Jakarta, 1 September 2020.Pada tgl 26 Desember 1987, PELTI , induk organisasi
tenis Indonesia, berusia 52 tahun. Bagi manusia , pada usia itu bisa dikatakan
sudah mencapai kematangan dan kearifan – atau malah mulai memasuki masa
pikunnya. Tapi, menerapkan ukuran ini pada sebuah organisasi, kita harus
berhati-hati, karena usia organisasi bisa jauh lebih panjang ketimbang usia
manusia. Matang tidaknya juga tidak tergantung pada dirinya, tapi di tangan
para pengelolanya.
Namun khusus bagi PELTI, pada
usianya yang ke 52, tidak mencapai kematangan dan pengalaman seorang manusia
pada usia yang sama PELTI, seperti juga umumnya manusia pada usia 50-an, bisa
dibilang telah mapan. Telah memiliki cukup asset, secara moral maupun material PELTI
terbilang tokoh yag berhasil.
Mari kita lihat. Dalam upaya
memasyarakatkan olah raga tenis, kita
saksikan kian merakyatnya olah raga raket ini pada tahun tahun belakangan.
Jumlah sekolah tenis, frekwensi pertandingan dan sarana lapangan , meningkat
jumlahnya. Para petenis tidak lagi berasal dari kalangan eksklusif atau the
haves. Dari segi prestasi , raihan medali emas di turnamen internasional
bukan lagi angan-angan.
Toh, berbagai kalangan yang
ditanyai menghimbau agar prestasi emas yang diraih PRLTI dan para anggotanya
jangan membuat kubu tenis Indonesia itu berpuas diri. Kita belum mampu
berbicara lantang di event Piala Davis dan Wimbledon. Puasa diri berarti memberi
peluang bagi hadirnya kemunduran padahal semboyan PELTI adalah “ Pantang Surut “.
Moelyono yakin, tantangan
tersebut dapat ditanggulangi, karena tenaga dan sumber dayanya tersedia di
sini. Untuk itu, yang harus dilakukan segera adalah mengadakan perbaikan di
dalam pengorganisasian pembinaan dan Latihan. Mengapa segera, karena di tingkat
Asia saja prestasi kita masih di belakang Korea Selatan, Jepang msupun India,
Hanya dengan organisasi dan sistem pembinaan yang baik, serta dibarengi dengan
prestasi yang terus meningkat. Indoneia baru mampu berperan di tingkat internasional.
Upaya itu, tentunya, akan sangat didukung oleh jumlah petenis yang lumayan
banyaknya dan roda pertandingan yang mencukupi dan teratur.
B.Panerapan, sebagai tokoh yang
pernah menggeluti bidang pembinaan dan perwasitan tenis, melihat perkembangan
tenis di Indonesia berjalan sangat pesat, seiring pesatnya kemajuan pertenisan
dunia. Perkembangan maju itu tidak saja dilihat dari jumlah perkumpulan yang
meningkat banyak, pusat pusat pembinaan bibit tenis, jumlah lapangan dan
sebagainya, tetapi juga dalam pengorganisasian dan pengelolaan berbagai
turnamen berdasarkan peraturan baru yang sesuai dengan ketentuan MIPTC dan ITF.
Menghadapi berbagai tantangan
perkembangan zaman, mulai 1987 PELTI memang telah menyusun taktik dan strategi
organisasinya dengan mempertimbangkan pelbagai persyaratan federasi pertenisan
dunia. Ini terlihat di dalam melaksanakan turnamen turnamen pada tahun tahun
terakhir, seperti Pro-Kennex , Green Sands, dan Challenger , yang pada umumnya
berhasil baik. Semua hal ini berkaitan sangat erat dengan pengorganisasian,
pembinaan dan perwasitan.
“ Perwasitan dan organisasi
turnamen sekarang telah mengarah ke profesionalisme”, ujarnya. Maka sanksi-sanksi
terhadap para pemain yang indisiplin dikeluarkan tanpa ragu-ragu. “Ini langkah maju,
walau belum komplet. Kita harus menerapkannya dengan konsisten.. “ . Pengerapan
juga menganggap perlu penambahan personel yang berkaitan dengan pelaksanan
pertandingan. Dikatakan, penerapan peraturan secara tegas dan professional akan
membentuk disiplin para pemain, dan pada gilirannya akan meningkatkan prestasi.
Pelaksanaan PNP dan TDP oleh PELTI dipuji sebagai tindakan yang bagus sekali,
yang mempengaruhi peningkatan disiplin para pelaksana pertandingan dan ofisial,
dari referee, umpire, penjaga garis, sampai ke ball boys”
Pangerapan menilai , keadaan
positif itu lahir karena orang-orang yang duduk di kepengurusan pimpinan Pak
Merdiono sekarang inI sangat tanggap. “ Mereka juga sangat hati-hati dalam
mengeluarkan sesuatu kebijaksanaan, sehingga terkesan matang. Semuanya klop,
apalagi dana juga menunjang,” katanyA.
Lain lagi pendapat Nyonya Tinangon
dan Nyonya Ay Pryanti yang dulu pernah beken sebagai pemain nasional. Mereka lebih
menyoroti usaha PELTI sekarang mempersiapkan para petenis muda. Keduanya
sependapat, pengiriman para pemain muda ke luar negeri, untuk bertanding atau
berlatih, sebagai tindakan yang sangat positif – sama bagusnya dengan
mengundang petenis-petenis luar negeri berkunjung kemari. Itulah cara yang dianggap mereka tepat untuk
mengukur kemampuan pemain Indonesia. “ Untuk
junior kita sudah maju banyak. Saya yakin bila pembinaan lebih diintensifkam,
sewaktu-wakyu Indonesia dapat melahirkan pemain kaliber dunia.” ujar Nyonya Ay
Pryanti, yang almarhum suamnya Tan Liep Tjiauw, menjadi pemain Indoesia pertama
yang bertanding di Wimbledon.
Keduanya tak lupa memesankan agar
para pemain sekarang tidak cepat merasa puas diri pada hasil yang telah
dicapai. Pengorbanan dan usaha yang tidak kenal lelah masih diperlukan untuk
mencetak hasil yang sempurna. Cintailah tenis dengan sepenuh hati bila ingin
berprestasi, kata mereka. “ Para pemain sekarang harus lebih maju dari pemain
dulu, krarena perhatian dari PELTI kini
lebih besar. Berusaha terus, jangan berpuas diri, apalagi besar kepala”.
Mereka menghimbau agar pelatih
dalam negeri lebih banyak diberi kesempatan. Pelatih asing boleh saja
didatangkan, tapi hanya untuk menambah bekal pengetahuan kepada para pelatih
Indonesia- yang memang sangat diperlukan sesuai perkebangan zaman. TAMMAT ,( Foto Ny Ay Pryanti. Ditulis oleh Benny Mailili (alm) pada HUT
PELTI ke 52)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar