Minggu 23 Agustus 2015 Rentang waktu sejak dilantik 17
Februari 2013 sampai dengan Desember 2017 terasa sangat lama bagi sekelompok
masyarakat yang kurang puas terhadap prestasi akibat amburadulnya kinerja didalam
kepengurusan induk organisasi tenis di Indonesia. Bahkan keinginan merubah
secepatnya cukup besar karena kekuatiran akan keterpurukannyai, menyebabkan
keinginan ada perubahan sudah mencapai
puncaknya. Bahkan ketidak puasan justru datang dari pendukungnya disaat
musyawarah nasional akhir nopember 2012 dikota Manado. Siapa lagi kalau bukan wakil
wakil dari pengurus daerah disetiap propinsi di Indonesia.
Masalah utama awalnya adalah ketidak
harmonisnya secara internal didalam kepengurusan selama ini. Diikuti pula komunikasi antara pusat dan daerah sudah terputus sekali
Banyak kejutan
dilakukan tetapi bukannya kejutan yng positip dimata pelaku pelaku tenis di
seluruh Indonesia. Berbagai kebijakan yang justru merupakan buah dari musyawarah
nasional tidak sepenuhnya dijalankan atau diterapkan dengan baik.
Ketidak puasan ini sudah
merasuk kedalam inti permasalahan utama yaitu pembinaan yang merupakan ujung
tombak bagi suatu organisasi. Kemajuan dan kemunduran sebagai nilai prestasi
ditunjukkan dari hasil pembinaannya. Sehingga jika pembinaan ditingkat pusat
sudah memprihatinkan maka pembinaan didaerah tentunya lebih memprihatinkan
juga. Ini sudah terjadi.
Ketidak becusan didalam
memimpin suatu organisasi bisa terlihat didalam keputusan sepihak terjadi yaitu
pengunduran waktu pelaksanaan Pra PON. Bisakah dibayangkan menjelang H-10
pembukaan Pra PON keluar suatu jurus yang mematikan gairah daerah yang sudah
berapi api memberangkatkan timnya ke Tarakan sebagai tempat pelaksanaannya. Kebanggaan ada didalam dada setiap petenis yunior akan mewakili daerahnya tertanam dengan baik tetapi justru dirusak dengan keputusan sepihak tersebut. Tidak sedikit daerah yang sudah memegang tiket ke Tarakan, mendengar
pengunduran waktu pelaksanaan tentunya akan membuat sport jantung bagi
penanggung jawabnya. Sebagian besar peserta masih berstatus pelajar ataupun
mahasiswa tentunya memanfaatkan waktu senggangnya ternyata terjadi perubahan
waktu pelaksanaan Pra PON diluar dugaan peserta. Bahkan pemusatan latihan sudah dilakukan harus bubar jalan kembali kekota masing masing.
Masalah lain juga muncul
karena dana udah ditangan dicurahkan
oleh KONI Provinsi tetapi tidak jadi digunakan dan bahkan harus ada dana tambahan sebagai penggantian pembataan tiket.
Itu sudah suatu kewajaran extra cost pembatalan tiket , sedangkan yang tidak wajar adalah pengunduran waktu
tersebut. Apapun alasannya tetap merugikan atletnya. Solusi bukan diutamakan
tetapi kesewenangannya memutuskan yang sepihak dianggap Pengda Pelti karena
tidak ada alasan yang dikemukakannya.
Keinginan terjadi perubahan
didalam penanganan tenis di Indoesia sudah mencapai puncaknya karena berbagai
keputusan selama ini sangat merugikan masyarakat tenis Indonesia. Sadar atau tidak disadari pula makin
pesimisnya pelaku pelaku tenis didaerah daerah terhadap kebijakan selama ini
akan membawa dampak buruk masa depan tenis Indonesia. Ada yang apatis tetapi
masih banyak juga yang bergairah dengan mengharapkan adanya perubahan mulai
dari tingkat Pusat yaitu perubahan anggota pengurusnya bahkan pimpinannya
sekalipun.
Menunggu sampai akhir masa
jabatan tentunya sudah merupakan toleransi yang sangat tinggi, tetapi berbagai tanggung
jawab terhadap nama Indonesia ditahun 2016 sudah banyak yang menunggu. Apalagi
tanggung jawab sebagai tuan rumah Asian Games 2018 sudah tidak bisa lagi
memberikan toleransi terhadap kebijakan selama ini yang sudah banyak melenceng
dari amanat musyawarah nasional berakibat nyata dalam prestasi nasionalnya.
Munculnya pertanyaan jika
tidak ada perubahan secepatnya apa yang harus dilakukan oleh petinggi petinggi
pengda disetiap provinsi di Indonesia karena tanggung jawab merekalah sebagai
pemilih sewaktu Munas 2012 di Manado yang harus dipertanggung jawabkan kepada kesetiap pengurus cabang (pengcab) dan klub klub tenis disetiap provinsi di Indonesia.
Merupakan sejarah baru pula
jika sampai kepengurusan saat ini dilengserkan oleh pengda pengda seluruh
Indonesia. Yang jadi pertanyaan sekarang siapakah calon yang berkeinginan
berkontribusi dipertenisan nasional. Tentunya dari ratusan juta penduduk
Indonesia, masih ada pecinta tenis yang bisa dan mau untuk memimpin induk
organisasi tenis di Indonesia. Mencuat wacana pergantian pengurus ini sudah ada
dipertengahan tahun 2015. Ada pengusaha, adapula birokrat. Yang paling penting
adalah kandidatnya wajib hukumnya bisa bermain tenis dan aktip pula bermain
tenis. Sebenarnya bukan masalah kalau tidak tahu bermain tenis tetapi bisa
berikan waktunya dalam hidupnya memikirkan pertenisan Indonesia. Tetapi
kelihatannya di Indonesia cara seperti ini bukan garansi bisa menjalankan roda
organisasi tenis.
Turun tangannya mantan ketua umum induk organisasi tenis sendiri sudah membuka mata atas sitasi pertenisan Indonesia ini untuk memncari kandidat2 yang bisa dipertanggung jawabkan. . Ini memberikan gambaran kepeduliannya terhadap pertenisan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar