Jakarta, 7 Juli 2011. Ada satu permasalahan yang saya perhatikan didunia pertenisan kita ini. Ada permasalahan yang bisa dianggap sepele. Semua pihak mengakui kalau peranan orangtua itu sangat dominan didalam memajukan pendidikan putra dan putrinya begitu pula di pertenisan disamping pelatihnya. Ada sesuatu hal yang saya perhatikan perlu juga dipahami bagi para orangtua selaku pembina. Kita akui kalau penggemar tenis itu datang dari berbagai kalangan mulai dari menengah keatas bahkan ada juga yang berasal dari kalangan bawah.
Saya bisa bicara disini berdasarkan pengamatan saya disetiap turnamen khususnya kalangan petenis yunior. Setiap atlet bertanding tentunya membutuhkan perhatian baik dari pelatih maupun orangtuanya.
Memang setiap orangtua maupun pelatih mempunyai pandangan berbeda dengan saya. Tetapi sedikitnya didalam membangun pembinaan putra dan putrinya itu diperlukan juga suatu penghargaan terhadap prestasi yang didapatnya. Nilai penghargaan tentunya akan berbeda beda tergantung dari mana melihatnya. Karena saya pernah merasakan sebagai atlet yunior. Coba kita perhatikan jika melihat didalam suatu acara baik dikalangan bawah maupun atas. Acara lucky draw. Yang hadir memberikan perhatian cukup besar. Padahal nilai barang yang dijadikan hadiah setiap orang bisa membelinya sendiri. Tetapi anthusiasnya mereka mengikutinya. Karena semua mata tertuju kepadanya jika berhasil mendapatkan lucky drwa tersebut. Hal yang sama juga pada petenis yunior. Ada kebanggan disaat acara penyerahan hadiah, semua mata tertuju kepadanya dan diabadikan dengan foto.
Ada beberapa contoh kecil, disaat putra ataupun putrinya mendapatkan prestasi baik mulai dari semifinalis , ataupun runner up dan juga juara, tentunya perlu mendapatkan perhatian baik dari penyelenggara maupun pembinanya. Kalau putra ataupun putrinya menjadi juara ataupun runner up, maka pembinanya masih berikan waktu untuk menunggu acara pemberian penghargaan tersebut. Artinya mau menunggu saat upacara pemberian penghargaan kepada pemenang. Tetapi beda jika hanya mencapai semifinal saja, maka penghargaan yang diberikan oleh penyelenggara itu diangap remeh artinya acara tersebut tidak akan dihadirinya karena ingin pulang cepat cepat. Saya perhatikan sekali, jika ini terjadi bagi atlet yang baru pertama kali menjadi semifinalis, kemudian ditinggal pergi juga oleh pembinannya maka ada sedikit kekecewaan tersendiri. Bagi atlet tentunya ada kebanggaan dengan membawa pulang piala dan piagam yang diterimanya tetapi diterimanya dalam acara khusus yaitu acara pemberian hadiah dan diabadikan dalam foto foto.
Ada lagi kasus lainnya, dimana penghargaan bagi pemenang ditolak oleh pembinanya. Ini kasus benar benar terjadi. Memang saya perhatikan ada beberapa pelaksana turnamen didalam promosi turnamen dengan berbagai cara untuk menarik atlet tersebut bisa berpartisipasi. Berbeda dengan beberapa tahun silam. Karena minimnya turnamen sehingga ada kepastian kehadiran pemain terutama jika dimusim liburan sekolah. Saat ini munculnya turnamen sehingga tiba saatnya pembina tersebut bisa memilih turnamen tersebut sesaui dengan kemampuan koceknya sendiri.
Mau tahu promosi yang dilakukan penyelenggara. Kalau yang biasa sesuai anjuran Pelti, cukup cantumkan hadiah dalam bentuk piala dan piagam sebenarnya sudah cukup . Tetapi akibat persaingan tersebut maka dicantumkan adanya hadiah barang berupa sovenir. Tetapi ada juga dengan berani mencantumkan nilah hadiah barang tersebut mencapai puluhan juta rupiah. Bagi kalangan tertentu bisa mengartikan lain. Saya pernah berdebat dengan salah satu orangtua atlet yang termakan dengan promosi tersebut. Pembina ini lupa kalau dicantumkan hadiah berupa sovenir ataupun barang tersebut dianggapnya ada hadiah uang cash. Hadiah berupa barang dengan nilai puluhan juta bisa juga diartikan mulai dari harga Piala, Piagam dan sovenir. Untuk turnamen yunior mempertandingkan kelompok umur 10 tahun, 12 tahun, 14 tahun, 16 tahun dan ditambah 18 tahun maka panitia harus sediakan piala sejumlah 10 x 4 bh= 40 piala. Tetapi bisa juga hanya diberikan kepada juara dan runner up, berupa piala dan piagam. Dan semifinalis tidak diberikan piala tetapi piagam. Total hadiah tersebut termasuk sovenir di total bisa saja mencapai puluhan juta rupiah. Kecewa merasa tidak sesuai harapannya, tetapi menurut saya termakan dengan promosi, maka pembina ini langsung tidak mau ambil hadiah piagam dan sovenir yang disediakan (apapun bentuknya). Saat itu setelah saya terangkan semuanya pembina (KU 10 tahun) langsung mau pulang dan saya katakan itu hak Anda. Langsung anaknya diajak pulang . Tetapi apa yang terjadi, didepan saya anak itu tidak mau pulang, dan untungnya ayahnya tidak marah2 sama anaknya karena kesal. "Tunggu dulu mau lihat yang bertanding." ujar anak tersebut memberikan alasannya.
Disinilah, yang perlu diperhatikan pembinanya tidak mau mengerti dengan keinginan putranya. Ini pendapat saya. Karena anak ini ingin juga hadir disaat ada acara penyerahan hadiah walaupun hanya sebagai semifinalis.
Ada satu lagi yang buat saya terkejut. Setelah acara penyerahan hadiah dimana ditambah foto bersama (tentunya anak2 ingin foto bersama sebagai kebanggaannya juga) selesailah sudah acara tersebut. Saat saya mau kembali ke Jakarta, sempat rekan saya mendapatkan sms mengatakan kalau hadiah cincin yang diterima putranya (juara) ternyata cincin emas muda. Saya sendiri tidak mengerti masalah emas.
Artinya cincin itu sudah mau dijual oleh ayahnya. Mungkin sudah butuh uang. Belum 2 jam selesai penerimaan ternyata hadiah itu mau dijual.
Disini saya melihat pembinannya kurang menghargai nilai hasil perjuangan putranya untuk mendapatkan hadiah tersebut. Menurut saya seharusnya putranya menikmati dulu cincin tersebut beberapa hari. Sehingga jika ketemu dengan rekan rekannya tentunya akan bertanya hadiah tersbut. Disinilah kebanggaan atlet dibandingkan rekannya yang kurang berhasil diturnamen.
Bisa saja terjadi pembinanya sudah membutuhkan uang untuk kehiduopan sehari harinya atau untuk membeayai anaknya ikuti turnamen dikota lainnya. Tetapi ini semua pendapat pribadi saya saja menghadapi masalah ini. Karena pengamatan saya banyak orangtua/pembina kurang mendukung prestasi atletnya sendiri, akibat ulah yang berlebihan ini. Kegagalan atlet karena ulah pembinanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar