Rabu, 20 Februari 2019

Pertemuan dengan PP Pelti masalah KTA Pelti



Jakarta. 20 Februari 2019. Memenuhi undangan Wakil Ketua Umum PP Pelti, AFR menyempatkan diri datang tepat pukul 14.00 hari ini (20/2). Didampingi oleh Sekjen PP Pelti maka terjadilah pertemuan hari ini dengan 2 topik inti sedangkan masalah lain sebagai selingan saja terutama masalah pembicaraan di grup WA FKT. . Tetapi yang lebih menarik dibicarakan masalah Kartu Tanda Anggota (KTA) Pelti karena mendapatkan tanggapan serius dari para pelaku tenis didaerah." Kewajiban bayar Rp 250.000 bagi setiap pemegang kartu tersebut merupakan hasil keputusan Rapat PP Pelti 2018. Ya, kami harus jalankan." demikian pembicaraan pertama tersebut dibuka oleh Wakil Ketua Umum PP Pelti didampingi Sekjen PP Pelti.Sebagai bahan pencarian dana PP Pelti maka dibutuhkan data data petenis Indonesia melalui KTAPelti tersebut. Ini yang membuat suatu keanehan  karena sejak diperkenalkan 2002 sampai  2012 itu sudah sekitar 3.000 lebih KTA dikeluarkan dan diteruskan oleh PP Pelti periode 2012-2017 sehingga diperkirakan menjadi 4.000 an KTA.
Ketika disampaikan data data tersebut ada didatabase Pelti, tetapi ternyata dikatakan dalam timbang terima PP Pelti periode 2012-2017 tidak ada data data tersebut. Ini yang sedikit aneh..

AFR menanggapi jika masalah KTA itu sudah tercantum dalam Ketentuan TDP Nasional dan sudah dilaksanakan selama ini dimana setiap TDP pesertanya harus memiliki KTA sesuai ketentuan TDP tersebut.  

" Saya sepakat dengan kewajiban pemegang KTA Pelti harus membayar karena ini merupakan salah satu sumber dana Pelti dalam mendukung program programnya. Yang jadi masalah sesuai masukan dari masyarakat tenis  adalah pembayaran sekali gus untuk 5 tahun menjadi Rp 250.000. Lebih bijak jika dikenakan bertahap, bukan sekaligus. Contoh seorang tua memiliki 3 anak mau ikut TDP maka harus keluarkan Rp 750.000 untuk KTA belum lagi untuk entry fee Rp 900.000. Khususnya para orangtua diluar Jakarta dan daerah luar Jawa." begitu disampaikan oleh AFR kepada Wakil Ketua Umum PP Pelti. Ini akibat masa kepengurusan PP Pelti sejak pertama kali diperkenalkan KTA Pelti 2002 sampai 2017 tanpa dipungut bayaran. Perubahan aturan itu tentunya mengagetkan masyarakat tenis.


Dapat jawaban cukup menarik karena dianggap resiko bagi orangtua jika ingin ikuti turnamen tenis atau TDP (Turnamen Diakui Pelti). Artinya tidak ada pilihan lain. Ini yang disayangkan karena tidak mau menerima masukan dari masyarakat tenis. 

Jikalau sudah merupakan keputusan PP Pelti maka sebagai pelaku pelaksana TDP Nasional, AFR  tidak berdaya dan menunggu undangan pertemuan dengan Ketua Bidang Pertandingan PP Pelti  bersama para penyelenggara TDP Nasional seperti yang dijanjikan oleh Humas PP Pelti Wynne Prakusya.. Sehingga semua kendala pelaksana TDP agar diketahui oleh pembuat kebijakan tersebut. 
Posisi saat ini sulit untuk bisa meyakinkan pembuat kebijakan sehingga tidak punya bargaining position . 

Sebelumnya dipertanyakan masalah benefit bagi peserta TDP jika harus membayar Rp 250.000. Karena kurang terbukanya sehingga informasi ini tidak cepat sampai ke masyarakat, walaupun sudah melalui Rakernas Pelti bulan Februari 2019. Ternyata disebutkan kalau saat ini KTA Pelti bisa digunakan sebagai e-toll  karena bekerjasama dengan Bank BRI. Ada rencana kerjasama dengan Sporting House atau lain lainnya . Tetapi karena belum ada kerjasama dengan outlet2 tersebut maka baru kegunaan sebagai e-toll saja yang bisa diungkapkan. 

Tetapi sangat disayangkan masalah KTA Pelti justru banyak dikomentari di grup WA Forum Komunikasi Tenis (FKT) yang juga datang dari peserta Rakernas Pelti 2019. Sehingga timbul kesan tidak ada gunanya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pelti 2019. Harus diakui selama Rakernas , peserta terbuai dengan acara diluar rapat yaitu bertanding tenis sesama peserta dengan diberikan hadiah hadiah sehingga saat Rapat resmi sudah tidak bergairah dibicarakan karena sudah lelah main tenis dari pagi sampai sore dimana rapatnya malam hari. Iniah hasilnya, karena ada anggapan masyarakat sebelum ada petunjuk pelaksanaannya maka yang digunakan penyelenggara TDP adaah aturan lama. Ini masalah serius.



Tidak ada komentar: