Kamis, 29 Juli 2010

Tidak mudah berikan wild card

Jakarta, 29 Juli 2010. Diturnamen kita mengenal suatu istilah yaitu wild card atau jika diterjemahkan menjadi kartu liar. Kenapa ada wild card. Karena diberi kesempatan bagi penyelenggara menominasikan peserta yang belum bisa diterima di turnamen disebabkan karena peringkat yang dimilikinya tidak memenuhi syarat bisa masuk dalam turnamen tersebut. Bisa juga bagi yang sudah mengundurkan diri tetapi berubah piiran ingin masuk. Tetapi ada yang lebih penting lagi bagi penyelenggara turnamen yaitu demi promosi turnamen. Misalnya ingin ada petenis yang terkenal agar bisa ikut turnamen dan peringkatnya sudah turun. Bisa juga demi kepentingan sponsor turnamen tersebut.

Beberapa tahun silam suka terjadi di Indonesia, petenis tidak meminta tetapi penyelenggara berikan jatah wild card tersebut tetapi lupa beritahukan kepada yang bersangkutan. Akibatnya pemain tersbut tidak tahu dan tidak ikut karena merasa tidak diterima.
Belajar dari pengalaman tersebut maka oleh Pelti setiap peserta yang ingin dapat wild card diwajibkan ajukan permintaan secara tertulis sehingga kalau tidak hadir maka tetap kena denda sesuai aturan turnamen tersebut.

Sekarang sudah menyadari hal tersebut sudah banyak sekali petenis melalui pelatih ataupun sendiri sendiri mengajukan permintaan wild card tersebut. Baik untuk turnamen yunior maupun senior atau ditingkat internasional dikenal dengan ProCircuit. Artinya turnamen yang sediakan prize money. Disini petenis yang masuk babak utama akan menerima prize money, walaupun melalui wild card.

Saya melihat beberapa turnamen internasional Procircuit ini baik putra (Men's Futures) maupun putri (Women's Circuit), beberapa petenis yunior mengikutinya. Keikut sertaan mereka sih sah sah saja karena usia telah mencapai 14 tahun sehingga bisa ikut. Dari pengamatan saya ini ada beberapa petenis yunior yang belum berprestasi di kelompok yunior sudah sering ikut dan ada juga yang tidak mau ikut turnamen dikelompok yunior dan rajin ikut Pro Circuit. Hasilnya tahu sendiri, spesialis 1st round loser, alias kalah dibabak pertama.
Wajar saja jika kalah atau menang, yang jadi perhatian saya angka kekalahannya itu yang belum masuk dalam kewajaran yaitu 60 60.

Ada kejadian dimana turnamen internasional yunior dan Procircuit waktunya bersamaan dan saya leihat ada kecendrungan atlet yunior mau melepas turnamen yuniornya (padahal dia masuk babak utama) dan ikuti Procircuit melalui fasilitas wild card ini untuk babak utamanya. Ini yang harus dipelajari, apakah motivasinya untuk mendapatkan prize money sebagai 1st roud loser. Kalau benar maka sudah harus diperhatikan baik baik untuk pemberian wild card tersebut.

Sehingga ada pemikiran saya akan dicoba diajukan ke induk organisasi ataupun penyelenggara agar yang terima wild card ini (khususnya petenis yunior) tidak diberikan haknya mendapatkan prize money jika jadi kalah dibabak pertama. Timbul pertanyaan ataupun protes, kenapa haknya tidak diberikan. Maka saya kira sebelum diberikan permintaan wild cardnya sebaiknya dinegosiasikan dulu dengan pemainnya. Jadi tidak senanknya saja minta wild card. Kalau tujuannya untuk meningkatkan prestasi maka lain lagi ceritanya.
Saya teringat tahun 1989-1991 sewaktu Green Sands Satellite Circuit, ada petenis yang minta wild card babak utama kepada saya dimana dia katakan kalau kalah dibabak pertama prize moneynya tidak diambil. Artinya dia itu butuh sekali turnamen tersebut untuk menaikkan peringkatnya, bukan prize moneynya. Memang jika belum punya peringkat memadai maka atlet tersebut harus berinvestasi dulu baru menikmatinya.

Ini baru gagasan saya pribadi atas kasus wild card ini. Mau diterima syukurlah , tidak diterima bukan masalah bagi saya.

Senin, 26 Juli 2010

Aturan Baru di turnamen, kram tidak boleh ditolong


Jakarta, 26 Juli 2010. Tertarik juga untuk memberikan info tentang suatu turnamen yang penuh dengan peraturan peraturan yang saya yakin banyak petenis, pelatih maupun orangtua yang belum mengetahuinya. Apalagi kalau saya lihat sendiri di daerah daerah masalah peraturan turnamen belum semua mengetahuinya. Salah satunya adalh masalah kram yang sering terjadi diturnamen tenis bahkan sekarang banyak juga petenis cilik sudah mengalaminya. Masalah penyebabnya belum saya bicarakan, tetapi ini menunjukkan ketidaksiapan fisik atlet menghadapi turnamen.

Dulu setiap atlet yang alami kram sewaktu sedang bertanding maka ada aturan boleh ditolong setelah dilihat oleh Referee. Jadi tidak bisa semua orang boleh masuk kedalam lapangan memberikan pertolongan. Ada aturannya, karena setiap turnamen diwajibkan sediakan tenaga medis. Dulu disebutkan atlet bisa terima medical time out selama 1 kali 3 menit saja. Bisa juga 2 kali ekstra pada saat perpindahan tempat.

Tetapi sejak tahun 2010, aturan berubah dimana jika sedang bertanding artinya sedang bermain maka tidak boleh ditolong kalau dapat kram, karena sekarang dianggap atlet tidak siap. Boleh ditolong jika terjadi perpindahan tempat (jumlah angka ganji saja), dan waktunya juga terbatas. Wasit hanya katakan let's play, artinya harus segera main. Ditunggu dalam waktu 20 detik. Kalau tidak bisa main pemain akan kena code of violation delay of the game artinya ada pelanggaran mengundur ngundurkan waktu. Jika masih belum bisa akan pemain akan kehilangan angka (15-0 atau 0-15). Begitu juga masih belum bisa maka pemain akan kehilangan games dan seterusnya.

Berbeda dengan injury atau cidera, pemain bisa minta medical time out. Tetapi tidak boleh memanfaatkan injury time dengan minta menghilangkan kramnya. Karena kram itu bukan termasuk dalam istilah injury atau cidera. Diartikan sebagai ketidak siapan atlet saja.
Saya kira masalah ini perlu juga diketahui oleh semua pihak mulai dari wasit, referee , penyelenggara turnamen, petenis , pelatih dan orangtua.

Jadi Tournament Desk

Jakarta, 25 Juli 2010. Disetiap turnamen internasional selama ini saya selalu menemani Referee yang datang dari luar negeri. Dari pengalaman seperti ini banyak manfaat saya bisa dapatkan karena secara tidak langsung saya bisa menilai cara kerja setiap referee didalam menjalankan tugasnya disetiap turnamen tenis.

Kali ini tepatnya kemarin 24 Juli 2010 disaat sign-in turnamen Women's Circuit di lobi hotel IBIS Kemayoran, saya sudah berpindah peranan. Akibat dari minimnya petugas sehingga saya terpaksa melibatkan diri menjadi petugas meja untuk sign-in. Setiap peserta harus lapor dulu ke Referee dimana dia akan mencek nama peserta tersebut apakah dimasukkan sebagai yang sudah terdaftar atau onsite sign-in. Disamping itu juga Referee akan beritahu kepada petugas meja lainnya (disini Sdr. Parman) andaikan peserta tsb ada kena denda dari ITF atau tidak setelah membayar kepada petugas meja maka peserta baru sign-in didepan saya. Terdapat kolom nomor IPIN nya dan tanda tangan serta meninggalkan nomor telpon agar mudah dihubungi.

Sewaktu telah mencapai 15 orang kami bertiga menunggu datangnya atlet lainnya, maka saya menawarkan agar cek and recheck dengan catanag masing masing. Ternyata kami bertiga ada beda angka. Saya berdasarkan yang sudah sign-in sedangkan Parman berdasarkan yang sudah bayar. Begitulah tugas masing masing sudah harus bisa lakukan check and re-check.
Dari cara demikian saya melihat sebelum dilakukan undian maka harus di check dan recheck daftar yang dipegang masing masing petugas.
Selama ini diturnamen internasional saya hanya mengawasi karena tugas saya adalah sebagai tournament director ataupu wakil direktur turnamen. Kali ini jadi petugas meja turnamen. Kali ini ada szedikit jengkel juga karena petugas yang sehausnya bertugas tidak datang, akibatnya saya ketiban tugasnya. Ya, begitulah yang terjadi.

Kamis, 22 Juli 2010

Kok tidak bilang dari tadi

Jakarta, 22 Juli 2010. Sore ini ada pertemuan pengurus dari PP Pelti dimana saya ikut didalamnya. Pembicaraan lebih terfokuskan ke persiapan SEA Games tahun 2010 dimana Indonesia sebagai tuan rumah. Terjadilah beda pendapat tentang Technical Delegate dan Tournament Director sebuah multi event yang tentunya berbeda dengan single event.

Memang sebelumnya kurang lebih beberapa bulan silam sudah pernah diajukan juga masalah kepanitiaannya. Saya hanya bisa menerima masalah ini karena diminta oleh Ketua Umum PP Pelti sebagai Sekretaris Panpel Tenis. Waktu itu tenis diputuskan di Jakarta sedangkan Soft Tennis di Semarang. Waktu diputuskan dulu saya tidak banyak komentar tentang penunjukkannya, karena sebagai sekretaris itu sibuknya sebelum kegiatan dan sesuadah kegiatannya. Aman deh, tidak capek.
Kali ini ada sedikit berbeda. Saya hanya diam saja setelah dibentuklah bagan kepanitiaan yang sempat ramai diperbincangkan bersama. Sedikit lega sewaktu ditunjuk sebagai Vice Chairman dimana Chairmannya Soebtronto Laras. Berarti bukan sebagai sekretaris panpel.
Terjadilah saat yang saya anggap lucu sewaktu mau ditunjuk Tournament Director Soft Tennis. Sebelumnya dalam rapat disebutkan nama Diko Moerdono, tetapi mengingat dia juag sebagai team manager tennis maka nama diapun diubahlah. Ngak tahu siapa yang sebut nama saya untuk jabatan tersebut sayapun sempat kaget. Sayapu menerima kesepakatan tersebut. Setelah itu baru saya nyeletuk. "Dulu kan saya pernah juga sebagai Tournament director turnamen Pasific Soft Tennis Champs di Jakarta." setelah itu Dikopun nyeletuk. " Kok nggak bilang dari tadi." Sayapun hanya bisa tertawa tawa. Dalam hati saya ini tidak pernah menawarkan diri atas jabatan tersebut.
Setelah itu baru Christian Budiman sampaikan kepada saya, bahwa dia tidak bisa jadi tournament director soft tennis. Karena beberapa bulan silam dia ditunjuk rapat memegang jabatan tersebut.
Ya, begitulah kejadian yang saya anggap lucu juga.

Menikmati Perjalanan Tulungagung ke Malang

Malang, 21 Juli 2010. Setelah selesai memenuhi undangan rekan semasa Kuliah di FK UNAIR ( dr. Bambang Supeno) di Tulungagung, sayapun bersama Christian Budiman kembali ke Malang sebelum meneruskan perjalanan ke Jakarta. Dari Tulungagung ke Malang naik mobil sejak pagi pagi karena ada keinginan sambil jalan jalan menikmati indahnya pemandangan Provinsi Jawa Timur. Memang betul dalam perjalanan yang cukup santai, saya menyempatkan diri berhenti dulu di Bendungan Lahor untuk mengambil fotonya.

Bagi saya perjalanan darat bisa dinikmati jika menggunakan kendaraan karena banyak pemandangan diperjalanan bisa dinikmatinya. Begitu masuk kota Malang sayapun menghubungi rekan lama saya yaitu Djoko Soedadi yang saya kenal waktu itu sebagai sekretaris Pengkot Pelti Malang. Karena sudah pensiun di Pemerintahan Kotamadya Malang beliau ini ditempatkan sebagai Direktur di Rumah Potong Hewan (RPH) Kedatangan kami berdua disambut dengan ramah oleh beliau karena sudah dikenal sebelumnya.
Ternyata diapun masih ingat, dan kamipun disuguhi gado gado hasil dari resto RPH disana. Setelah itu ngobrol masalah perkembangan tenis dikota Malang. Saya teringat disatu saat ( 2-3 tahun silam) pernah Malang punya 2 turnamen nasional yunior yaitu Piala Gajayana dan Piala Walikota Malang. Saat ini sayapun prihatin masalah ini karena kedua turnamen itu hilang dari peredaran. Saya sampaikan keprihatinan kami berdua (bersama Christian Budiman) yang pernah menikmati hangatnya Piala Gajayana secara tradisi dilaksanakan di Malang. Waktu Christian sebagai petenis asal Medan sedangkan saya waktu itu sudah pindah ke Mataram Nusa Tenggara Barat. Dari pembicaraan tidak disebutkan kalau beliau sudah tidak duduk dikepengurusan baru Pelti Kota Malang. Tetapi akhirnya kami berdua berkesimpulan kalau dia itu sudah tidak duduk sebagai pengurus Pelti Kota Malang. Sedangkan dulunya dia itu penggerak tenis di Malang. Sayapun ingin menemui rekan yang duduk di Pelti Kota Malang, maka didapatkannya nama Rudyanto. Tadinga saya hanya disebutkan nama Rudi dimana nama itu masih asing. Tetapi setelah disebutkan nama lengkapnya sayapun merasa pernah kenal dan ketemu di Jakarta sewaktu ada ITF Level-1 coaches Workshop. Setelah dihubungi, sempat berbincang bincang pertilpon saya masih belum kenal nama itu tetapi setelah selesai pembicaraan saya baru jelas kalau sudah pernah kenal baik melalui telpon ataupun jumpa di Jakarta. Karena waktu beliau cukup padat sehingga keinginan saya ingin bertemu belum bisa terpenuhi.

Saya sendiri sangat berkeinginan besar agar kota Malang bangkit seperti semula, ada Piala Gajayana dan lain lain. Tetapi keinginan ini masih belum bisa dipenuhi secepatnya. Tetapi tekad sayapun tetap tinggi dimana disuatu saat Malang akan ada Turnamen nasional yunior. Jadi sayaopun harus bersabar saja menunggu timing yang tepat.
Setelah itu keinginan mau berkunjung ke lapangan tenis jalan Surabaya yang juga sekretariat Pelti kota Malang saya sampaikan kepada pengantar kami dari Tulungagung. Awalnya dia katakan tahu jalannya tetapi setelah jalan 30 menit dia katakan agak jauh tempatnya berarti harus berputar. Ya, sayapun akhirnya mengambil kesimpulan dia tidak mau antar ketempat itu. Ya sudah, saya minta diantar ke bandara Abd.Saleh saja biar dia tidak repot repot.
Ya, back to Jakarta lagi dengan Sriwijaya Air.

Selasa, 20 Juli 2010

Melihat Hilangnya lapangan tenis Gajayana Malang

Malang, 19 Juli 2010. Memasuki kota Malang melalui Bandara Abdurahman saleh untuk pertama kalinya karena biasanya ke Malang melalui Surabaya. Bandara ini sebenarnya merupakan bandara militer tetapi akhir akhir ini sudah dibuka untuk penerbangan komersial. Ada Garuda Indonesia, Sriwijaya Air dan Batavia Air. Memang ini bandara yang kecil yang saya pernah ketahui. Dan ruang kedatangan cukup sederhana. Dimana ruang kedatangan sangat kecil terletak diluar dibawah palopi. Dan yang lucunya pengeras suara untuk pemberitahuan kepada masyarakat seperti di stasion Kereta Api. Saya teringat bandara ini sewaktu saya dari Sydney ke Salamder Bay di Australia Timur. Ini bandara juga kecil sekali.

Memasuki kota Malang ingin melihat lapangan tenis di jalan Tenes yang cukup bersejarah, karena mayoritas petenis Indonesia mengenal lapangan tenis ini yang berjumlah 9 lapangan. Cari punya cari jalan tenes maka didapatilah mal baru yang cukup megah. Sedih juga saat itu melihat kenyataan ini. Dan lenyap sudah 9 lapangan lama tersebut. tetapi masih untung dibangun lagi 6 lapangan baru disisinya. Cari warung Rujak Cingur yang ada dilapangan lama ternyata sudah bersih atau lenyap. Ada keinginan makan Rujak Cingur tetapi gagal.
Karena sudah lapar, maka didapatilah resto ayam goreng di jalan Tenes tersebut. Langsung singgah dan makan Gurami goreng, murah meriah sekali.

Langsung saya teringat rekan pelatih Idris yang sudah pindah ke Malang dari Bandung.
Setelah bertemu saya ngobrol ngobrol ingin tahu juga masalah pertenisan dikota Malang ini yang sudah mulai pudar dari pertenisan nasional. Saya minta dihubungi rekan Pelti di Malang. Tetapi tidak mudah bisa bertemu, karena mereka ini sibuk juga di Pemerintah kotamadya yang sedang kerja sehinga tidak bisa bertemu juga. Timbul keinginan saya agar Malang bisa bangkit lagi di pertenisan nasional dengan membangkitkan kembali Piala Gajayana yang cukup bersejarah. Pertsms ksli saya bertanding tenis di Malang yaitu tahun 1961. Waktu itu saya bertanding masuk kelompok Remaja. Dan tidak lupa saya kalah dari rekan Diko Moerdono yang saat ini sama saa duduk dikepengurusan Pelti Pusat.
Kota Malang memiliki dua lokasi kompleks lapangan tenis yaitu di jalan Tenes ada 9 lapangan dan di jalan Surabaya ada 4-5 lapangan tenis. Saya sendiri pernah mengantar putra dan putri saya bertanding tenis di Malang yaitu di lapangan Tenes dan jalan Surabaya. Turnamen di Malang sangatlah ideal karena hanya 2 lokasi yang bisa dijangkau dengan becak saja begitu pua hotelnya yang cukup dikenal saat itu hotel Palace kemudian menjadi Hotel Pelangi yang letaknya dialun alun. Transportasi cukup dengan naik becak saja.

Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke kota Tulungagung. Dan tiba dengan selamat di Tulugagung dan langsung ke hotel Istana yang baru dibangun 8 Juli 2010.

Sabtu, 17 Juli 2010

Tidak Mudah Jadi Manajer tim

Jakarta, 17 Juli 2010. Sudah sering terjadi keluhan keluhan atlet terhadap kepemimpinan dari manajer timnya. Saya perhatikan mulai dari Pekan Olahraga Nasional maupun PORDA/PORPROV yang merupakan multi event.
Memang tenis adalah olahraga individu tetapi jika didalam multi event maka lebih menonjol adalah regunya dimana setiap regu terdiri dari 4 pemain, 1 pelatih dan 1 manajer.

Banyak kejadian kejadian lucu dilapangan dimulti event. Bisa dibayangkan akibat ulah manajer tim sehingga disaat PON XVII di Balikpapan ada kejadian yang agak unik disaat timnya mau bertanding maka atletnya bertanya kepada manajer timnya. "Kalau mau menang bayar dulu uang hak atlet." begitulah yang terjadi akibat kepemimpinan manajer tim yang menyangkut keuangan yang merupakan hak atletnya.

Memang tidak mudah menjadi manajer tim jika tidak menghayati tugas dan tanggung jawab sebagai manajer tim. Bukan hanya mau jabatan tetapi lupa kalau sebagai manajer tim itu merupakan pelayan atletnya. Seluruh kebutuhan atlet sudah harus ditangani dengan baik dan juga didalam melayani disetiap pertandingan sehingga atletnya merasa nyaman didalam menjalankan tugasnya.
Jangan sampai kebutuhan jasmani atlet dilupakan. Dan tidak lupa adalah kebersamaan selama didalam pertandingan. Dimana saja, kapan saja maupun disaat bertanding maupun setelah bertanding.

Jadilah Sosok Orangtua yang Baik

Jakarta, 17 Juli 2010. Ada satu peristiwa terjadi di Pusat Tenis Kemayoran disaat pertandingan tenis O2SN dimana tim Jawa Barat setelah kalah di semifinal dari D.I.Y. Salah satu anggota timnya jalan pergi meninggalkan tempat pertandingan setelah mendapat damprat dari sang Ayahnya. Putri ini dipanggil panggil tetapi makin cepat saja jalannya meninggalkan tempat pertandingan. Saya kenal putri tersebut maupun kedua orangtuanya karena sering ikuti turnamen yang saya selenggarakan yaitu Persami. Sang Ayah tidak mau tahu kenapa alasan putrinya kalah. Ini salah satu contoh betapa ambisusnya sang Ayah terhadap putrinya. Sehingga selalu mengharapkan putrinya harus menang.
Saya sendiri sering berbincang bincang kepada orangtua, dan lebih menekankan kalau tanpa disadari orangtua didalam membina anaknya lebih penjurus kepada kehancuran prestasinya. Sudah banyak contoh saya lihat betapa peranan orangtua yang sangat ambisius agar putra putrinya jadi juara ternyata justru putus dipertenisan nasional. Bahkan menghilang sama sekali disetiap turnamen yang saya amati.Justru yang terjadi saya perhatikan datang dari orangtua yang bukan petenis sehingga belum pernah merasakan kalah dipertandingan. Setiap petenis sudah harus merasakan dalam pertandingan kalah ataupun menang. Tidak selamanya harus menang. Walaupun sebagai peringkat tertinggi duniapun suatu saat pernah dikalahkan.

Nah, sebagai orangtua sebaiknya sebagai sosok yang melindungi, menasehati, kawan dan sekaligus menjadi panutan. Banyak cara dapat dilakukan untuk menjadikan diri sebagai sosok tersebut. Apalagi orangtua yang bukan pelatih putra putrinya, sebaiknya apa yang dilakukannya. Jangan lupa membangun komunikasi yang baik untuk membangun kedekatan dengan putraputrinya. Upayakan komunikasi dua arah. Selama ini saya perhatikan lebih cenderung komunikasi satu arah. Berikan waktu anaknya berbicara, apalagi setelah bertanding badan sudah lelah sehingga bebannya cukup besar, jangan sekali kali dimarahin. Berikan waktunya anak menyampaikan permasalahan sehingga bisa terjawab atas kekalahannya. Sikap arogan sebaiknya dihindari. Jangan sekali kali disaat anak menyampaikan keluhannya langsung dibentak bentak. Jika dilakuan pendekatan sperti berdiskusi maka akan terbangun saling pengertian bersama. Sama halnya dengan mendisiplinkan anak dengan kasih, jangan gunakan kekerasan untuk menghukumnya. Ingatlah anak anak khususnya yang sedang tumbuh dewasa sehingga bisa terjadi dendam didalam hatinya.
Jika orangtua mengeluarkan kata kata kasar apalagi didepan banyak orangtua akan membuat anak malu.
Kita sebagai orangtua harus mengerti tugas sebagai orangtua dalam membina anak tidak pernah usai, bahkan anak yang sudah tidak tinggal sama sama sekalipun, tetap membutuhkan nasehat yang terbaik.

Jika disuatu turnamen orangtua cukup menjadi penonton yang baik didalam mendukung prestasi anaknya. Ikut menghormati lawan lawan anaknya termasuk pelatih dan orangtua anaknya. Jika orangtua berbuat antipati bagi masyarakat tenis lainnya akan mempengaruhi pergaulan anaknya sendiri. Bisa bisa dikucilkan oleh teman temannya. Bisa dibayangkan disetiap pertandingan anak tersebut merasa berada ditempat yang asing padahal mereka semua ini adalah teman latihannya sendiri.

Selasa, 13 Juli 2010

Lakukan coaching clinic dengan pelatih asing

Jakarta, 13 Juli 2010. Sewaktu hari terakhir Davis Cup by BNP Paribas antara Indonesia melawan Thailand, saya sempat berbincang bincang dengan oarngtua petenis yaitu Hasanudin (DKI) dan Widodo (Depok). Kedua orangtua ini mempunyai keinginan yang patut diancungin jempol. Karena tujuannya adalah sebagai sumbangsih terhadap pertenisan Indonesia.

Saya menyambut baik keinginan cukup besar datang dari kedua orangtua tersebut. Inisiatip mau adakan coaching clinic dengan petenis Thailand Paradorn Srichapan. Sayapun kemukakan kalau Paradorn itu bukan pelatih tetapi abangnya yang juga hadir yaitu Tanakorn Srichapan ikut dalam tim Davis Cup Thailand ke Jakarta.

Sayapun menghendaki diadakan bukan di Jakarta tetapi di Depok agar kota Depok mulai mendapatkan perhatian dari masyarakat tenis maupun masyarakat Depok sendiri dan Pemerintah Kotamadya Depok. Kalau di Jakarta sudah tidak asing lagi, tetapi di Depok bisa menjadi pancingan terhadap daerah daerah lain untuk meniru kegiatan tersebut. Sayapun sampaikan kalau Pelti so pasti akan mendukungnya. Tidak ada hambatan datang dari PP Pelti.
Jika ini berhasil maka ini merupakan untuk ketiga kalinya dilakukan oleh masyarakat tenis sendiri dengan mendatangkan pelatih ataupun petenis asing lakukan coaching clinic di Indonesia.

Siapkan Pelatnas Putra SEA Games 2011


Jakarta, 13 Juli 2010. Dengan keluarnya statement petenis nomor satu Indonesia setelah kekalahan Piala Davis Indonesia lawan Thailand, sayapun terkejut. Kesannya induk organisasi tidak mempersiapkan diri mengahadapi Piala Davis.
Karena saya sendiri mengikuti perjalanan tim nasional selama ini dari dalam sehingga tahu betul apa yang sudah terjadi selama ini. Bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya. Saya pikir statement itu hanya kekeliruan tafsiran datang dari media menangkap hasil wawancara. Karena sebenarnya menurut saya, ketidak siapan petenis sehingga kekalahan tersebut terjadi. Karena apa yang saya maksud itu saya sudah lihat dari keempat atlet tersebut yang paling siap sebenarnya Christopher Rungkat. Kenapa demikian, karena menurut saya Christopher justru lebih banyak ikuti turnamen internaional dibandingkan lainnya.
Mulai dari Sportama Oneject Men's Futures di Bandung, yang tidak ikut adalah Nesa Artha dengan alasan tersendiri, sedangkan yang lainnya ikuti. Dan setelah Bandung mereka ikuti Turnamen yang sama di Tarakan dan Tegal. Ternyata Christopher berhasil keluar sebaga juara di Tarakan.
Setelah itu hanya Christopher ikuti Malaysian Futures dimana kalahkan Kittipong lawannya di Piala Davis.
Setelah kejadian ini apa yang mau dilakukan oleh tim nasional yang juga akan menghadapi SEA Games 2011 di Jakarta, ini yang harus dipikirkan kembali.

Menurut hemat saya sebaiknya pelatnas SEA Games 2011 segera dilakukan dengan menambah materi petenisnya, bukan terpaku kepada ke 4 petenis Davis Cup tersebut. Tidak perlu lagi mempermasalahkan sebab sebab kekalahan Davis Cup. Ditambah lagi 4 lapis kedua yang bisa diambil dari PNP terakhir dimana usianya janganlah dimasukkan yang usia sudah tua seperti Prima Simpatiaji, Sebastian Dacosta, Surya Wijaya dan Andrian Raturandang. Dengan adanya penambahan ini akan menambah rasa kompetisi diantara anggota Pelatnas tersebut.
Kalau akhir akhir sudah gagal kita lakukan jika dikembalikan ke klub masing masing karena so pasti tidak dilakukan latihan fisik yang benar. Sudah jelas kelemahan mutlak adalah fisik yang memprihatinkan. Sudah tidak bisa ditolerir dengan cara selama ini dikembalikan ke klub masing masing. Sudah seharusnya menunjuk seorang pelatih sebagai penanggung jawab Pelatnas SEA Games 2011 tesebut. Kita sudah tidak bisa mentolerir lagi masalah ini. Janganlah terlalu mengikuti semua keinginan petenis kita ini, ini semua berdasarkan pengalaman tim nasional selama ini.
Bagi tim Davis Cup ini sebaiknya dilakukan kontrak kerja dimana mereka harus menandatangani kontrak tersebut. Yang tidak mau, jangan segan segan dicoret diganti dengan yang lainnya.
Sebagai orang awampun tahu kalau kondisi fisik tim Piala Davis Indonesia ini sangat menonjol kelemahannya. Tidak siap lakukan pertandingan dalam 5 set, dimana terlihat kondisi petenis kita ambruk.

Senin, 12 Juli 2010

Penyebab Utama adalah FISIK

Jakarta, 11 Juli 2010. Selama 3 hari menyaksikan perjuangan petenis Indonesia dalam membela nama negara diajang kejuaraan dunia beregu Davis Cup by BNP Paribas antara Indonesia dan Thailand, muncul banyak kejadian cukup melelahkan. Salah satunya adalah turunnya hujan dihari pertama tanggal 9 Juli 2012 sehingga pertandingan baru selesai pukul 01.45 dini hari. Bisa dibayangkan, seluruh anggota pelaksana sampai terngantuk ngantuk menghadapinya. Ada yang sampai tidur dikursi sofa dikantor PP Pelti. Ini pertama kalinya terjadi bagi saya yang sudah ikuti kepeanitiaan Davis Cup di Indonesia ( Jakarta dan Surakarta).

Ada yang menarik saya amati perjalanan petenis tuan rumah mulai dari hari pertama kemudian sampai hari ketiga tampak lebih jelas. Turun pertama Sunu Wahyu Trijati (ATP-1.234) lawan urutan pertama Thailand Kittipong Wachiramawong (ATP-480), kemudian Christopher Rungkat (ATP-680) melawan urutan kedua Thailand Weerapat Doakmaiklee (ATP-712). Begitu juga pasangan Christopher Rungkat/Ketut Nesa Arta melawan pasangan kembar Sanchai dan Sonchat Ratiwatana. Dan hari ketiga Christopher Rungkat melawan Kittipong Wachiramawong, diikuti David Agung Susanto melawan Weerapat Doakmaiklee.

Maka terjadilah dihari pertama Christopher menang sedangkan Sunu Wahyu Trijati. Semua pihak mengharapkan Sunu bisa mengambi satu angka dihari pertama sehingga diharapkan bisa 2-0 untuk Indonesia. Harapan tinggal harapan , ternyata Sunu kalah.
Dihari kedua turunlah andalan Indonesia yang juga tidak bisa mengambil kesempatan untuk unggul, maka Indonesia ketinggalan 1-2. Dihari ketiga semua mengharapkan Christopher menyamai kedudukan 2-2 sehingga penentuan adalah pertandingan tunggal kedua.
Tapi semua rencana buyar, karena Christopherpun kalah. Kenapa semua begitu optimis kalau Christopher bisa menang karena minggu lalu Christo mengalahkan Kittipong dalam 2 set di Malaysia Men's Futures, Tetapi mereka lupa kalau saat ini pertandingan 5 set, bukan the best of 3 sets seperti di Men's Futures.

Inti permasalahannya adalah lemahnya kondisi fisik petenis tuan rumah, dan bukan alasan lagi minim ikut turnamen sebagai alasannya. Yang menjadi pertanyaan kenapa bisa demikian.
Setelah saya lihat dan dengar ternyata yang jadi penyebab adalah DISIPLIN petenis andalan sangat rendah. Boleh dikatakan semau gue sehingga apa yang dicapai dalam 3 hari ini membuat tuan rumah bisa kalah. Jikalau demikian maka sulitlah petenis Indonesia mau meningkatkan prestasinya. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi orangtua, pelatih maupun Pelti sendiri.
Sejak lama saya amati petenis nasional Indonesia punya kelemahan adalah di fisik, dan saya juga bingung sendiri kalau dulu itu pelatih fisik kita masih belum banyak, tetapi sekarang pelatih fisik sudah digunakan pelatih asing. Masih tetap belum mengangkat kondisi atletnya. Artinya menurut saya ada penyebabnya yaitu inti dari sukses adalah disiplin. Ada kesan semau gue. Bisa dibayangkan jika disuruh latihan fisik seperti merasa disiksa sebagai atlet. Tetapi lupa kalau latihan berat maka kondisi fisik makin kuat.

Sabtu, 10 Juli 2010

Akibat SMS gempar di Palu

Jakarta, 10 Juli 2010. Ada satu kebiasaan saya dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat tenis diinduk organisasi Pelti adalah memberikan informasi sebanyak mungkin kepada masyarakat tenis melalui teknik informatika baik berupa email maupun SMS melalui telpon seluler. Sehingga saya sangat menyesal sekali jika sampai telpon seluler saya hilang. Dan itu sudah pernah terjadi dimana komunikator saya yang belum sempat disimpan nomer tilpon didalamnya. Waktu itu ada 1.560 nomor didalamnya.
Tetapi kegemaran saya ini kirimkan info turnamen saya lakukan bukan hanya sekali saja tetapi sesering mungkin sampai yg menerima membalasnya, terutama info turnamen nasional. Jika belum membalas maka bisa saja setiap hari akan menerima SMS yang sama. Akibatnya hanya sekali beberapa tahun silam saya dimarahin oleh sipenerima yang saya masih ingat dari Karang Asem (Bali). Artinya tidak semua pihak mau menerima SMS tersebut. Jawabannya adalah " Cerewet kamu." begitulah respon yang saya terima. Dan saat itu juga saya hapus data nomer tersebut dimemory telpon seluler, supaya saya juga tidak pusing kepala. Enteng 'kan.

Beberapa hari ini saya memberikan informasi sehubungan dengan rencana pelaksanaan turnamen nasional RemajaTenis di Balikpapan ( 21-23 Juli 2010). Sayapun mulai kirimkan SMS ke pelatih maupun orangtua di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Tenggara , Gorontalo, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Tengah.
Beberapa minggu lalu saya juga aktip sebagai persiapan pelaksanaan Remaja Suzuki Cup di Banjarmasin.

Tetapi ada satu jawaban yang ternyata responsnya negatip. Hanya bedanya menjawab dengan kurang sopan. Yaitu " TaiLazO qW...". Saya terima tepatnya tanggal 1 Juli 2010, waktu itu kirimkan SMS dalam rangka turnamen Remaja tenis di Balikpapan . Saya terima dari nomer 0852 412 56014. Nomorini saya dapat sewaktu mempersiapkan turnamen di Palu. Dimana hanya didapat sewaktu minta nomer tilpon pelatih maupun orangtua ataupun Pelti di Sulawesi Tengah. Sehingga nomor tersebut saya masukkan sebagai nomer salah satu coach di Palu. Ini bahasa Makassar yang saya tahu.
Sayapun langsung kirimkan SMS ke teman2 di Palu untuk menanyakan nama sipemilik tersebut, ada yang menjawab tidak kenal. Tetapi ada yang memberikan nama sipemilik yaitu Kasmuji salah satu asisten pelatih dari pelatih kondang di Palu. setelah saya beritahu caranya yaitu dengan telpon aja ke nomor tersebut sehingga bisa didapatkan nama tersebut.

Kemudian tanggal 10 Juli sayapun terima jawaban dari nomor tersebut. " TaiLazOoW qW."
Sayapun untuk biarkan dia tambah panas (maklu provokator) saya kirimkan 5-6 kali saat itu juga informasi turnamen di Balikpapan tersebut. Dan jawabannyapun dari nomor tersebut ( 0852 ." ToNtimu yg hiLng...."

Sayapun forward SMS tersebut ke rekan rekan di Sulawesi Tengah. Ada yang mengira saya kirim ucapan tersebut untuk mereka sehingga ada yang tersinggung seolah olah saya tidak sopan mengata-ngatai mereka. Padahal saya hanya kirimkan informasi kalau saya terima SMS dari nomer tersebut. Maka ada yang mau mengerti tetapi ada juga yang katakan tidak ada kerjaan. Ternyata dampak dari forward SMS tersebut rekan rekan di Palu mulai bereaksi, termasuk yang duduk di Pelti sendiri. Tetapi pelatih yang saya sebut punya asisten tersebut awalnya tidak terima dan tidak kenal nomor itu dan sebutkan nama asistennya adalah anaknya sendiri. Tetapi ketika saya sebutkan apakah kenal dengan nama tersebut, baru dapat jawaban pernah kenal.

Sayapun tidak berupaya mencari tahu dengan telpon langsung ke nomor tersebut ( 0852 412 56014 ), karena pasti menghindar. Biarkan rekan rekan di Palu mencarinya. Dan betul juga merekapun mencoba mengkontak langsung dan benar juga dugaan saya, diapun menghindar karena sudah terima telpon beberapa kali dengan menanyakan SMS tersebut.
Yang lebih seru lagi ada rekan yang dulu saya kenal sebagai petenis yunior di Sekolah Ragunan cukup marah dengan orang tersebut, dan sempat ditelponnya dan mengajak duel dilapangan kalau berani. Waduh sampai begitu, sayapun katakan tidak perlu, maksud saya hanya beri tahu saja ada kelakuan asisten pelatih (namanya)tersebut di Palu.
Ada ada saja.....

Jatuh Dari Motor di Banjarmasin

Jakarta, 10 Juli 2010. Sewaktu berada di Banjarmasin dalam rangka kegiatan turnamen nasional Remaja Suzuki Cup (27-30 Juni 2010) ada kejadian lucu. Karena sudah lama tidak naik sepeda motor, ada keinginan saya menggunakannya karena ingin kelapangan KOREM dari lapangan tenis Dharma Praja. Ini kejadian tanggal 30 Juni 2010. Karena siangnya mau kembali ke Jakarta dimana pukul 16.00 ada rapat persiapan Davis Cup by BNP Paribas antara Indonesia dan Thailand( 9-11 Juli), saya harus kembali ke Jakarta.

Saat itu saya meminjam salah satu sepeda motor rekan pelatih di Banjarmasin. Ternyata sepeda motor automatic. Saya pernah menggunakan sepeda motor ini beberapa puluh tahun silam. Saya coba start, tidak bisa . Kok aneh biasanya harus versneling bebas dulu. Karena motor sekarang berbeda, dimana kalau mau start maka rem ditekan ( tangan kiri) baru bisa bunyi motornya. Kemudian saya berpikir kalau tangan kiri hanya untuk start. Sayapun tanya kalau rem yang mana. Disebutkan tangan kanan.
Kemudian naiklah dengan sedikit kaku, dan begitu mau masuk ke lapangan KOREM saya berbelok kekiri dan laju sepeda motor mau saya kurangi. Motor seperti scooter maka langsung teringat rem belakang adalh dikaki. Kaki cari cari rem tidak ada, langsung rem ditangan kanan. Akibatnya tahu sendiri waktu belok kekiri kendaraan masih miring dan rem kanan itu adalah rem roda depan. Akibatnya terpeleset. Untuk menghindar cidera, secara refleks saya lansgung koprol saja. Ingat waktu mahasiswa sempat iktui latihan militer melalui Resimen Mahasiswa (Menwa) Mahasurya. Semua penonton hanya diam saja karena dianggapnya itu yang terguling itu yang empunya motor. Sewaktu saya buka helm, langsung terdengar suara om ferry, langsung berhamburan mereka keluar dari lapangan. Waduh malunya itu. Ini peristiwa untuk kedua kalinya saya jatuh dari sepeda motor.

Yang pertama kali sewaktu kulaih di Surabaya , diperkirakan tahun 1965 waktu itu. Saya naik scooter meliwati truk tentara ( roda 10). Begitu lewat ternyata ada lubang dan scoterpun oleng dan masuk kekolong mobil. Sayapun koprol langsung kepinggir lapangan. Akibatnya lecet lecet ditangan dan diatas mata kiri. Maka masuklah ke UGD RS Dr Sutomo , waktu itu di Simpang. Ingat malamnya mau pesta Kawanua (PISOK), di UGD saya dikerjain oleh senir seniro saya. Sebenarnya muka bisa diplester saja karena kecil tetapi dibikinnya seperti luka parah. Verban melingkar muka, dan tangan diverban melingkar. Yang jadi masalah bukannya verban ditangan karena bisa pakai jas kalau mau pesta, tetapi muka dilingkari sehingga kesannya luka parah. Batal sudah rencana mau pestanya.

Turnamen Tak hendaki Referee tertentu

Jakarta, 10 Juli 2010. Saya tidak heran kalau mendengar ada wasit ataupun referee tidak diharapkan bertugas kedua kalinya disuatu turnamen. Dulu juga sudah sering mendengar. Begitu juga ada turnamen yang meminta agar referee yang ditugaskan sesuai keinginannya. Kenapa ini bisa terjadi demikian, sehingga semua keinginan turnamen menggunakan tenaga referee yang diminta.

Ada permintaan tenaga referee tertentu oleh pelaksanan turnamen itu hanyalah ulah referee tersebut, yang memaksakan dengan caranya mempengaruhi panpel agar dirinya digunakan sebagai referee turnamen tersebut.

Bagaimana dengan turnamen internasional? Awalnya ITF menunjuk Refereenya dan bukan atas permintaan penyelenggara. Tetapi sekarang ITF memperkenankan pelaksana turnamen menginginkan Referee yag dikenalnya.
Hal yang sama juga di turnamen nasional, Pelti memperkenankan turnamen mengusulkan nama Referee yang diinginkan. Tetapi Pelti didalam penunjukan Referee selalu berpedoman Referee yang berdomisili dekat dengan kota turnamen dengan tujuan agar tidak memberatkan beaya pelaksana turnamen.

Kembali kepada masalah ada beberapa referee yang tidak disenangi oleh pelaksana turnamen. Saya hanya melihat dari cara referee tersebut didalam menjalankan turnamen. Ada yang cukup santun, tetapi ada juga yang sangat angkuh (kesannya) dan arogan karena tanggung jawab turnamen dipundaknya. Menurut saya masalah ini timbul hanya karena komunikasi saja.
Dulu referee asing didalam menjalankan tugasnya cukup kaku, kalau sekarang kepentingan sponsor mendapatkan perhatian penuh.

Yang menjadi persoalan selama ini belum semua direktur turnamen yang mau melaporkan masalah ketidak nyamanan cara kerja referee nasional tersebut, tetapi begitu ada masalah baru diungkapkan.
Sebenarnya cukup simpel saja, jika referee jalankan tugasnya sesuai aturannya dan bisa berkomunikasi dengan baik.
Sekarang timbul kesan referee hanya memikirkan haknya saja tetapi melupakan kewajibannya. Disini butuh kerjasama yang baik. Dari kacamata referee, penyelenggara segan memberikan penghargaan dengan baik, khususnya mengenai honornya. Tetapi disatu sisi penyelenggara melihat cara kerja referee tersebut belum memadai. Saya pernah menerima pertanyaan dari salah satu wasit internasional yang dimiliki Indonesia. "Kenapa Pelti tidak menghargai tenaga referee." Ini dikaitkan dengan honor yang diberikan, karena tenaga asing diberikan honor jauh lebih tinggi. Hal ini hampir sama dengan tenaga pelatih asing honornya tinggi sekali. Saya saat itupun langsung menjawab, Pelti akan membayar sesuai dengan standar asalkan cara kerjanya sama seperti tenaga asing. Karena saya saat itu melihat sangat besar perbedaan cara kerja tenaga sing tersebut dengan tenaga kita ini.

Tetapi belakangan ini muncul kebalikannya. Sejumlah Referee dan wasit sekalipun tidak mau bertugas diturnamen tertentu. Ini lain lagi ceritanya. Tetapi pernah terjadi. Memang dalam hal ini menurut pengamatan saya, sikap penyelenggara turnamen yang membuat kesalahan sehingga muncul keinginan tersebut. Khususnya kalau penyelenggara turnamen itu pihak ketiga artinya bukan dilaksanakan oleh Pelti. Mendengar hal tersebut saya selaku petugas Pelti tentunya tidak bisa membiarkan terus berlangsung. Caranya adakan pendekatan kepada penyelenggara turnamen. Dan berikan pengertian dan menjelaskan cara kerja yang benar.

Perilaku Referee Nasional

Jakarta, 10 Juli 2010. Masalah Referee ternyata bukan masalah enteng karena para pihak berbeda pendapat didalam kenyataan. Tetapi saya sendiri sempat agak terkejut karena penanganan Referee masih belum tuntas sejak awal.
Tahun lalu sebelum saya aktip terjun jalankan kegiatan turnamen nasional, saya sempat minta agar dipikirkan oleh petugas yang menangani masalah ini agar menyadari kalau tenis Indonesia membutuhkan tenaga Referee sebanyak mungkin. Sejak diprogramkan agar setiap wasit internasional yang memiliki sertifikat white badge ITF, diprioritaskan menjadi referee TDP nasional di Indonesia. Tetapi sebelumnya sudah ada beberapa tenaga wasit nasional yang telah menjalankan tugas sebagai referee, sehingga dikombinasikan dengan wasit white badge. Dalam perjalanannya ternyata tidak semudah yang diperkirakan. Jadi wasit cukup baik belum menjamin bisa jalankan tugas seorang referee. Modal pertama adalah memiliki peralatan canggih yaitu LAPTOP dan printernya. Keberadaan komputer sangat membantu pekerjaan Referee.

Di tahun 2010, saya melihat beberapa kejadian yang menurut pendapat saya perlu mendapatkan atensi yang besar dari induk organisasi Pelti. Begitu saya mulai perkenalkan turnamen RemajaTenis mulailah terasa kebutuhan tenaga Referee tersebut. Konsep saya menjalankan RemajaTenis hampir sama dengan konsep Persami. Bedanya adalah selain jumlah harinya lebih sehari tetapi juga menggunakan tenaga Referee seperti dalam ketentuan TDP yang dikeluarkan oleh PP Pelti.

Saya lebih fokuskan dengan referee dari wasit nasional, mulai dari yang sudah biasa jalankan kemudian saya harus bisa mendidik wasit nasional menjadi referee nasional. Mereka ini butuh kesempatan yang selama ini belum didapatkan. Setelah itu saya sudah mulai menemukan beberapa tenaga wasit nasional yang sedikit di "paksakan" menjadi Referee Nasional untuk RemajaTenis. Memang ada juga Referee yang dari wasit white badge.
Saya coba menilai beberapa kelebihan maupun kekurangannya yang dengan sendirinya saya juga membantu mereka berdasarkan pengalaman saya melihat referee asing selama bertugas di Indonesia dimana saya sempat mendampingi mereka. Mulai dari kedatangan di Airport sampai kembali kenegaranya. Jadi, day to day saya ikuti cara mereka bekerja. Ada yang memuaskan tetapi ada juga yang tidak. Masalah ketelitian ada juga dari referee asing tidak teliti dan buat kesalahan. Hal yang sama juga terjadi dengan referee nasional. Sehingga saya bisa menilai cara kerja referee nasional.

Dari kejadian kejadian selama tahun ini saya melihat beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki, jangan sampai dikatakan referee tersebut itu attitudenya tidak baik. Dan ini memang ada kesan seperti itu. Dan juga sudah terjadi.

Tetapi yang sangat pantang dilakukan referee ataupun wasit dan petugas pertandingan lainnya adalah, dilarang MEROKOK diarena turnamen. Kenayataannya masih ada juga secara terang terangan merokok diarena turnamen bahkan didalam melayani peserta turnamen. Ini tidak ada yang menegurnya. Tetapi apakah perlu ditegur ? Karena ini sudah merupakan ketentuan tidak tertulis (kalau tidak salah). Saya melihat referee asing banyak juag perokok berat , terutama asal India. Menyalurkan keinginan berat untuk merokok tidak pernah saya lihat diarena turnamen apalagi dimeja kerjanya. Mereka biasanya pergi ketempat jauh yang tidak mudah dilihat orang. Pernah saya memergokinya sedang merokok tetapi ditempat yang jauh, referee tersebut minta maaf kepada saya karena dia tahu saya ini termasuk panitia pelaksana. Dan tidak kalah penting adalah tidak menunjukan arogansi kepada masyarakat tenis. Maksudnya, didalam menjelaskan tentang suatu kejadian ataupun peraturan harus dengan santun. Apa yang terjadi belum lama ini, ada referee yang menjawab pertanyaan orangtua pemain dengan rokok masih dimulutnya. Disamping itu jika ada kekeliruan yang dianggap petenis, tidak mau diterima kalau diprotes. Saya lihat bagi Referee asing selama ini, jika ada keragu-raguan atas tanggapannya dengan peraturan maka referee tersebut selalu berkonsultasi dengan teman temannya diluar negeri untuk meminta tanggapan sebagai phak ketiga. Saya pernah alami tahun 2009, saat itu Referee Men's Futures yang berlangsung di Balikpapan dan Women's Circuit di Kemayoran. Saya bertanya yang boleh dikatakan protes atas suatu kejadian, dimana menurut saya referee salah mengambil keputusannya. Esok hari saya mau konsultasi dengan referee di Kemayoran. Saat saya masuk keruangannya tersengar ada percakapan antara referee Women's circuit di Kemayoran dengan di Balikpapan. Ternyata mereka sedang berbicara masalah kasus yang saya tanyakan kemarinnya. Begitu saya duduk dan dia selesai berkomunikasi, langsung dia katakan " you are right". Sayapun bereaksi, apakah perlu tilpon ke referee di Balikpapan tersebut. Dia katakan tidak perlu karena sudah disampaikannya. Itulah kerja mereka ini. Intinya adalah jika ragu ragu agar segera bertanya kepada rekan lainnya. Di Indonesia , ada yang lansgung putuskan sendiri yang keliru. Untung pesertanya tidak tahu peraturannya.

Kamis, 08 Juli 2010

Urusan Spanduk bikin jelimet juga

Jakarta, 8 Juli 2010. Berkecimpung di pertenisan nasional dan internasional berarti mengenal berbagai macam manusia yang berkecimpung di pertenisan dunia. Ada banyak keuntungan yang saya dapatkan dengan mengenai berbagai wasit maupun Referee yang datang ke Indonesia. Mulai belajar secara tidak lansgung mengenai aturan turnamen internasional yang juga didukung dengan buku bacaan yang diterbitkan oleh International Tennie Federation (ITF) maupun ATP-Tour dan WTA-Tour selaku pemilik turnamen internasional.

Hal yang sama juga adalah Referee yang ditugaskan oleh ITF untuk Davis Cup yaitu kejuaraan dunia beregu putra. Sudah banyak Referee tersebut yang datang selama ini baik dari Jepang, Chinese Taipei, Australia, India, dan yang terakhir saat ini datang dari Uzbekistan. Keunggulan merek adalah penguasaan bahasa Ingrris sehingga sampai saat ini belum ada satupun wasit Indonesia yang memiliki brevet Bronze badge. Baru sampai white badge.

Saya mulai mengenal pelaksanaan Davis Cup adalah tahun 1988 seaktu itu posisi sebagai Sekretaris Panpel, mulai dari melawan Thailand kemudian China dan Korea sehingga Indonesia masuk ke group Dunia dengan materi pemain Tintus ASrianto Wibowo, Abdul Kahar MIM, Donald Wailna Walalangi dan Suharyadi. Untuk mempelajari aturan aturan Davis Cup yang sangat ketat waktu itu maka saya yang pertama kali dikirimkan ke Thailand ikuti Seminar Sponsorship Davis Cup yang waktu itu tutornya adalah Christopher Stokes dari ITF (kalau tidak salah kedudukannya sebagai direktur komersial ITF).

Karena banyak punya relasi, saya teringat sewaktu adakan Turnamen VOLVO Women's Open ( $ 25,000) di Jakarta, saya bisa selenggarakan bersamaan waktunya dengan Davis Cup di Gelora Bung Karno. Saat itu saya sudah keluar dari PB Pelti. Akibat hubungan kurang harmonis dengan Sekjen PB Pelti saat itu sehingga ada kecendrungan turnamen Volvo Women's Open mau diboikot oleh oknum PB Pelti saat itu.
Saya kesulitan mendapatkan wasit karena akan diadakan penataran wasti oleh PB Pelti saat itu disiang hari. Maka saya pun kontak Referee (WN Jepang) berdomisili di Taipei. Maka dia selaku tutornya mengubah jam refreshing wasit tersbut yag dijadwalkan siang hari menjaid malam, Selamat lah event saya tidak ada kesulitan tenaga wasit.

Dari berbagai Referee untuk Davis Cup, punya cara atau selera sendiri sendiri. Saya masih ingat sewaktu di Solo ( kalau tidak salah 1988 ), Referee berdarah Srilangka yang berdomisili di Australia sempat mengancam saya jika permintaannya tidk dipenuhi. Sedangkan saya saat itu bukan Direktur Turnamennya tetapi rekan dari Solo. Masalah persediaan perlengkapan lapangan jika hujan sehingga butuh rol [pembersihnya. Yang punya lapangan GOR Manahan orang lain, maka saya sudah keliling di Solo semua super market untuk mencarinya tetapi tetap tidak ada. Saya sendiri sudah lupa walaupun tidak ada dimana saya sanggupkan karena disanggupkan juga oleh Direktur turnamen. Ternyata pertandingan berjalan mulus tanpa hujan sehingga tidak ditanyakan kembali.

Harus diakui penanganan pelaksanaan Davis Cup sangat berbeda sekali dengan single event lainnya, terutama masalah sponsorship. Warna spanduk dalam lapangan harus sama seperti diatur oleh ITF yaitu warna dasar hijau tuan dan tulisan hijau muda.
Setiap nama sponsor lokas yang masuk harus minta ijin dulu ke ITF, bisa dibayangkan sekali betapa ribetnya. Tetapi kita juga harus lihai mengatasi semua ini.

Referee Andrei Kornilov asal Uzbekistan, terlalu berpatoka dengan buku manual dari ITF yang cukup tebal, sehingga penempatan stadium banner berbeda dengan Referee lainnya. Begitu telitinya memeriksa lapangan. Kali ini ada beberapa kekurangan yang dilihatnya. Tetapi semua ini bisa diatasi dengan. Tergantung personal approach saja, kuncinya.

Senin, 05 Juli 2010

Penolakan penunjukkan pelatih oleh atletnya

Jakarta, 5 Juli 2010. Dunia olahraga mengenal istilah SPORTIVITAS. Seluruh pelaku pelakunya dimintakan untuk memahaminya, bukan sekedar wacana saja. Di setiap acara turnamen sepak bola selalu ditekankan FAIR PLAY. Tentunya ada penyebabnya. Ini semua pelaku olahraga belum memahami atau menghayati sportiviats tersebut. Walaupun dicanangkannya FAIR PLAY tetap saja terjadi hal hal yang sudah melanggar sportivitas. Ingat Maradona dengan tangan Tuhan sehingga bisa mengalahkan lawannya. Kali ini di World Soccer 2010 di Afrika Selatan, tangan striker Uruguay Luis Suarezbisa menggunakan tangannya untuk menghalau bola yang sudah 99% masuk gawangnya sehingga tim satu satunya asal Afrika, Ghana gagal lolos ke semifinal. Ini kenyataan yang hangat didunia olahraga.

Bagaimana dengan tenis Indonesia. Kita semua mengetahui kalau tenis adalah olahraga individu. Sehingga saya melihat lebih banyak ke "akuan" pelakunya lebih menonjol. Beberapa kejadian selama ini dalam ingatan saya yang tidak akan terjadi beberapa puluh tahun silam. Bisa terjadi karena mulai dikenalnya alam demokrasi sehingga dengan dalih demokrasi ini bisa dipakai sebagai alasannya.

Induk organisasi tenis yaitu Pelti jika menunjuk pelatih untuk tim nasional maupun lainnya akhir akhir ini sudah mulai ditolak oleh atletnya. Sudah beberapa kali didalam pengiriman tim nasional khususnya yunior suka terjadi penolakan pelatih oleh petenisnya. Hal yang sama terjadi juga dikelompok umum, dimana petenis meminta pelatihnya diganti.
Bahkan di tahun 2010 ini saya barusan menerima orangtua petenis yang minta kepada Pelti agar pelatih yang mendampingi putrinya diganti dengan pelatih lainnya yang sesuai dengan seleranya.
Semua pihak mengeluarkan pendapat masing masing sehingga melupakan apa yang disebut diatas yaitu sportivitas itu.
Yang jadi pertanyaannya adalah kenapa bisa terjadi demikian?

Beberapa puluh tahun silam saya tidak mendengar adanya penolakan oleh atlet terhadap pelatih yang ditunjuk oleh PP Pelti. Tapi akhir akhir ini sudah beberapa kali terjadi. Tetapi saya tidak pernah mendengar jika ITF menunjuk pelatih dari suatu negara untuk mendampingi atlit yunior ikuti ITF Team Tour, ditolak oleh petenis peserta yang pasti bukan pelatihnya. Tetapi kenapa di Indonesia jika PP Pelti menunjuk pelatih ada saja yang ditolak.
Saya sulit membuat suatu kesimpulan terhadap hal hal seperti ini, karena akan membawa dampak lainnya.

Sabtu, 03 Juli 2010

Menjelang PON terjadi perpindahan atlet


Jakarta, 3 Juli 2010. Saya terima telpon dari salah satu orangtua petenis yunior di Surabaya, menanyakan proses perpindahan atletnya kedaerah lain. Bukan kali ini saja saya diminta pendapat masalah keinginan atlet pindah kedaerah lain. Ini semua dampak dari ketentuan pembatasan usia peserta Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII th 2012 di Riau.

Sebenarnya setiap menjelang PON, selalu terjadi atlet melalui pelatih dan orangtuanya sibuk mencari daerah baru yang memberikan fasilitas aduhai baginya. Bagi atlet yang pernah membela daerah sewaktu PON sebelumnya, tentunya mengincar tuan rumah PON berikutnya karena ada suatu keinginan daerah tuan rumah PON adalah SUKSES penyelenggaraan dan SUKSES prestasi, artinya yang ditekankan selalu lebih menonjol sukses prestasi dengan merauh sebanyak mungkin medali yang disediakan atau lebih dikenal dengan menjadi JUARA UMUM.
Akibat perubahan ketentuan peserta harus berusia 21 tahun, maka tiba saatnya pelatih yang sudah punya sense of marketing lebih besar akan cepat mengantisipasinya. Lobi kiri kanan mulai dilakukan dengan berikan garansi akan membawa medali. Saat ini peta kekuatan atlet yunior merata tidak seperti ketentuan sebelumnya dimana didominir oleh atlet Jakarta.
Saya sebenarnya sudah sering sejak dulu dimintakan mencarikan atlet untuk daerahnya, tetapi semuanya saya tolak dengan halus. Sekarangpun saya masih mendapatkan tawaran dari rekan rekan didaerah yang buta pertenisan nasional. Apalagi kalau daerah tersebut belum punya atlet sehingga ingin cari jalan pintas saja. Saya anjurkan agar mulai sekarang membina atlet sendiri bukan dengan cara pintas beli atlet. Kesempatan dengan aturan PON yang baru membuka peluang atlet daerah maju ke PON, dana direncanakan oleh PP Pelti semua daerah harus ikuti Kualifikasi PON. Ini berbeda dengan PON PON sebelumnya dimana ada daerah yang langsung masuk babak utama berdasarkan Peringkat Nasional pemainnya.

Beberapa tahun silam PP Pelti membuat surat edaran kepada anggota Pengurus Besar Pelti untuk tidak terlibat dalam jual beli atlet. Tentunya edaran itu masih berlaku, dan saya melihat ada kecendrungan anggota pengurus lupa akan surat tersebut sehingga ada yang aktip menawarkan atlet atlet di Jakarta kedaerah daerah.

Kembali ke masalah perpindahan atlet, tidak ada yang bisa dilarang kalau mau pindah kota , sama seperti dengan KTP. Apapun alasannya maka saya sendiri meminta bagi atlet yang sudah punya KTA (Kartu Tanda Anggota) Pelti bisa saja mengajukan permohonan pindah dengan melampirkan KTA Pelti (asli) untuk dibuatkan KTA Pelti baru. Tetapi dasar pemikiran pindah tersebut dikaitkan dengan PON ataupun POR PROV ( PORDA), maka muncullah akal akal bulus tersebut, dengan ada ketidak inginan mengembaikan KTA Pelti (asli) ke PP Pelti untuk mendapatkan KTA baru. Saya sendiri sudah mendengar ada alasannya yang paling gamblang adalah HILANG.

Sedih karena tugas dan tanggung jawab Orangtua adalah mendidik putra dan putrinya dengan sportip, bukan dengan menjual belikan anaknya ( usia dibawah 18 tahun) kedaerah lain dengan alasan butuh dana pembinaannya atau untuk " masa depan ". Saya hanya ketawa saja mendengar berbagai alasannya. Sama saja dengan menyetujui TDP Nasional Kelompok Yunior berikan hadiah UANG. Akan majukah atlet seperti ini dimasa yunior sudah mulai mengenal jual beli. Tunjukkan prestasi dulu baru akan datang sponsor. Itulah pola pikir saya selama ini. Kalau belum berprestasi sudah macam macam, jangan harap bisa maju karena mental seperti ini mental gampang menyerah. Kita lihat saja dimasa mendatang maka akan banyak masalah akan muncul akibat mental seperti ini. Ya, kita lihat saja nantinya.!
Lebih sedih lagi kalau sampai melibatkan angota pengurus Pelti baik dipusat maupun provinsi.

Penawaran kepada saya, selalu saya alihkan ke program Pelti agar dijalankan disetiap daerah. Mulai dari pengenalan tenis melalui Mini Tenis, Play & Stay, coaching clinic, penataran pelatih, turnamen dll. Kalau tidak dijalankan program ini maka saya yakin dan percaya daerah tersebut akan tenggelam dalam keterpurukan seperti saat ini banyak daerah masih tidur tanpa ada aktivitas, tapi lucunya rajin datang ke Jakarta untuk ikut RAKERNAS atau MUNAS.
Saya kadang kala sedih jika bertemu dengan rekan rekan seperti ini kalau datang ke Jakarta banyak bicara tapi kenyataannya tidak ada akitivitas didaerahnya.

Baru beberapa daerah yang sudah mulai sadar atas kekurangan selama ini tidak atau belum dibuatnya. Oleh karena itu saya selalu menawarkan program program tersebut dan beberapa daerah diluar pulau Jawa sudah mulai merespons atas tawaran tersebut. Kalau saya terlibat langsung adalah program Turnamen dengan bendera RemajaTenis mulai masuk ke Medan, Palu, Pontianak, Banjarmasin dan akan menyusul Balikpapan, Manado, Palembang dan Ambon.