya karena program kedaerah tersebut jelas jelas tidak dimilikinya.
JIKA ADA KEMAUAN SO PASTI ADA JALAN.
Insan tenis bisa melakukan sendiri baik berkelompok dengan nama klub ataupun juga Pengcab/Pengda Pelti karena tidak perlu kuatir jika dijalankan tidak akan melanggar AD & ART Pelti . Tentunya bagi petinggi Pelti sendiri sangat berterima kasih jika masyarakat tenis baik perorangan maupun melalui perkumpulan atau klub bisa melakukan program grass root development tersebut. Ujung tombak pembinaan itu ada di klub. Bahkan ada kemungkinan akan mendapat dukungan dari ITF maupun Pelti sendiri.
Selama ini masalah klasik selalu dimunculkan yaitu kendala Finansial aliias Dana sebagai kesulitan dialami dalam menjalankan program tersebut.
Ada daerah yang mendapatkan dukungan finansial dari Pemerintah Daerah setempat, dan sudah menjalankan program tersebut. Ini yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Pemerintah memiliki program PPLP, tetapi hanya beberapa daerah yang telah memilikinya .
Masyarakat tenis didaerah bisa melalui klub maupun Pengcab/Pengda Pelti setempat membuat pelatihan yang secara kontinyu dan berkesinambungan dengan mengundang pelatih pelatih nasional untuk melakukan kepelatihan dikota masing masing, sehingga tidak perlu para orangtua yang merasa kehilangan putra putri tersayangnya keluar dari rumah yang jelas sulit terkontrol kehidupan sehari harinya. Bahkan disayangkan justru banyak yang meninggalkan bangku sekolah formalnya selama ikuti kepelatihan di kota kota Jawa
Kalau kesulitan dana bisa dicari jalan keluarnya. Diawali dulu menghimpun dana yang selama ini masyarakat Indoneia dikenal dengan gotong royongnya, kenapa tidak dijalankan dalam kehidupan sehari hari. Disadari pula kalau kewajiban para orangtua terhadap pembinaan putra/inya sendiri sebagai awalnya.
Sebagai bentuk konkritnya, dikumpulkannya 4-8 atlet dalam satu grup dengan pelatih yang ada selama ini dikota tersebut, kemudian dihitung beaya suatu kepelatihan dengan mendatangkan pelatih nasional selama 3-7 hari.
Dibuatlah satu program oleh pelatih nasional tersebut program tahunannya dan setiap bulan atau 2 – 3 bulan pelatih nasional tersebut kembali kekota tersebut memonitor pelaksanaan program tersebut. Disini dibutuhkan pelatih yang bisa membuat program setahun minimalnya sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Bisa dibandingkan jika kirim atletnya ikut kepelatihan di Jawa. Jelas lebih murah dengan cara diatas.
Beaya kepelatihan tersebut sangat relatip sehingga setiap peserta bisa ditarik iuran. Ini lebih efektif dibandingkan mengirimkan atletnya ke tempat yang jauh, karena tingkat permainan tenis atlet tersebut kemungkinannya belum bisa menyesuaikan dengan kegiatan tersebut. Apalagi kemudian mayoritas yang terjadi digabungnya tingkat permainan atlet tersebut yang rendah bersama yang sudah termasuk competition players. Maka tidak heran hasilnya adalah kekecewaan sedangkan dana yang keluar sudah ratusan juta. Penyesalan yang didapat dengan menyalahkan induk organisasi tenis atau Pelti sebagai alasannya sangat tidak tepat.
Jika telah ada hasil dari kepelatihan didaerah secara bertahap maka lebih mudah untuk mendapatkan sponsor sebagai penyandang dananya. Bisa sponsor dari Pemerintah Daerah ataupun swasta. Sponsor akan datang jika sudah ada keberhasilannya. Janganlah mengharapkan sponsor datang sebelum hasil nyata terlihat dengan baik.
Jika dilakukan oleh klub maka Pengcab/Pengda Pelti akan menerima laporan sehingga dukungan terhadap klub tersebut akan menjadi lebih terkoordinasi dengan baik. Bantuan akan datang dari Pengcab/Pengda Pelti. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bantuan datang dari ITF melalui PP Pelti
Program ini sebenarnya sudah ada beberapa tahun silam dan dukungan ITFpun sudah mengalir. Masih ingatkah pelaku pelaku tenis didaerah dengan kunjungan pelatih ITF kekotanya. Seperti dialami Banda Aceh, Pekanbaru, Balikpapan
Ingatah jika ada kemauan so pasti ada jalan. Pesan DO IT.
Disisi lain masyarakat tenis menghendaki agar tenis Indonesia bisa mendunia seperti yang pernah terjadi ditahun sebelumnya.
Diera pemimpin negara saat ini sudah mencetuskan kepada anggota kabinetnya adalah slogan Kerja Kerja Kerja, sehingga penerapannya juga bisa berlangsung didunia olahraga masa kini. Revolusi mental, sepenuhnya juga berlaku didunia olahraga umumnya, tenis khususnya untuk bisa merubah paradigma selama ini yang menghambat pembinaan olahraga sendiri.
.
Harus diakui jika Pelti saat ini mengabaikan salah satu fundamen tenis yaitu grass root development karena berbagai masalah yaitu kesulitan menghimpun dana dan waktu yang singkat masa kepemimpinan dalam satu periode sekitar 5 tahun sehingga kekuatiran program tersebut tidak bisa berjalan seperti yang dikehendaki. Kelemahan pimpinan induk organisasi olahraga di Indonesia adalah inkonsistennya program jika terjadi pergantian kabinet induk organisasi. Ini terjadi hampir diseluruh induk orgnisasi olahraga.
Seperti didunia pendidikan, dipertenisan Indonesia sangat diperlukan adalah kualitas pelatih yang ada saat ini belum ada perkembangan yang meningkat karena minimnya sarana pendidikannya sehingga muncullah otodidak lebih menonjol dibandingkan melalui jalan pendidikan sebagaimana lazimnya.
Paham atau tidak paham saat ini jika dikatakan kalau juara itu bukan lagi dilahirkan tetapi dibuat sedemikian rupa berdasarkan Ilmu pengetahuan dan teknolagi atau dikenal dengan IPTEK
Dalam paparan oleh Ketua Umum PP Pelti ( 2012-2017) , disaat hendak menjual program turnamen terungkap sudah kalau program PP Pelti hanya difokuskan kepada Pulau Jawa. Dari 40 turnamen yang direncanakan untuk dicarikan sponsor ditahun 2014, ternyata seluruhnya direncanakan dan diselenggarakan di Jawa. Lupa atau memang sesuai kehendak mereka atau ketidak tahuan akan potensi tenis diluar Jawa sehingga konsep ini tetap dipertahankan dan dijalankan ditahun 2014 setelah mendapatkan sponsor Bank Mayapada dan PERTAMINA yang keseluruhan 20 turnamen tersebut difokuskan di Jakarta dan Bandung unrtuk Liga Mayapada dan kota Surabaya untuk Liga Fastron (Pertamina) masing masing 10 turnamen.
Jikalau Pelti sudah memprogramkan hanya dipulau Jawa, apakah tenis diluar Jawa akan berjalan sesuai kemauan sendiri tanpa ada pengarahan dari Pusat sebagaimana kewajibannya , merupakan tanda tanya besar. Penyakit masa lalu yaitu tunggu petunjuk yang sampai saat ini masih berlaku sedangkan udah jelas PP Pelti fokus kepada Pulau Jawa sehingga petunjuk yang diharap harapkan mustahil akan datang.
Mengatasi permasalahan seperti ini, perlu dibahas bersama oleh pelaku tenis diluar Jawa tersebut agar tidak ketinggalan dibandingkan dengan pertenisan di Jawa. Akibatnya saat ini petenis diluar Jawa tidak punya kesempatan masuk dalam tim nasional maupun masuk nominasi dalam seleksi nasional untuk tim nasional.
Materi atlet dan pelatih setiap daerah tanpa diragukan keberadaannya, hanya minim kesempatan untuk berkompetisi dengan atlet di Jawa sehingga butuh dana yang cukup besar jikalau harus ke Jawa demi peningkatan prestasinya.
Apresiasi diberikan kepada orangtua yag telah mengirimkan atletnya ke Jawa untuk berlatih bersama pelatih pelatih yang ada. Tetapi karena tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan banyak kekecewaan yang didapat selama ini dan minim keberhasilan karena ketidak mampuannya mengadopsi ilmu yang didapat dari pelatihnya. Kemungkinan juga dalam mengikuti kepelatiahan di Jawa tersebut hanya terpukau dengan nama besar pelatih yang ada. Dan juga salah memilih kepelatihan tersebut yang berdasarkan kemampuan finansial setiap kepelatihan didapat. Tetapi bisa juga karena ketidak mampuan atletnya sendiri. Tingkat permainan atlet daerah tersebut masih jauh dari yang diharapkan sehingga sulit beradaptasi dengan rekan rekan lainnya. Melupakan pembinaan itu suatu proses yang membutuhkan waktu cukup lama dan berkesinambungan. Bukan instan seperti kehendak pelaku pelaku tenis. Banyak faktor pendukung yang harus diketahui pula.
Kadangkala rekan yang duduk didalam organisasi tenis baik ditingkat klub maupun Pengcab/Pengda Pelti baru ditingkat mencintai Tenis an sich. Karena baru menyenangi bermain tenis belaka. Belum sampai ketingkat mencintai membina atlet. Sehingga mayoritas tidak tahu mau memulai dari mana. How to start !
Sehingga disini peranan Pusat untuk memberikan panduan kepada rekan rekan tersebut agar bisa termotivasi mulai bekerja, seperti keinginan Presiden Joko Wdodo, Kerja Kerja
Ada cara yang bisa dilakukan oleh pelaku tenis didaerah tersebut tanpa menggantungkan diri kepada induk organisasi jika jelas jelas tidak memiliki program memberdayakan potensi tenis didaerah. Tidak bisa disalahkan Pengda ataupun Pengcab Pelti nya karena program kedaerah tersebut jelas jelas tidak dimilikinya.
JIKA ADA KEMAUAN SO PASTI ADA JALAN.
Insan tenis bisa melakukan sendiri baik berkelompok dengan nama klub ataupun juga Pengcab/Pengda Pelti karena tidak perlu kuatir jika dijalankan tidak akan melanggar AD & ART Pelti . Tentunya bagi petinggi Pelti sendiri sangat berterima kasih jika masyarakat tenis baik perorangan maupun melalui perkumpulan atau klub bisa melakukan program grass root development tersebut. Ujung tombak pembinaan itu ada di klub. Bahkan ada kemungkinan akan mendapat dukungan dari ITF maupun Pelti sendiri.
Selama ini masalah klasik selalu dimunculkan yaitu kendala Finansial aliias Dana sebagai kesulitan dialami dalam menjalankan program tersebut.
Ada daerah yang mendapatkan dukungan finansial dari Pemerintah Daerah setempat, dan sudah menjalankan program tersebut. Ini yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Pemerintah memiliki program PPLP, tetapi hanya beberapa daerah yang telah memilikinya .
Masyarakat tenis didaerah bisa melalui klub maupun Pengcab/Pengda Pelti setempat membuat pelatihan yang secara kontinyu dan berkesinambungan dengan mengundang pelatih pelatih nasional untuk melakukan kepelatihan dikota masing masing, sehingga tidak perlu para orangtua yang merasa kehilangan putra putri tersayangnya keluar dari rumah yang jelas sulit terkontrol kehidupan sehari harinya. Bahkan disayangkan justru banyak yang meninggalkan bangku sekolah formalnya selama ikuti kepelatihan di kota kota Jawa
Kalau kesulitan dana bisa dicari jalan keluarnya. Diawali dulu menghimpun dana yang selama ini masyarakat Indoneia dikenal dengan gotong royongnya, kenapa tidak dijalankan dalam kehidupan sehari hari. Disadari pula kalau kewajiban para orangtua terhadap pembinaan putra/inya sendiri sebagai awalnya.
Sebagai bentuk konkritnya, dikumpulkannya 4-8 atlet dalam satu grup dengan pelatih yang ada selama ini dikota tersebut, kemudian dihitung beaya suatu kepelatihan dengan mendatangkan pelatih nasional selama 3-7 hari.
Dibuatlah satu program oleh pelatih nasional tersebut program tahunannya dan setiap bulan atau 2 – 3 bulan pelatih nasional tersebut kembali kekota tersebut memonitor pelaksanaan program tersebut. Disini dibutuhkan pelatih yang bisa membuat program setahun minimalnya sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Bisa dibandingkan jika kirim atletnya ikut kepelatihan di Jawa. Jelas lebih murah dengan cara diatas.
Beaya kepelatihan tersebut sangat relatip sehingga setiap peserta bisa ditarik iuran. Ini lebih efektif dibandingkan mengirimkan atletnya ke tempat yang jauh, karena tingkat permainan tenis atlet tersebut kemungkinannya belum bisa menyesuaikan dengan kegiatan tersebut. Apalagi kemudian mayoritas yang terjadi digabungnya tingkat permainan atlet tersebut yang rendah bersama yang sudah termasuk competition players. Maka tidak heran hasilnya adalah kekecewaan sedangkan dana yang keluar sudah ratusan juta. Penyesalan yang didapat dengan menyalahkan induk organisasi tenis atau Pelti sebagai alasannya sangat tidak tepat.
Jika telah ada hasil dari kepelatihan didaerah secara bertahap maka lebih mudah untuk mendapatkan sponsor sebagai penyandang dananya. Bisa sponsor dari Pemerintah Daerah ataupun swasta. Sponsor akan datang jika sudah ada keberhasilannya. Janganlah mengharapkan sponsor datang sebelum hasil nyata terlihat dengan baik.
Jika dilakukan oleh klub maka Pengcab/Pengda Pelti akan menerima laporan sehingga dukungan terhadap klub tersebut akan menjadi lebih terkoordinasi dengan baik. Bantuan akan datang dari Pengcab/Pengda Pelti. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bantuan datang dari ITF melalui PP Pelti
Program ini sebenarnya sudah ada beberapa tahun silam dan dukungan ITFpun sudah mengalir. Masih ingatkah pelaku pelaku tenis didaerah dengan kunjungan pelatih ITF kekotanya. Seperti dialami Banda Aceh, Pekanbaru, Balikpapan
Ingatah jika ada kemauan so pasti ada jalan. Pesan DO IT.
Jika berkeinginan lebih jelas bisa hubungi AFR langsung, so pasti dibantu dan bisa juga menyesuaikan dengan budget yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar