Jakarta, 3 Nopember 2011. Ada satu percakapan saya beberapa hari lalu mengenai istilah fasilitator sebagai petinggi induk organisasi olahraga tenis di Indonesia. Memang duduk sebagai anggota pengurus olahraga itu tidak enak karena mendapatkan sorotan negatip selalu.
Nah, percakapan ini menyangkut hal mutasi atlet yang selalu terjadi menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON) yang tidak bisa dihindari. Kali ini dibuat aturan pembatasan usia dengan harapan setiap daerah bisa membina atletnya sendiri mengikuti PON tersebut. Tetapi atuarn sudah dibuat dengan tujuan cukup mulia tetapi dalam pelaksanaannya selalu tetap terjadi juga baik dilakukan oleh tuan rumah maupun lainnya. Tuan rumah berharap sukses pelaksanaan juga sukses pretasi. Nah pengertian sukses prestasi ini sering bermacam ragam.
Penyakit lama dilakukan pembina dari tuan rumah PON selalu mencari atlet daerah lain agar bisa sukss prestasi. Memamng cara ini " murah " dalam beaya dibandingkan membina atlet sendiri yang belum pasti jadi. Ini karena pembina tersebut bukanlah pembina sejati. Hanya karena duduk dalam kepengurusan olahraga. Dengan dalih telah menggunakan dana pemerintah daerah maka wajib hukumnya sukses prestasi. Menurut saya ini cara pintas dalam membina.
Saya pun menyampaikan kepada rekan saya tersebut masalah memfasilitasi keinginan tuan rumah untuk sukses prestasi. Tetapi bukannya terjun langsung mencari atlet daerah lain dalam transaski jual beli.
Saya tekankan sewaktu PON 2004 dan 2008 di Palembang dan Kaltim dimana saya waktu itu sebagai Technical Delegate ( Kaltim saya duganti sewaktu PON saja).
Saya tidak lupa waktu diminta di PON 2004, oleh dua daerah. Saya kemudian berikan nasehat atau petunjuk caranya berprestasi baik mulai periapan Pra PON sampai PON. Yaitu aktip ikut turnamen turnamen sebanyak mungkin. Dan waktu itu kedua daerah itu tanpa gunakan atlet daerah lain bisa lolos ke PON tanpa ikuti Pra PON.
Sewaktu PON Kaltim, saya diminta rekan dari Kaltim. Apa yang saya lakukan adalah beri data atlet yunior yang berpotensi kedepan, karena saya tahu mereka itu tidsk faham terhadap peta kekuatan pertenisan nasional. Setelah itu saya serahkan mereka negosiasi langsung kepada atlet yang diminati. Jadi saya tidak ikut ikutan bernegosiasi dengan atletnya.
Sebagai contoh PON Kaltim, saya usulkan saja ke Pelti Sumut untuk menghbunngi 2 atlet dari Bandung yaitu Grace Sari Ysidore dan Tito Huthuruk. " Kenapa kalian harus cari alet lain sedangkan ada atlet berdarah Sumut di Bandung (waktu itu masih yunior) berpotensi." ujar saya kepada rekan rekan Pelti Sumut. Setelah itu saya tidak tahu kelanjutannya dalam mereka bernegosiasi.
Saya sempat pula berdebat dengan orangtua atlet yang bernafsu mencari daerah yang butuh atlet. Tetapi saya tetap mengingatkan mereka cara pandang di dunia aturan PON yang berbeda dengan ketentuan lainnya. Beda pendapat ini bisa terjadi juga dengan rekan rekan di kepengurusan induk organsisasi olahraga. Saya tetap mengacu kepada ketentuan PON yang dibuat oleh KONI.
Bahkan ada rekan saya yang mengatakan menurut pengacaranya kalau sudah habis kontrak maka atlet bebas pindah daerah lain. Pandangan ini sama dengan pandangan orangtua yang anaknya setelah PON beralhir berlomba lomba minta pindah mumpun masih jauh PON nya. Lucunya pindahnya tidak sebutkan pindah kedaerah tertentu. "Yang penting saya bebas dulu baru mencari provinsi yang mau bayar lebih tinggi." Ini jelas saya tentang sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar